Perspektif

Din Bukan Hadiah dari NU, Tapi Becoming dan Konversi ke Muhammadiyah

4 Mins read

Tulisan ini bermaksud untuk memberikan respons atas tulisan saudara Hendra Hari Wahyudi, Din Syamsuddin : Hadiah NU untuk Muhammadiyah yang terbit pada tanggal 01 Maret 2020 di media online IBTimes. Menurut pengakuannya tulisan saudara Hendra ini juga adalah bentuk tanggapan (mungkin tepatnya terinspirasi) dari tulisan Robby Karman ̶ Sekjend DPP IMM ̶ yang berjudul Ustaz Adi Hidayat: Hadiah Muhammadiyah untuk Umat Islam, terbit sehari sebelumnya pada tanggal 29 Februari 2020 di media yang sama.

Membaca tulisan saudara Hendra yang sampai pada kesimpulan bahwa Din Syamsuddin adalah hadiah NU untuk Muhammadiyah, bahkan sampai menyebut sebagai hadiah tak ternilai harganya kepada Muhammadiyah, hati dan pikiran ini langsung “terusik”. Tidak setuju dengan pernyataan dan kesimpulan tersebut. Logika dan analogi yang dikonstruksi sangat jauh berbeda posisinya dengan perspektif Robby Karman yang menilai Ustaz Adi Hidayat, sebagai hadiah Muhammadiyah untuk umat Islam.

Becoming dan Konversi ke Muhammadiyah

Ketidaksetujuan saya, bukan sebagai respon subjektif semata. Apalagi dinilai terkesan ̶ jika memimjam istilah Hajriyanto Y. Thohari, dkk dalam pengantar editornya pada buku Becoming Muhammadiyah (2016:7)­ ̶ simtoma narsistik, atau karena saya terlalu mengagumi Muhammadiyah dibandingkan yang lain. Ketidaksetujuan saya lebih karena bahwa pernyataan dan kesimpulan itu sangat tendensius dan gegabah dari saudara Hendra yang bagi saya, kurang memiliki landasan pemahaman yang kuat.

Din Syamsuddin yang memiliki nama lengkap Prof. Dr. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A, berkiprah, aktif, membesarkan, menjadi tokoh bahkan menjadi pucuk pimpinan di organisasi besar Muhammadiyah selama dua periode bukanlah sebagai hadiah dari Nahdlatul Ulama (NU).

Keberadaan Din Syamsuddin di Muhammadiyah adalah sebuah proses menjadi bukan hanya dalam pengertian “being” tetapi “becoming”. Bahkan jika memperhatikan empat kategori menjadi Muhammadiyah dalam buku Becoming Muhammadiyah pada bagian tulisan Ahmad Najib Burhani (2016: 20), Din Syamsuddin telah mengalami sebuah proses konversi ̶ sebuah istilah dan defenisi yang dipinjam dari William James dalam buku klasiknya yang berjudul The Varieties of Religious Experience (1985).

Seseorang berada, aktif, menjadi aktivis dan bahkan menjadi tokoh Muhammadiyah atau proses menjadi Muhammadiyah sebagaimana dalam pandangan Hajriyanto Y. Thohari ada yang lebih merupakan proses antropologis daripada teologis dan ideologis. Proses antropologis yang dimaksudkan adalah seseorang menjadi Muhammadiyah faktanya lebih banyak karena faktor keturunan, keluarga dan kekerabatan (Hajriyanto Y. Thohari, 2016:11).

Baca Juga  Kiai Pesantren Mengajarkan Santri Politik yang Bermartabat

Namun tidak menutup kemungkinan banyak yang menjadi Muhammadiyah karena faktor ideologis, teologis, sosiologis dan antropologis. Bisa satu faktor atau gabungan beberapa faktor.

Bukan Hadiah

Din Syamsuddin dalam proses becoming Muhammadiyah, jika memperhatikan pergulatan pikirannya dalam memilih Muhammadiyah lebih karena faktor teologis dan ideologis. Ini terkonfirmasi dalam buku Din Syamsuddin: Dari Sumbawa Untuk Dunia (Fadmi Sustiwi, 2017:138). Dalam buku ini, Din Syamsuddin ketika sudah kuliah di IAIN Syarif Hidayatulah  Jakarta, menceritakan kegelisahannya ke mana harus beroganisasi, karena pada dasarnya ada tiga pilihan IMM, HMI dan PMII.

Menurutnya, meskipun secara tersirat keluarganya, terutama orang tuanya mengharapkan dirinya bergabung ke PMII tetapi sama sekali tidak menjadi bagian dalam pertimbangannya. Padahal jika dilihat latar belakangnya selain berasal dari keluarga NU juga pernah menjabat sebagai ketua IPNU. Dalam benaknya hanya ada dua pilihan, aktif di organisasi HMI atau IMM.

Pilihannya ini, menurutnya sebagai pengaruh dari proses pendidikan yang dilampauinya selama 4 tahun di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang tidak sekedar mencerdaskan intelektualnya. Ia merasa pendidikan itu telah memberinya wawasan yang berbeda menjadi lebih kreatif dan kritis. Selama lebih-kurang 3 (tiga) bulan dirinya merasa gelisah dan bahkan pada pukul 02.35 pada malam itu dirinya terjaga, pikirannya mengembara jauh, berwudhu, melaksanakan salat tahajjud untuk kemudian berdialog dengan yang Maha Pencipta.

Malam itu juga akhirnya menjatuhkan pilihannya untuk aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Karena bagi dirinya ia merasa bahwa etos fastabiqul khairat dinilai serasi dengan motto Pondok Gontor, why not the best untuk mencerdaskan sumber daya manusia (SDM) unggul. Di titik inilah ruang relevansi istilah dan definisi “konversi” William James bisa ditemukan pada diri Din Syamsuddin.

Baca Juga  Era Disrupsi: Transformasi Lingkungan Alam dan Sosial Budaya

Jadi Din Syamsuddin, bukanlah hadiah apalagi dinilai hadiah yang tak ternilai harganya dari NU kepada Muhammadiyah. Meminjam pandangan Asratillah dalam buku Hasrat Kebenaran ,agama, dan tentunya bagi saya termasuk Muhammadiyah dan NU memiliki sistem nilai. Sebuah sistem atau struktur mempunyai semacam mekanisme internal, yiatu semacam parameter–parameter kebenaran, kebaikan dan kecocokan yang konsisten dan akhirnya membentuk sistem tertutup (Asratillah, 2014:11).

Terkait pandangan ini, maka saya pribadi menilai tidak mungkin NU atau secara personal dan kelembagaan ingin merelakan. Memberikan kadernya (apalagi dinilai tak ternilai, memiliki potensi luar biasa, kader terbaiknya) kepada organisasi lain atau dalam hal ini Muhammadiyah untuk berkiprah dan secara ontologis, eksistensinya sangat luar biasa. Dalam pengertian Hendra “menghadiahkan”, tidak mungkin terjadi.

Perbedaan Din dan Adi Hidayat

Saudara Hendra menyebut Din Syamsuddin sangat kental ke-NU-annya, bagi saya sepakat. Tetapi itu terjadi sebelum masuk di Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan sebelum mengenal IMM sebagai ortom Muhammadiyah. Meskipun Din sendiri sering bercanda, menyebut dirinya sebagai MUNU (Muhammadiyah-NU), (Hilman Latief, 2016:35) tetapi bagi saya, perspektif MUNU yang ada pada diri Din Syamsuddin berbeda dengan yang terjadi dalam kehidupan MUNU di masyarakat. Di mana dirinya aktif dan menjadi pengurus Muhammadiyah, tetapi pada ksempatan yang lain masih melaksanakan tradisi NU.

Apalagi Din Syamsuddin pernah menjadi pucuk pimpinan baik di ortom Muhammadiyah dan termasuk Muhammadiyah sehingga dirinya termasuk tokoh Muhammadiyah. Sebagai jangkar sejarah Islam dan bangsa Indonesia merupakan mercusuar yang menerangi etos dan spirit para kader dan warga Muhammadiyah. Dalam pemahaman ini sangat mustahil jika Din Syamsuddin masih mengamalkan tradisi NU yang diwariskan oleh keluarganya di masa remajanya.

Baca Juga  Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Bolehkah?

Ketika Robby Karman menyebut Ustaz Adi Hidayat sebagai hadiah Muhammadiyah untuk umat Islam, ini bisa dibenarkan karena berbeda perspektif, analogi dan logika yang dikonstruksi oleh saudara Hendra. Robby Karman sebagaimana definisi “hadiah” dari Muhammadiyah ke umat Islam itu konteks, tempus, korpus dan lokus dan sistem nilainya beririsan dan pada domain yang lebih luas (umat Islam dibandingkan Muhammadiyah). Dan tentunya ada sejenis persetujuan personal dan kelembagaan meskipun tidak formal dan tertulis. Sehingga perspektif hadiah Robby bisa dimaknai mewakafkan kadernya. Apalagi sikap karakter dan tradisi Adi Hidayat masih kental dengan Muhammadiyah.

Berbeda dengan perspektif Hendra, NU dengan Muhammadiyah, keduanya memiliki korpus, tempus, lokus, sistem nilai yang secara diametral berjauhan. Bahkan pada aspek tertentu bertentangan secara tajam.

Editor: Nabhan

17 posts

About author
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Sulawesi Selatan Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds