Belakangan ini, konsep-konsep kunci dalam wacana gerakan pembaruan Islam muncul kembali dengan model pemaknaan baru. Lahir istilah-istilah seperti “Islam Washatiyah”, “Moderasi Beragama”, lalu “Islam jalan tengah” yang diadopsi dari istilah Al-Qur’an, shiraatu al-mustaqiim. Lalu, muncul istilah at-tawazun yang secara konseptual masih terkait dengan istilah sebelumnya. Belakangan, muncul istilah ‘aqidah al-wasithiyah yang melengkapi bangunan konseptual gerakan pembaruan Islam ini. Untuk mempertegas konsep-konsep tersebut, berikut ini ulasan bersama Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA., Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Bagaimana penjelasan dari konsep Islam jalan tengah?
Menurut hemat saya, gerakan “jalan tengah” adalah watak sejati dari ajaran Islam. Dalam bacaan shalat kita selalu memohon, ihdinash-shiraatal-mustaqiim. Biasanya, kata shiraatul-mustaqiim diterjemahkan sebagai “jalan lurus.” Namun, menurut hemat saya, shiraatul-mustaqiim juga maknanya adalah “jalan tengah.” Karena saking tengahnya, maka jalan ini lurus, tidak belok ke kanan dan ke kiri.
Kadang, orang kurang bisa memahami jalan lurus itu dengan baik. Seringnya, orang melihat jalan ini dengan kaca mata kuda. Akibatnya, terjadi kekakuan dalam meniti jalan ini dan tidak sedikit yang jumud. Kondisi yang demikian persis seperti yang dialami umat Islam saat ini. Gerakan pembaruan Islam stagnan, mengalami kekakuan, hampir jumud. Orang Islam memandang agamanya sendiri dengan kacamata yang sempit dan sering tidak konsisten. Akibatnya, permasalahan-permasalah umat kian menumpuk tidak terpecahkan. Oleh karena itu, jika jalan ini (Islam—red) dimaknai sebagai “jalan tengah,” maka orang akan selalu menempatkan diri dengan baik, lentur dan tidak goyah, walaupun sebenarnya banyak tantangan dari dalam dan luar.
Bagaimana penjelasan antara konsistensi dan kelenturan?
Itulah yang disebut at-tawazun, keseimbangan. Yaitu, keseimbangan antara tajrid dan tajdid. Selama ini kekeliruan kita dalam menempatkan konsep tajdid yang hampir dipukul rata meliputi semua aspek. Padahal, konsep tajdid tidak berlaku dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah. Justru, dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah berlaku tajrid. Yaitu, kita harus mencukupkan diri dengan apa yang sudah diperintahkan oleh Allah SwT dan telah dicontohkan oleh Nabi Saw. Wilayah tajdid hanya dalam bidang mu’amalah. Di situlah umat Islam bebas berkreasi, berinovasi, berlomba-lomba mencapai yang terbaik.
Prinsip keseimbangan tidak boleh dilanggar karena akan berakibat pada inkonsistensi. Dampaknya akan keluar dari prinsip jalan tengah sehingga melahirkan ekstrimitas. Jika wilayah mu’amalat yang seharusnya dimodernisasi (tajdid) justru malah di-tajrid, yang terjadi adalah konservativisme. Begitu juga wilayah akidah dan ibadah mahdhah yang seharusnya dimurnikan (tajrid) justru malah di-tajdid, maka akan lahirlah liberalisme. Kedua-duanya adalah termasuk bentuk ekstrimisme.
Adakah konsep teologis yang bisa membatasi agar tidak terjerumus pada dua sisi ektrimitas?
Nah, di sinilah perlunya akidah al-wasithiyah. Kita dituntut untuk melakukan al-hanafiyatu as-samkhah, berprinsip tapi berlapang dada. Al-hanafiyatu as-samkhah adalah model keberagamaan yang paling dicintai Allah. Dalam hadits Nabi Saw disebutkan, inna ahabba ad-diin al-hanafiyatu as-samkhah.
Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia perlu menghargai pluralitas (kemajemukan) dan pluralisme (paham tentang kemajemukan). Islam sangat mengakui dan menghargai pluralitas dan pluralisme, baik atas dasar keyakinan agama, maupun kebangsaan dan kesukuan. Menurut Al-Qur’an, perbedaan warna kulit dan bahasa adalah manifestasi hukum alam kehidupan, yang kesemuanya perlu dijalin dalam hubungan toleransi (ta’aruf maupun tasamuh). Namun, perlu dipertegas di sini bahwa toleransi bukanlah menyamakan perbedaan baik dalam bentuk sintesisme (pensenyawaan) maupun sinkretisme (pencampuran), tetapi toleransi adalah menghargi perbedaan disertai sikap siap hidup berdampingan secara damai membangun mozaik yang indah dalam konfigurasi kemajemukan dan keragaman.
Apakah konsep Islam jalan tengah ini akan mampu mengantarkan umat dari ketertinggalan?
Harus diakui, selama ini kesenjangan antara idealitas Islam dan realitas kehidupan umat Islam adalah masalah besar yang harus diatasi. Kalau umat Islam ingin bangkit kembali merebut supremasi peradaban dunia, maka tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam menangkap kembali api Islam dan semangat Islam. Islam adalah agama kemajuan, yang mendorong kehidupan umatnya ke arah hidup yang berkemajuan.
Jika kemajuan Eropa didorong oleh etika Protestianisme yang menekankan kerja keras, produktivitas, penghargaan akan waktu, dan penghematan, begitu pula kebangkitan Asia Pasifik karena etika Konghucu yang juga menekankan nilai-nilai yang sama, maka Islam jauh lebih kuat mendorong nilai-nilai etika tersebut dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits. Bahkan, sebagai khaira ummah, umat Islam diperintahkan oleh al-Qur’an untuk menjadi saksi-saksi bagi umat manusia. Perintah ini dapat kita baca pada ayat 143 surat al-Baqarah, Dan dengan demikian Kami jadikan kamu semua umat tengahan supaya kamu semua menjadi saksi saksi atas semua manusia dan Rasul menjadi saksi atas apa yang kamu semua lakukan.
Dalam ayat tersebut terdapat isyarat bahwa umat Islam perlu menampilkan dua macam syahadat. Selain harus menampilkan ’syahadat keyakinan’, yaitu keyakinan atas keesaan Allah SwT dan kerasulan Muhammad Saw, umat Islam perlu juga memanifestasikan ’syahadat keyakinan’ itu dalam bentuk’syahadat kebudayaan dan peradaban’, yaitu dengan memberi bukti-bukti bahwa kebudayaan dan peradaban Islam adalah tinggi. Maksudnya, umat Islam harus tampil merebut kemajuan dan keunggulan dalam peradaban (rif: al-Manar).