Fikih

Regulasi Nikah Wali Muhakkam

2 Mins read

Dengan alasan menolong dan menghindari zina, segelintir orang lantas berani menikahkan sepasang insan meskipun tidak ada walinya. Untuk memuluskan pernikahan itu, lantas diangkatlah wali muhakkam. Dalih berlindung di balik tujuan baik untuk menolong, dengan “menikahkan” sepasang insan, lantas berani melanggar undang-undang dan aturan yang berlaku.

Pelanggaran undang-undang dan aturan adalah sesuatu keburukan, meskipun orang berlindung di balik alasan kebaikan. Allah sendiri juga melarang kita untuk saling tolong-menolong dalam masalah keburukan. (QS. Al-Maidah: 2)

Meski merupakan sunnah, bukan berarti orang bisa menikah dengan seenaknya tanpa mengindahkan syariat dan aturan yang ada. Kebaikan itu tidak hanya dinilai dari tujuannya saja, tetapi juga dari caranya. Apalah artinya tujuan yang baik, jika caranya tidak baik karena melanggar aturan yang ada. Dalam kaidah fikih disebutkan: Tujuan tidaklah membenarkan cara kecuali dengan dalil (Talqih al-Afham al-Aliyyah bi Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, juz 3, hal. 23).

Wali Muhakkam

Secara bahasa, wali muhakkam merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wali dan muhakkam. Dalam Lisan al-Arab (juz 15, hal. 405), kata wali satu akar dengan kata wilayah yang menurut Ibnu Atsir berarti mengatur dan menguasai.

Menurut Sibawaih, wilayah juga berarti memerintah (imarah) dan mempersatukan (niqabah). Sedangkan menurut Ibnu as-Sakiit, kata wilayah berarti kekuasaan. Kata wali juga seakar dengan kata walayah, yang menurut Ibnu as-Sakiit berarti menolong (nushrah).

Kata muhakkam merupakan kata benda pasif (isim maf’ul) yang berasal dari kata hakkama-yuhakkimu-tahkiman, yang berarti mengangkat seseorang menjadi hakim dan menyerahkan persoalan hukum kepadanya. Kata muhakkam berarti seseorang yang diangkat sebagai hakim. (Al-Mau’su’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 10, hal. 233).

Baca Juga  Bolehkah Menikahi Karakter Anime 2D?

Dalam hal pernikahan, wali muhakkam adalah orang biasa, bukan pejabat hakim resmi, yang ditunjuk oleh seorang perempuan untuk menjadi wali dan menikahkan dirinya dengan seorang lelaki yang telah melamarnya. (Al-Hawi al-Kabir, juz 16, hal. 648).

Pada prinsipnya, diperbolehkan menunjuk seseorang sebagai hakim (tahkim) guna menengahi dua orang atau lebih yang bertikai. Al-Qur’an sendiri menyuruh kita mendamaikan jika terjadi pertikaian di antara sesama mukmin (QS. al-Hujurat: 9-10). Al-Qur’an juga menganjurkan mengangkat penengah (hakam) dari kedua belah pihak, suami dan istri yang sedang bertikai (QS. an-Nisa: 35).

Regulasi Perkawinan

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sama sekali tidak dibahas secara detail tentang siapa dan bagaimana wali nikah. Namun, yang dibahas adalah masalah perwalian dalam konteks pengasuhan anak. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dibahas tentang wali pernikahan.

Menurut Pasal 20 ayat 2 KHI, hanya dikenal dua jenis wali pernikahan, yaitu wali nasab dan wali hakim. Sementara, menurut Pasal 1 poin b, wali hakim jelas adalah petugas resmi yang memang ditunjuk oleh Menteri Agama atau orang yang ditunjuk olehnya.

Begitu pula berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Pasal 1 poin b, disebutkan bahwa wali hakim adalah adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat 4, lebih spesifik disebutkan bahwa Kepala KUA kecamatan adalah wali hakim apabila calon istri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.

Pembahasan tentang wali muhakkam hanya terdapat dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (1997: 30). Sekilas dijelaskan bahwa wali muhakkam ialah seorang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah. Apabila pernikahan yang harus dilaksanakan dengan wali hakim, padahal tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (3): Apakah Boleh Berdzikir Menggunakan Tasbih?

Caranya adalah kedua calon suami istri mengangkat seseorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Dari regulasi yang ada, penulis tidak menemukan ketentuan wali muhakkam. Tak ada peluang bagi selain petugas resmi untuk menikahkan perempuan yang tak memiliki wali.

Hal ini bisa dipahami sebagai upaya negara mewujudkan kepastian hukum. Kewenangan menggantikan posisi wali nikah hanya di tangan petugas resmi (qadhi). Pihak yang berhak menikahkan hanyalah wali hakim yang dijabat oleh Menteri Agama hingga Kepala KUA. Andai wali muhakkam diperbolehkan dalam undang-undang, justru akan menimbulkan banyak mudharat.

Editor: Lely N

Avatar
2 posts

About author
Kepala KUA Banyudono Boyolali
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *