Divergent di Antara Lima Faksi
Mungkin sebagian dari kita belum familiar dengan istilah “divergent”. Tenang dan santai saja saudara pembaca yang budiman. Istilah tersebut bukanlah merupakan istilah ilmiah yang harus dibuktikan kebenarannya dengan riset sana-sini. Bukan juga merupakan nama unsur senyawa kimia yang harus dipreteli kandungan dan lain sebagainya. “Divergent” tidak lebih dari sekedar judul serial film yang rilis pertama tahun 2014 lalu. Seri kedua dan ketiga ialah “Insurgent” dan “Allegiant” yang rilis berurutan di tahun 2015 dan 2016. Menceritakan tentang keadaan dunia kita di masa yang akan datang. Film ini merupakan adaptasi dari serial novel yang berjudul sama ditulis oleh Veronica Roth.
Kelak, ada masa distopia yang akan membagi manusia ke dalam lima faksi. Faksi Candor terkenal dengan kejujuran, sehingga dipercaya mengambil peran layaknya hakim. Kemudian ada faksi Erudite yang terkenal kejeniusannya, mengambil peran layaknya ilmuan yang ahli. Selanjutnya faksi Amity yang terkenal dengan kedamaian, mengambil peran layaknya petani desa yang selalu ceria. Ada juga faksi Dauntless yang terkenal dengan keberanian, dipercaya mengambil peran layaknya militer. Dan terakhir ada faksi Abnegation yang terkenal dengan naluri kemanusiaan yang kuat dan suka menolong, mengambil peran sebagai pelayan masyarakat atau pemangku kebijakan.
Dalam kurun waktu 200 tahun, kehidupan mereka berjalan dengan baik. Setiap faksi menjalankan peran dengan baik sesuai tupoksinya masing-masing. Sampai pada suatu ketika lahirlah beberapa anak yang memiliki ciri semua faksi pada dirinya. Ia jujur, suka menolong, pemberani, cerdas, dan suka dengan suasana damai. Fenomena semacam ini di masa itu merupakan suatu hal yang sangat langkah. Dan lebih parahnya lagi mereka dianggap sebagai ancaman terbesar yang membawa kehancuran. Merekalah para “Divergent” segelintir anak manusia yang memiliki keistimewaan luar biasa namun dianggap sebagai ancaman oleh semua faksi.
Analogi Divergent dalam Faksi Muhammadiyah dan NU
Menarik dan seru mengikuti perjuangan para “Divergent” dalam memperjuangkan hak mereka. Perjuangan yang menggugah semangat kita sebagai manusia biasa untuk terus mengoptimalkan potensi diri. Memperjuangkan kaum yang termarjinalkan oleh system yang sejatinya tidak manusiawi. Memperjuangkan nilai-nilai yang memang merupakan fitrah hidup dan hak persamaan yang justru dikontrol oleh hanya segelintir orang yang merasa diri serba tahu.
Fenomena yang terjadi dalam serial film “Divergent” ini sebenarnya sangat relate dan mengena dalam kehidupan kita. Analogi kehidupan berbangsa yang di dalamnya ada beberapa ormas misalnya. Contoh konkrit adanya faksi Muhammadiyah dan faksi NU (Nahdlatul Ulama). Kata faksi digunakan agar langsung bisa kondisikan dan bisa dibayangkan terkait serial film yang telah diuraikan sebelumnya.
Terkadang dalam lingkungan masyarakat Muhammadiyah, ada kerabat atau handai taulan yang memilih untuk ikut dalam beberapa agenda rutin NU seperti misalnya tahlilan, yasinan, diba’an dan lain sebagainya. Apakah itu salah? Lalu bagaimana dengan keanggotaannya di persyarikatan atau faksi Muhammadiyah? Eits,,, kita tidak akan membahas ke sana. Jujurly, kami sudah muak dengan perdebatan semacam itu. Perdebatan yang tidak mengarah kepada kedamaian sebagaimana yang dikehendaki faksi “Amity”. Fenomena seperti ini ada dan akan terus mengganda.
Teringat jelas dalam ingatan ketika salah satu tokoh besar Muhammadiyah, Bapak Din Syamsuddin ikut duduk di samping Bapak Said Aqil Siradj mengikuti acara tahlilan. Dalam hal ini, kami percaya bahwa ada jiwa “divergent” dalam diri Bapak Din Syamsuddin. Itu satu dari sekian banyak kasus yang mirip. Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat atau faksi NU, terkadang kita melihat kerabat atau handai taulan yang sangat senang mengikuti kajian atau tabligh akbar yang diadakan oleh faksi Muhammadiyah. Bahkan di beberapa kesempatan tokoh NU seperti Gus Ulil Abshar Abdallah dengan sangat antusias menjadi pembicara dalam forum diskusi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Fenomena seperti ini sudah tidak jarang ditemukan.
Mereka Dirangkul Bukan Dikucilkan
Muhammadiyah dan NU adalah dua faksi ormas yang memiliki basis massa terbesar di Indonesia. Ini valid no debat. Akan tetapi akankah kita menafikan keberadaan anggota Muhammadiyah yang juga meyakini dan mempraktekkan sebagian ajaran NU dalam kehidupan sehari-harinya? Juga bagaimana dengan sebagian warga NU yang dalam kehidupan sehari-hari menyepakati dan meyakini sebagian ketentuan ajaran menurut Muhammadiyah? Apakah golongan yang cenderung berpijak di dua sisi ini akan ditentang dengan keras dan dianggap sebagai ancaman oleh kedua faksi? Kami yakin itu bukan jalan yang akan ditempuh oleh kedua faksi.
Cukuplah para “divergent” ini diasingkan dan dibuang ke kelompok non-faksi di dalam skenario film saja. Kami yakin Muhammadiyah dan NU justru akan merangkul dan tetap mengayomi dengan semangat moderasi dan persamaan hak antar sesama umat beragama Islam. Para “divergent” di tangan Faksi Muhammadiyah dan NU bukanlah merupakan perusak yang akan mengancam eksistensi kedua faksi. Justru sebaliknya. Para “divergent” inilah yang kelak akan memupuk benih-benih persatuan. Menjauhkan dari perpecahan dan memutus rantai perselisihan diantara dua faksi.
Dari serial film “Divergent” kita mesti belajar. Bagaimana mengolah dan mengelolah perbedaan. Jika dalam skenario film mereka dikucilkan karena keistimewaan yang mereka miliki. Maka jalan yang seyogyanya ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU ialah justru sebaliknya. Karena tidak menutup kemungkinan merekalah yang akan menjadi pionir-pionir persatuan. Menjadi golongan yang senantiasa mengesampingkan perbedaan untuk bersama-sama mencapai tujuan yang luhur. Yakni menyebarkan substansi Islam seluas-luasnya kepada segala penjuru untuk meneruskan perjuangan nabiyullah Muhammad Saw menegakkan Islam yang rahmat bagi sekalian alam.
Editor: Soleh