Sulit untuk dibantah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) telah mengalami disorientasi. Setidak-tidaknya, gejala disorientasi DPR tersebut mulai nampak nyata beberapa saat setelah Pemilu 2019. Pada 5 September 2019, DPR menyetujui usulan Badan Legislatif (Baleg) DPR untuk merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usulan tersebut disetujui oleh seluruh fraksi di DPR.
Disorientasi DPR
Publik dikejutkan oleh perilaku DPR yang aneh tersebut. Saat masa jabatan anggota DPR hasil Pemilu 2014 tersebut akan berakhir pada tanggal 1 Oktober 2019, atau masa baktinya tinggal 25 (dua puluh lima) hari, DPR secara kompak menggunakan hak inisiatifnya untuk merevisi UU KPK.
Hanya butuh 16 (enam belas) hari revisi itu disetujui secara bulat oleh pemerintah dan seluruh fraksi DPR melalui rapat paripurna yang dipimpin oleh Fahri Hamzah, wakil ketua DPR, pada tanggal 17 September 2019. Ini mungkin pembahasan paling singkat suatu RUU disahkan menjadi UU dalam sejarah DPR sejak negara ini diproklamasikan.
Suara publik menolak revisi UU KPK tersebut nyaris tidak didengar. DPR sengaja melemahkan KPK, dan menutup telinga terhadap berbagai gelombang protes dan aspirasi dari masyarakat untuk membatalkan rencana revisi tersebut. Bahkan gelombang demonstrasi mahasiswa juga tidak didengar. Tampaknya, DPR ingin agar korupsi bisa lebih dibuat longgar. DPR ingin agar tidak ada lagi pejabat korup yang di-OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK.
Hal yang aneh, apologi tidak logispun dibangun. Revisi UU KPK adalah dalam rangka memperkuat KPK. Padahal, jika orang punya nalar, tidak ada satu klausul pun yang dapat memperkuat KPK. Presiden Joko Widodo juga sama saja, selalu beralasan bahwa revisi adalah bagian dari upaya untuk memperkuat KPK. Sehingga, pembentuk UU sukses membentuk opini dan sukses mengesahkan revisi UU KPK.
Mengapa DPR tidak mau mendengar suara publik, masyarakat pemilih dan yang memberikan amanah kepadanya ? Bukankah DPR itu lembaga representasi rakyat ? Pahamkah bahwa lembaga perwakilan tersebut mestinya menjadi denyut nadi suara rakyat ? Mengapa wakil rakyat mengabaikan suara rakyat ? Masih banyak pertanyaan yang bisa dideret dalam tulisan ini.
Tuna Empati dan Operasi Senyap
Tampaknya, DPR bermaksud mengulang “success story” revisi UU KPK. Kesuksesan mengabaikan suara publik tersebut dicoba diterapkan dalam sikap DPR menghadapi Pandemi Covid-19. Azyumardi Azra menggunakan istilah politik tuna empati.
Empati adalah perasaan yang sama seperti dirasakan seseorang. Empati kepada orang yang mengalami masalah, seperti sakit, terlanda bencana, kematian kerabat, kehilangan pekerjaan, dan berbagai bentuk kenestapaan laninnya. Cobalah tumbuhkan empati dan buang jauh-jauh politik tuna empati sebelum keadaaan memburuk.
Ya, dapat dikatakan, DPR telah mengalami tuna empati. Pandemi telah mengacak-acak “kemapanan” kehidupan normal masyarakat, dan standart kesehatan Covid-19, seperti menjaga jarak fisik dan larangan berkumpul, harus diterapkan, namun saat yang sama DPR tidak menggubris saran publik untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja, atau sering disebut dengan Omnibus Law yang kontroversial tersebut.
Apakah DPR justru ingin bekerja melalui “operasi senyap” untuk membahas RUU Omnibus Law tersebut, dengan memanfaatkan situasi krisis akibat pandemi, dengan meniadakan transparansi dan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya?
Kita hanya bisa melakukan dugaan-dugaan, karena orang dalam di DPR tidak ada suara oposisi yang berani membuka tabir misteri tersebut. Semua seperti “kesirep”. Kita tidak tahu “benda ajaib” apa yang bisa membuat DPR “kesirep” hingga abai terhadap suara publik.
Pengabaian Suara Publik
Fakta lain menunjukkan, dalam masa pandemi covid-19 ini, ada dua peristiwa penting pengabaian suara publik di DPR. Pertama, DPR menyetujui (kecuali fraksi PKS) Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 pada 12 Mei 2020.
Padahal, Perppu tersebut berpotensi disalahgunaan dan membuka peluang merugikan keuangan negara. Namun, hal tersebut “dibentengi” dengan hak imunitas dan biaya yang dikeluarkan dalam penanganan Covid-19, dikatagorikan sebagai bukan kerugian negara (pasal 27). Pasal ini akan berakibat, fakta tindak pidana korupsi tidak dapat dijerat secara hukum.
Kedua, pengesahan Revisi Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) pada 12 Mei 2020 juga dipertanyakan banyak pihak. DPR telah abai terhadap suara rakyat dan menghianati konstitusi. RUU tersebut dinilai lebih berpihak kepada pengusaha.
Menurut Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Nasional, Melky Nahar, lebih dari 80 persen pasal dalam UU Minerba baru mementingkan kepentingan oligarki pertambangan. UU ini produk hukum pesanan terhadap pemerintah dan DPR, semacam politik balas jasa atau transaksi antara kedua belah pihak (Gatra, 3 Juni 2020)
Dengan setidak-tidaknya beberapa fakta tersebut, — sekali lagi— sulit untuk membantah jika DPR dikatakan telah mengalami disorientasi. Dalam kamus psikologi, disorientasi adalah ketidakmampuan mengenali siapa kita, dimana kita, dan kaitan kita dengan situasi sekarang. Untuk dianggap sebagai suatu masalah, disorientasi harus terjadi terus menerus.
Ketidakmampuan DPR mengenali dirinya siapa, mereka itu dimana dan harus melakukan apa, adalah gejala-gejala awal disorientasi yang wajib dicegah, agar tidak terjadi secara terus menerus dan akan menjadi masalah yang lebih besar, dengan lenyapnya trust publik terhadap DPR.
Editor: Nabhan