Fikih

Tau Diri itu Penting dalam Memahami Masalah Fikih

4 Mins read

Bagi umat Islam, fikih merupakan perwujudan kehendak Allah yang berisi perintah dan larangan untuk manusia. Pelaksanaan terhadap hukum-hukum fikih merupakan manifestasi eksoterik keimanan seseorang, bentuk ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Selain itu, fikih memainkan peran ganda sebagai hukum positif dan standar moral.

Sebagai hukum positif, fikih berfungsi mengatur kehidupan manusia yang mendapatkan legitimasi dari badan yudikatif, yakni mahkamah. Kendati demikian, tidak semua hukum fikih mendapatkan legitimasi dari mahkamah. Oleh karenanya, hukum-hukum yang tidak mendapatkan legitimasi tersebut, lebih disebut sebagai etika atau moral.

Etika dalam Islam

Dalam Islam, etik dan agama menyatu dengan hukum-hukum positif. Hal inilah yang secara prinsip membedakan hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Di Barat, hukum positif tidak menyatu dengan moralitas sekalipun keduanya bersinggungan pada wilayah permasalahan atau pembahasan yang sama.

Selanjutnya, perlu ditekankan bahwa fikih berbeda dengan syariat. Syariat bukan hanya sekadar hukum saja tetapi mencakup fikih, akidah, dan akhlak.

Syariat lebih bersifat permanen sedangkan fikih bersifat relatif dan fleksibel. Dengan demikian, maka fikih akan terus berkembang seiring dengan perjalanan dinamika dan problematika zaman yang melingkupinya. Hal ini juga dikarenakan fikih adalah produk ijtihad ulama.

Meski demikian, fikih bukan hanya karya semata, tetapi berkaitan erat dengan syariat. Fikih merupakan kristalisasi reflektif terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis yang dilakukan oleh para mujtahid (orang yang ber-ijtihad). Sebagaimana syariat yang merujuk kepada kedua sumber hukum tersebut, demikian pula dengan fikih.

Syarat-Syarat Mujtahid

Selanjutnya, karena luasanya wilayah ijtihad yang berkaitan dengan dalil-dalil Al-Qur’an, hadis, kias, dan lain sebagainya, sehingga menuntut adanya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh para mujtahid.

Secara umum, syarat ijtihad berkaitan dengan dua hal. Yakni kapasitas dan integritas. Soal kapasitas, yaitu menguasai ilmu-ilmu syariat seperti bahasa Arab, usul fikih, nasikh-mansukh, dan seterusnya karena menjadi prasyarat dalam melakukan istinbat (metode pengambilan hukum).

Baca Juga  Haji Tathawwu' & Fikih Prioritas: Haji Lagi atau Amal Sosial?

Lebih jauh lagi, berkaitan dengan kapasitas ini, meniscayakan seorang mujtahid agar konsisten dengan kaidah (kaidah usul fikih) yang dipegang, sehingga tidak plin-plan alias mencla-mencle.

Selain berkaitan dengan metode dalam memahami nas yang tedapat dalam Al-Qur’an dan hadis atau yang disebut dengan fiqh an-nusus, seorang mujtahid juga wajib memahami realitas yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau yang disebut dengan fahm al-waqi’. Kedua, berkaitan dengan integritas, yakni keadilan, Islam, mukallaf, cerdas, dan niat yang baik.

Pengertian Ijtihad

Adapun pengertian ijtihad, ialah mengarahkan seluruh kinerja intelektual untuk mengetahui suatu hukum syariat. Oleh karena itu, ketika kita mengatakan bahwa pendapat dalam fikih merupakan hasil ijtihad ulama, maka wilayah yang dibicarakan tidak terletak pada wilayah yang bersifat qath’i (pasti).

Kesahihannya pasti dan maknanya tunggal. Hal ini dikarenakan wilayah nas tidak menjadi wilayah ijtihad. Nas dalam usul fikih bukan sekadar teks tetapi Al-Qur’an yang qath’i dan hadis yang mutawatir.

Maka daripada itu, wilayah ijtihad berkenaan dengan dalil-dalil yang bersifat zhanni (bermakna spekulatif). Seperti hadis ahad, memiliki makna ganda dan lain-lain. Contohnya, seperti makna quru’ yang dapat diartikan suci atau haid. Makna apa yang dimaksud, di situlah wilayah ijtihadnya. Dengan demikian, tidak heran apabila banyak terjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Pengertian Ikhtilaf

Ikhtilaf secara bahasa artinya tidak sama, tidak sepakat. Secara istilah, memiliki dua makna. Pertama; perlawanan, perpecahan, perdebatan, dan benturan yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Ikhtilaf dalam hal ini tentu saja dilarang. Kedua; perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan dan pengetahuan yang tidak berdampak pada perpecahan. Ikhtilaf dalam makna yang kedua ini yang kemudian disebut dengan bagaimana kita menyikapi perbedaan dengan penuh toleransi.

Baca Juga  Pacaran Boleh, Zina Jangan!

Selanjutnya, ikhtilaf itu ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Ikhtilaf dalam masalah ushul (pokok) tidak boleh, sebab berkaitan dengan sesuatu yang tsawabit (pasti). Seperti kewajiban salat lima waktu. Ushul berkenaan dengan hal-hal yang qath’i atau  pasti, hukumnya jelas dan disepakati oleh para ulama.

Adapun yang terjadi perbedaan adalah dalam masalah furu’ (cabang), diperbolehkan karena berkaitan dengan permasalahan yang mutaghaiyyirat (dapat berubah). Masalah furu’ merupakan hal-hal yang bersifat zhanni (mengandung dugaan, multi-interpretasi), tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para ulama.

Adapun acuan yang menentukan usul dan furu’ adalah ilmu usul fikih. Oleh karena itu, apabila tidak paham dengan usul fikih, hendaknya jangan menempatkan diri sebagai hakim.

Prinsip-Prinsip Ikhtilaf

Ikhtilaf dalam masalah furu’ adalah keniscayaan. Orang yang berusaha menghilangkan perbedaan pendapat, justru akan memperuncing perbedaan pendapat itu sendiri.

Perbedaan dalam masalah furu’ jangan sampai membuat kita terpecah belah. Akan tetapi disikapi dengan toleran. Sejatinya yang memecah belah bukanlah perbedaan, tetapi sikap fanatisme atau ta’ashsh ub.

Oleh karena itu, tidak perlu memaksakan pendapat kepada orang lain. Hasil ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad yang lain. Karena kebenaran yang hakiki itu wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).

Dari situ, dapat kita simpulkan bersama bahwa ikhtilaf merupakan rahmat atau keluasan bagi mukallaf bukan laknat. Umar Abdul Aziz mengatakan; saya tidak berharap para sahabat tidak berbeda pendapat, karena akan tidak ada pilihan. Dengan demikian yang menjadi patokan adalah esensi bukan istilah atau nama.

Adapun penyebab perbedaan dalam masalah furu’, disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.  Perbedaan kecerdasan dalam menyimpulkan ayat atau hadis yang multi-interpretasi. Perbedaan sudut pandang dan ilmu yang dimiliki para ulama. Perbedaan lingkungan, situasi, dan kondisi. Perbedaan menilai kesahihan riwayat hadis dan perbedaan dalam menempatkan dalil yang didahulukan.

Baca Juga  Mengapa Fikih Tarjih Berbeda dengan Fikih Kiai Dahlan?

Tingkatan Tafaqquh Fiddin dan Sikap terhadap Perbedaan

Kemudian, yang tidak kalah penting bagi kita adalah mengetahui tingkatan tafaqquh fiddin. Karena pada zaman sekarang ini, terjadi kekacauan cara pandang orang-orang yang baru mempelajari hukum agama. Sehingga mereka dengan mudahnya mengatakan “hum rijal wa nahnu rijal”.

Adapun tingkatan-tingkatan dalam tafaqquh fiddin adalah sebagai berikut.

Ahlu taklid; orang yang tidak tau dalil, ustaz mengatakan apa, itu yang diikuti, persoalan dalil bukan kapasitasnya.

Ahlu ittiba’; orang yang mengikuti suatu pendapat dan tau dalilnya. Tau tentang bagaimana dalil itu diproses sehingga menjadi pendapat. Dan pendapat itu masuk akal bagi dirinya, bisa dipahami dan dimengerti. 

Ahlun nadzar; umumnya para ustaz dengan tingkatannya masing-masing.

Mujtahid mazhab; orang yang berijtihad pada suatu mazhab, sesuai dengan paradigma keulamaan fikih.

Mujtahid mutlak; ulama yang merumuskan bagaimana paradigma keilmuan dalam mazhab masing-masing.

Dengan mengetahui tingkatan-tingkatan tafaqquh fiddin di atas, mengingatkan kita agar hendaknya menyadari di mana posisi kita dan menyesuaikan sikap kita dalam memahami suatu hukum. Sebagaimana ucapan Umar bin Abdul Aziz “mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang tau diri”.

Setelah mengetahui dan menyadari kapasitas yang kita miliki, hendaknya membangkitkan semangat dalam menuntut ilmu. Demikian pula dalam menyikapi perbedaan pendapat, yakni dengan sikap terbuka pada dalil yang lebih kuat, menjaga ukhuwah islamiyah dan diskusi dengan semangat ukhuwah.

Perbedaan pendapat fikih tidak boleh menjadi sebab terjadinya perpecahan dalam agama, permusuhan dan kebencian. Tentu akan sangat bagus apabila dilakukan diskusi ilmiah tentang masalah yang diperdebatkan, tetapi harus didasari oleh cinta karena Allah. Bersama-sama mencari kebenaran, tidak menjadi perdebatan yang tercela dan fanatisme. Kritis boleh, fanatik dan ngawur jangan!.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Editor: Yahya FR

Hanan Aslamiyah Thoriq
2 posts

About author
Thalibat/Mahasiswi Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *