Perspektif

Diskursus Kekuasaan dan Kebijakan di Masa Pandemi

3 Mins read

Mungkin banyak yang berpikir (atau sekedar memekik dalam hati) terhadap segenap peristiwa yang mengundang gelombang protes di ruas-ruas jalan raya. Terkhusus dari kalangan mahasiswa di tengah polemik pandemi Covid-19. Bahwa apa yang mereka lakukan semata hanya untuk ugal-ugalan dan tidak komprehensif, semata-mata hanya menciptakan kemacetan di jalan dan mengganggu ketertiban berlalu lintas serta di luar koridor kebermanfaatan.

Secara sekilas, kita bisa saja berasumsi demikian apatah konstruksi sosial kekinian memberi efek domino pada bangunan paradigma kita dalam memandang suatu perkara. Kecenderungan melihat sebuah fenomena dengan mengedepankan perasaan emosi yang mendalam tanpa melalui proses klarifikasi. Atau lebih tepatnya memiliki cukup pengetahuan terhadap fenomena tersebut menjadi capaian tersendiri dari hadirnya Post-Truth.

Mengurai sedikit fenomena maraknya gelombang aksi protes dari kalangan mahasiswa di Makassar saat pandemi ini, terdapat beberapa ihwal yang patut dievaluasi atau sekedar direfleksikan. Seiring pagelaran aksi demonstrasi, fokus bahasan atau isu sentral bertumpu pada variabel masalah yang hampir sama di masing-masing kampus; kebijakan uang kuliah di masa pandemi Covid-19.

Metode dan strategi dirumuskan sebagai upaya menekan angka korban yang terpapar, berikut upaya preventif atau pemulihan kembali beberapa sektor yang drop secara drastis. Serangkaian upaya tersebut kiranya patut diapresiasi. Melandainya kurva angka reproduksi dari Covid-19 merupakan harapan bersama. Terlepas dari itu, bukan berarti langkah dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah harus pula terlepas dari pengamatan dan analisa publik, khususnya dalam hal pengambilan keputusan yang terejawantahkan ke dalam bentuk kebijakan.

Menyitir Koestler, Shore, dan Wright (1997: 5), bahwa kebijakan seperti “the ghost in machine”, sebuah kekuatan yang meniupkan kehidupan dan tujuan ke dalam mesin pemerintahan dan menghidupkan tangan yang sudah mati dari suatu birokrasi. Kendati kebijakan lahir di tengah konteks gejolak Covid-19, tak ada yang dapat memastikan bahwa relasi kuasa baik melalui pikiran maupun tubuh tidak terlibat (Kajian Kekuasaan Foucault) terlebih lagi pada perkara kebijakan di sektor pendidikan tinggi.

Baca Juga  Perayaan Maulid Nabi: Sejarah, Tradisi, dan Hikmah

Relasi Kekuasaan dan Hegemoni

Pada kasus ini, yang menjadi lokus tersendiri adalah polemik yang ramai dalam diskursus mahasiswa, yakni kebijakan uang kuliah di masa pandemi. Dalam polemik kebijakan, relasi kuasa membelah diri menjadi dua bentuk, yakni bentuk relasi kuasa dengan pikiran dan tubuh.

Sugiharto (dalam Antomo, 2013: 40) menyebutkan, bahwa bentuk relasi Michel Foucault merupakan landasan berpikir atau kognitif masyarakat pada suatu zaman. Artinya, masyarakat pada zaman tertentu diatur, dikontrol, didominasi, distigmatisasi oleh banyak kekuasaan yang nantinya akan membuat landasan berpikir masyarakat mengikuti pembuat kuasa dalam waktu dan tempat tertentu.

Sementara itu, tubuh merupakan salah satu media untuk mengoperasikan kekuasaan. Sesuai dengan teori kuasa atas tubuh milik Foucault, terdapat dua varian kuasa atas tubuh dalam suatu kebijakan, yaitu tubuh sosial dan tubuh individu. Keduanya berbentuk manipulasi, kontrol, dan objektivikasi terhadap tubuh yang disebarkan melalui varian politik ruang, kapitalisme, panoptikon, dan peraturan.

Baik pikiran maupun tubuh, keduanya menjadi media pengoperasian kekuasaan yang mewujud ke dalam bentuk kebijakan. Keduanya terus dilanggengkan dan dielaborasi hingga membentuk sebuah hegemoni. Antonio Gramsci sebagai pencetus hegemoni memberikan pengertian khusus terkait hakikat hegemoni. Adalah suatu kekuasaan maupun dominasi dari nilai kehidupan yang ada di masyarakat yang mendoktrin kelompok masyarakat lainnya agar mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut.

Ide atau aktivitas yang pada dasarnya irasional dalam sebuah kebijakan, tetapi terus direproduksi melalui dukungan relasi kuasa dan hegemoni. Maka hal demikian akan tampil sebagai diskursus yang rasional bahkan membuat masyarakat beratensi tinggi terhadap kebijakan tersebut. Secara eksplisit, kondisi inilah yang dinamakan sebagai fetisisme atas kebijakan yang ditopang kekuasaan. Kebijakan dan kekuasaan mampu memaksa masyarakat sebagai objek utama untuk percaya tanpa unsur keraguan. Kecenderungan demikian sebagai bentuk penguasaan pikiran dan tubuh masyarakat tanpa disadari.

Baca Juga  Profil Alumni Ramadan, Seperti Apa?

Resistensi

Namun. terdapat pula kelompok masyarakat yang mencoba menentang (counter) hegemoni yang hadir pada sebuah kebijakan. Seperti halnya kebijakan pendidikan tinggi. Dalam hal ini kebijakan tentang keringanan uang kuliah di masa pandemi. Melalui kacamata masyarakat awam, tentu keringanan uang kuliah ini seharusnya disambut baik. Tetapi yang terjadi malah seblaiknya. Kebijakan ini disambut dengan serangkaian aksi protes dari kalangan mahasiswa khususnya di salah satu PTKIN di Makassar.

Kebijakan terkait keringanan UKT yang ditetapkan oleh pimpinan universitas dinilai masih kurang efektif oleh mahasiswa berdasarkan hasil riset yang dilakukan. Meskipun gelombang protes berhasil mengubah yang awalnya 10% menjadi 20%, tetapi keputusan demikian masih tidak mengakomodir item yang dibayarkan oleh mahasiswa dan cenderung ditetapkan secara sepihak. Keringanan 20% diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa pada PTKIN tersebut tanpa mempertimbangkan angkatan dan jumlah SKS yang diambil mahasiswa.

Bagi pimpinan universitas, keputusan tersebut telah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Kondisi demikian menggambarkan pola relasi kuasa dan hegemoni bekerja secara jelas dalam arena kekuasaan. Relasi kuasa dalam bentuk pikiran dan tubuh dipraktekkan melalui peningkatan jumlah dari 10% ke 20%. Sehingga mahasiswa yang memandangnya secara tidak kritis akan terpengaruh dan masuk dalam kerangka hegemoni melalui seperangkat analogi “daripada 10% mending 20% atau lebih baik ada daripada tidak ada sama sekali”. Sampai di sini, hegemoni kekuasaan dalam kebijakan nampak berhasil.

Akan tetapi, mahasiswa yang masih memutuskan untuk menolak keputusan tersebut dengan kritis dan analitis justru melakoni apa yang dibahasakan oleh Foucault, “where there is power, there is resistance”. Kemudian, menunjukkan resistensinya terhadap kekuasaan dalam suatu kebijakan. Aksi demonstrasi merupakan salah satu bentuk resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan dan sekaligus menolak untuk dikontrol, karena bagi mereka. saat diri dikendalikan oleh sistem maka saat itu pulalah kita kehilangan diri.

Baca Juga  Setelah Dwiwindu Bom Bali (2): Radikalisme Bisa Dirasionalkan?

Editor: Nirwansyah

Avatar
3 posts

About author
Alumni Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *