Report

Din: Tiga Syarat Pemakzulan Pemimpin Negeri

2 Mins read

IBTimes.ID – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. H.M. Din Syamsuddin, mengatakan kebebasan berpendapat adalah salah satu dari dimensi kebebasan. Kebebasan adalah hak manusiawi. Bahkan Allah mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak. Manusia memiliki free will and free act (bebas berkehendak dan bebas berbuat). 

Kebebasan Berpendapat

Din mengutip pendapat Muhammad Abduh yang menilai kebebasan sebagai sesuatu yang sakral, fundamental, suci, dan melekat kepada kemanusiaan. Dia menjadi suci karena berasal dari Dzat Yang Maha Suci.

Din Syamsuddin menceritakan proses kejadian manusia, ketika malaikat diminta untuk bersujud kepada Adam, malaikat protes terhadap Allah dengan bertanya kenapa Allah menciptakan makhluk yang hanya berbuat kerusakan saja di muka bumi, Allah tidak membungkamnya. Allah hanya berkata bahwa Ia lebih tahu daripada malaikat. Jadi ada ruang kebebasan pada makhluk. Kalau ada pihak, orang, atau rezim yang ingin menghilangkan kebebasan, berarti itu tidak beradab.

“Inilah yang dibahas oleh para pemikir politik Islam. Bahwa ada kebebasan beragama, kebebasan berbicara atau berpendapat, dan kebebasan memilih. Maka, kebebasan berpendapat memiliki landasan teologis yang kuat”, ujarnya.

UUD 1945 pasal 28 juga membakukan hal ini. Para tokoh bangsa termasuk Soekarno tentu sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan yang ada dalam Islam dan sejarah peradaban manusia.

“Terus terang kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter, represif, dan anti kebebasan berpendapat. Karena itu adalah hak rakyat. Walaupun pemimpin, imam, khalifah, naik ke tahta kepemimpinan atas dasar baiat setelah proses pemilihan, ada yang berpendapat bahwa jika ada penyimpangan amanat, maka ada hak untuk rakyat untuk mengkritik, mengoreksi, dan bahkan hak untuk menyoal kembali tentang amanah kepemimpinan yang sudah diberikan sebelumnya”, tegasnya.

Baca Juga  Bicara di Konferensi Antaragama G20, Menag Sampaikan Prinsip Universal Pendiri Bangsa

Tiga Syarat Pemakzulan Pemimpin

Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondoklabu ini mengatakan bahwa “pemakzulan” berasal dari bahasa Arab. “Makzul” berasal dari kata azala, yang artinya mencopot sesuatu, menyingkirkannya ke samping, sehingga sesuatu itu tersingkir. Ini lebih kuat jika dibandingkan dengan impeachment.

Politik Islam sangat tegas mengatur hal ini, karena amanat kepemimpinan adalah hal yang suci. Hal ini menurut Din Syamsuddin bukan sekedar amanat rakyat, melainkan amanat Tuhan. Maka harus diemban dengan baik. Sehingga pemakzulan merupakan sesuatu yang dimungkinkan.

Al Mawardi, sebagaimana yang dikutip Din, mengatakan bahwa pemakzulan imam atau pemimpin bisa dilakukan jika syarat-syaratnya terpenuhi. Pertama, ‘adamu al-‘adl (hilangnya keadilan) “Jika seorang pemimpin sudah tidak berlaku adil dan tidak mampu menciptakan keadilan di masyarakatnya, ada kesenjangan ekonomi, maka sudah hampir dapat dilakukan pemakzulan”, ujarnya.

Kedua, adamu al-‘ilmi (hilangnya ilmu). Ketiadaan ilmu pengetahuan, ketiadaan visi, dan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara. Dalam konteks negara modern, visi itu adalah cita-cita nasional suatu bangsa. Indonesia memiliki cita-cita yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Menurut Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dalam konteks Indonesia, ‘adamu al-‘ilmi berarti pemimpin yang tidak memahami Pancasila dan cita-cita bangsa. Kalau ada pembungkaman kegiatan-kegiatan akademik, itu bertentangan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu adalah praktek pembodohan kehidupan bangsa.

Ketiga, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing

Din mengutip pendapat Rasyid Ridha yang menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemimpin yang dzalim, pemimpin yang tidak adil, dan terutama jika kepemimpinannya membahayakan kehidupan bersama, seperti melanggar konstitusi.

Baca Juga  Daftar Empat Pesantren Pro-Korban Kekerasan Seksual di Pulau Jawa

Gagasan ini sampaikan dalam Webinar yang diadakan oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) dengan tema “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19”, pada Senin (1/6).

Reporter: Yusuf R Y

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanan Haedar Nashir sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…
Report

Hamim Ilyas: Islam Rahmatan Lil Alamin Tidak Sebatas Jargon

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, Islam Rahmatan Lil Alamin harusnya tidak sebatas jargon belaka,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *