Perspektif

#DirumahAja, Tagar Ajaib yang Membuat Orang Mau Anteng di Rumah

4 Mins read

Sebagai usaha memperlambat laju perluasan COVID -19 (Corona Virus Disease 2019), segala macam hiruk-pikuk yang biasa kita lakukan mau tak mau dilakukan di rumah. Mulai dari siswa hingga mahasiswa, junior sampai senior, semua sepakat untuk nurut, gak neko-neko dulu keluar rumah, karena virus ini. Gerakan dengan tagar #DirumahAja yang dipopulerkan oleh Mbak Nana (Sapaan akrab Najwa Shihab) menjadi sebuah dorongan dan movement bagi mayoritas dari kita yang biasa melakukan aktivitas di luar rumah untuk tetap di rumah. 

Banyak hal yang perlu kita pelajari dari tagar dan movement ini, sebagai usaha kita membangun ekosistem media sosial yang sehat dan positif. Tapi kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadikan tagar ini mampu memobilisasi banyak orang agar tetap anteng di rumah? Kok bisa? Resep ini oleh Rhenald Kasali disebutnya sebagai SHARE. Yaitu, Story, Hype, Actionable, Relevant and Emotional. Bagaimana SHARE berlaku dalam kasus #DirumahAja?

Elemen Pertama: Story

Sebelum tagar #DirumahAja, banyak tagar lain yang ternyata mampu untuk menyatukan crowd yang antah berantah letaknya, seperti tagar #JusticeForAudrey, #2019GantiPresiden, atau #SaveOrangUtan. Online mobilization selayaknya beberapa tagar yang saya sebutkan, haruslah bermula dari sebuah isu yang kemudian dapat diangkat menjadi sebuah narasi yang kuat. Narasi yang kuat inilah yang kemudian kita sebut sebagai kekuatan pertama tagar #DirumahAja, yaitu Story.

Narasi utama dari tagar #DirumahAja adalah sebuah virus yang skala gegernya sudah mendunia, yaitu Covid-19. Bagaimana tidak! China, Italia, dan beberapa negara lain sudah menjadi korban dari virus ini. Mereka yang punya pelayanan kesehatan kualitas dunia saja masih ‘tertimpa tangga.’ Bagaimana dengan Indonesia? Ini artinya, bukan tidak mungkin Indonesia yang kita cinta ini mengalami hal yang sama. 

Baca Juga  Sekeping Hati dalam Memaknai Demonstrasi

Berangkat dari kegelisahan inilah kemudian narasi yang timbul dalam tagar ini menjadi kuat. Karena untuk mencegah virus sebagai mana ada dalam narasi yang dibangun, maka dibutuhkan kerjasama dari tiap elemen masyarakat.

Sebuah narasi yang baik termasuk narasi yang dibangun dalam tagar #DirumahAja, akan menciptakan sebuah mekanisme kebergantungan yang bersifat partisipatoris. Dalam era Hyper Connected World ini, masyarakat akan senang berbagi pengalaman yang kemudian dibagikan dalam media sosial. Oleh karenanya, belajar dari narasi dalam tagar #DirumahAja, pertanyaannya, sudah sekuat apa narasi yang anda bangun?

Elemen Kedua: Hype

​Masih berkaitan dengan narasi, sebagai upaya untuk membangun movement, yang perlu kita ketahui selanjutnya adalah bahwa narasi yang baik sejatinya adalah narasi yang bisa mengalir dan mengendarai arus (riding the stream). Ini artinya, hype dan fokus publik serta isu yang beredar adalah sebuah opportunity yang harus dimanfaatkan oleh orkestrator. 

Salah satu alasan mengapa tagar #DirumahAja dapat memobilisasi begitu banyak orang adalah bahwa Covid-19 sebagai sebuah pandemi, hari ini tengah menjadi fokus pembicaraan dunia. Baik itu oleh kalangan praktisi atau akademisi, semua bicara mengenai virus ini. Akibatnya, hype yang ditimbulkan akan turut memperkuat narasi yang dibangun. 

Peran ketokohan dalam hal ini juga sangat penting. Influencer-influencer tentu akan turut membuat gelombang narasi yang dibangun menjadi lebih besar begitu mereka turut ikut bersuara. Ia turut menciptakan hype yang lebih menggelegar, menciptakan narasi yang lebih mengakar. Tagar #DirumahAja bisa sepopuler sekarang karena semua kalangan, terutama selebriti media sosial, turut berpartisipasi dalam isu yang sedang beredar. 

Elemen Ketiga: Actionable

Sebagai bagian daripada usaha kita menyusun gerakan atau online mobilization. Maka salah satu aspek penting lainnya selain story dan hype adalah actionable. Sebuah online mobilization yang baik adalah sebuah mobilisasi yang mendukung pelibatan publik. Ini artinya, sebagai individu, kita punya peran untuk merancang narasi yang persuasif.

Baca Juga  Anggota Dewan yang Terhormat, Tak Bisakah Belajar Skala Prioritas?

​Tagar #DirumahAja sebagaimana kita jadikan sebagai contoh juga mempunyai aspek actionable itu. Ia menciptakan sebuah narasi di mana warganet dapat terhanyut. Media sosial sebagai platform juga memberi ruang bagi tiap orang untuk bersuara, sehingga tak jarang ada individu yang turut membagikan cerita mereka selama #DirumahAja. Ada yang menggunakan narasi-narasi yang humanis, ada juga yang menggunakan narasi-narasi unik yang pada akhirnya sebenarnya adalah bagian dari cara mereka untuk turut terlibat dalam movement itu. 

Elemen Terakhir: Relevant and Emotional

Terakhir, inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penting setelah narasi yang dibangun sudah dirasa cukup kuat sebagaimana saya ungkapkan pada beberapa elemen-elemen sebelumnya. Relevan dan Emosional. Sebagus apapun narasi yang dibangun, tidak akan mampu untuk memobilisasi banyak orang ketika isunya tidak relevan dengan masyarakat. 

Narasi yang relevan juga tidak cukup. Untuk mampu menggerakkan, maka narasi yang dibangun juga memerlukan bumbu-bumbu emosional. Relevansi dan emosional ini bukan tentang orkestrator. Ini tentang audiens. Ini yang kemudian menyebabkan banyak orang tergerak untuk melakukan sharing dan shaping. Pesan-pesan yang menyentuh akan secara psikologis dibagikan oleh masyarakat. 

​Narasi yang dibangun dalam tagar #DirumahAja adalah narasi yang relevan. Ia berbicara bagaimana tindak nyata yang secara aktif harus dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bila ingin Covid-19 cepat selesai. Sederhana. Di rumah saja. Gak menggunakan Bahasa ribet-ribet tapi ngena. Ia relevan dengan masyarakat kita. 

Bumbu yang digunakan dalam upaya mengglorifikasi narasinya juga sangat kuat. Mulai dari musisi-musisi yang bernyanyi sebagai bentuk kepedulian, sampai dokter-dokter yang bercerita mengenai keluarganya ketika sedang bertugas menolong pasien Corona. Gak pulang, rindu. Pulang, takut malah ikut menularkan. 

​Bumbu itu disukai masyarakat kita. Karena itu menggugah emosi, dan justru menambah rasa ingin tetap di rumah agar bapak atau ibu dokter tadi, bisa cepat melepas rindu dengan keluarganya. Semakin banyak bumbu emosionalnya, maka akan semakin baik dan semakin menggerakkan narasi itu.

Baca Juga  Santri sebagai Agen Perubahan

Belajar ​Tagar #DirumahAja

Belajar dari tagar #DirumahAja, sebagai millennial, kita dapat menggunakan dan memahami pola yang sama (S,H,A,R,E) untuk menangkal isu-isu negatif yang tengah berkembang di Indonesia. Memahami mekanisme ini juga penting untuk kemudian kita pahami bahwa segala macam isu, pasti punya orkestrator. Dan tiap orkestrator pasti punya narasi untuk kita terlibat di dalamnya. 

Bagi kita, upaya memperluas objek dakwah dan menciptakan ekosistem media sosial yang sehat dan mencerahkan, maka ada baiknya kita belajar dari bagaimana tagar #DirumahAja mampu memobilisasi orang agar tetap mau anteng di rumah.

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds