Kala itu Goenawan Mohammad, salah satu pendiri Tempo dikirimi pesan pendek oleh kawan lamanya. Pesan itu berisi tentang kabar meninggalnya Edward Said, seorang intelektual Palestina-Amerika yang menulis karya fenomenal “Orientalism”. Setelah itu, isi pesan berikutnya berbicara mengenai duka atas kehilangan sesorang dan juga duka Palestina. Lalu apa hubungannya dengan dosa kita pada Palestina?
Kita dan Palestina
Kawan GM itu menebak pastilah GM turut merasakan hal yang sama dan agaknya mereka punya ikatan batin yang lumayan. Alasannya yaitu, mereka sama-sama suka dan membaca buku-buku Edward Said. Dan benar saja, pada bagian pesan itu GM ditanya, ” Kenapa saya sedih? ” dan “ Kenapa kita sedih?”
Bayangkan, jika pada satu pagi kamu membuka telepon genggam dan pesan pertama yang kamu buka adalah kabar kematian seseorang yang anggap saja kamu idolakan. Perasaan apa yang menyelimuti hati mu dan kira-kira dengan cara yang bagaimana kamu harus membalas pesan itu?
Saya menduga waktu itu dan rasa-rasanya GM akan menjawab pesan dengan kalimat bernada getir. Yakni susunan kata demi kata yang tegas dan diketik dengan posisi gigi geraham yang membentuk ekspresi seperti marah, GM mengirim balasan pada kawannya itu, “Mungkin karena hati kita adalah Palestina”. Sejurus kemudian, kalimat setelahnya ” Yang pernah merasakan bagaimana diringkas, diringkus dan dibungkam dunia.”
Sebaris pesan pendek itu terbit di koran Tempo edisi September 2003. Kita masih bisa membacanya dalam Catatan Pinggir jilid 7 milik GM. Selang tujuh tahun kemudian, isi kalimat di pesan itu masih hidup dan makin tak berjarak dengan kenyataan. Bahwa Palestina sebagai negara-bangsa masih diringkas, diringkus dan dibungkam dunia.
Nasib GM dan nasib Palestina kini bertolak punggung. GM hanya “pernah” diringkas, diringkus dan dibungkam. Itu fakta yang mengacu pada pengalaman GM ketika menentang Orde Baru, kuasa berganti dan penderitaan berakhir. Tapi tidak untuk Palestina, bagi rakyat-rakyat Palestina, diringkas, diringkus dan dibungkam dunia tak ada kaitannya dengan kekuasaan. Generasi bertumbuh, pemimpin negara-negara berganti dan konflik Palestina masih dalam kepedihan yang belum berubah. Tak beranjak.
Diringkas, Diringkus dan Dibungkan Dunia
Palestina masih diringkas, diringkus dan dibungkam dunia. Kata orang konflik Palestina-Israel bukanlah konflik agama melainkan kemanusiaan. Bukan saja hanya semata-mata memperebutkan Yerusalem. “Tanah yang dijanjikan” itu, kerap diringkas dengan cara-cara yang halus. Padahal kita tahu ada simbol agama, ada ribuan manusia Palestina, ada tangan-tangan politik yang mencekik Palestina.
Dengan sangat gagah amanat Konstitusi kita berbicara, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan…”. Lalu kita melafazkannya dalam semangat diplomatik dan kata orang, kemampuan berunding kita sudah teruji.
Namun, ketika negara adikuasa yang tak lain kongsi dekat Israel yang turun tangan, kalimat konstitusi diatas seolah batal. Palestina terasa seperti pengecualian dan diplomasi kembali ke titik nol. Kita kalah dengan gaya politik veto Amerika dan berakhir dengan menemui jalan buntu.
Palestina diringkus dan Zionis laknatullah yang meringkus merasa tidak berdosa. Lantas kita cuci tangan. Menyembunyikan dosa dengan cara memberi bantuan obat-obatan, pangan, sekolah, pendirian rumah sakit, mengirim relawan, demo berjilid-jilid dan lain sebagainya.
Tatkala dunia bicara soal keadilan hingga berbusa-busa dalam mempromosikan Human Rights. Akan tetapi, masih banyak anak-anak yang berdarah dan nyawa-nyawa terbang bak puing di tepi Barat Gaza. Dunia malah menutup mata, mengunci mulut, menyumpal telinga dan bungkam terhadap Palestina.
Potret Haru Para Pejuang Palestina
Palestina seperti berada di ruang isolasi besar atau apapun sebutannya. Yang pasti denting ketakutan, kesedihan dan penderitaan Palestina masih terdengar terang di telinga kita. Kita yang pernah mengutuk kesepian, belum ada bandingannya dengan hari-hari mencekam di Palestina.
Betapa sakitnya hidup di Gaza. Sebagai gambaran, pernahkah kita tidur berjejal, dengan kasur bolong-bolong, di bekas rumah yang hampir rubuh akibat dibom sebelumnya. Para Ibu di Palestina hidup dalam keadaan cemas. Sebab, anak-anak mereka, saudara dan suami digelayuti ketidakpastian akan hari esok. Apakah masih bisa dijalani bersama atau maut tiba lebih dulu sebelum orang-orang terkasih itu datang ke rumah.
Pernahkah kita, punya mainan berupa batu dan ketapel yang difungsikan sebagai senjata. Lalu, dengan kawan-kawan sebaya berbagi peran. Semua menjadi “super hero“, berhadapan dengan panjahat yang pengecut dan siap untuk menjatuhkan pesawat-pesawat tempur jet F-16 yang mengaum kencang di langit.
Pemuda-pemuda Palestina mempersenjatai diri dengan mortir, granat, yang paling mewah barangkali adalah AK-47 dan sabuk berisi peledak. Meskipun mereka tahu akan berakhir kalah. Akan tetapi, harga diri sebagai penjaga tanah Al-Quds merampas habis segala ketakutan itu dan kemudian membentuk barikade syuhada. Walau yang dihadapi adalah tank-tank tempur terbaik jenis Merkava IV.
Di Palestina matahari terbit lebih awal, lalu tenggelam dan terbit lagi. Waktu bergerak, tiap menit, tiap jam dan tiap hari. Seperti kata GM, “Palestina selalu berisi ketegangan: antara amarah dan cita-cita, kemungkinan dan kematian, ketergusuran dan kepahlawanan, nostalgia dan sulitnya harapan”. Kita mendoakan Palestina, dalam ketegangan itulah Palestina diucapkan dan Palestina berdiri lagi, lagi dan lagi.
Palestina adalah “tanah tumpah darah”, dalam pengertian yang paling harfiah. Tetapi, justru karena itulah Palestina akan tetap nyala dan hidup sebagai hasrat. Ia seumpama cakrawala yang tiap kali didekati ia menjauh, namun di sanalah sesuatu yang indah akan ditetapkan. Kita tahu, muara dari konflik di Palestina adalah keyakinan kita terhadap Nubuwat Rasulalallah Shalallahu Alaihi Wasallam.
Dosa Kita Pada Palestina
Membaca ulang kisah-kisah tentang Palestina, barangkali akan mengaktifkan ingatan kita akan betapa pentingnya menghargai “harkat-harkat kemanusiaan”. Kalimat yang sengaja saya tebalkan, itulah yang semenjak lama rasa-rasanya hilang dari Palestina. Karena, dirampas oleh Zionis Israel dan antek-antek mereka.
Asal tahu saja, Palestina rasanya mustahil untuk bisa kita bebaskan jika hanya sekedar memutar dan berdendang nasyid Shoutol Harakah: Palestina tercinta, Arruhul Jadid, atau apapun. Syair-syair dalam lagu nasyid hanya akan mentok pada ghirah jihad di permukaan yang kembang kempis.
Saya paham itu bagian dari cara bersimpati dan jangan maknai kalimat diatas secara literal. Di bagian akhir dari catatan ini saya ingin sampaikan bahwa membebaskan dan mengembalikan bumi Palestina bukanlah perkara jentik jari, tak segampang itu.
Bumi Palestina menantikan generasi-gnerasi sperti Umar bin Khattab, Sholahudin al-Ayubi dan sebagainya sebagai sosok pembebas. Selama kaki tangan Zionis Israel masih mencengkram tanah suci Yerusalem, selama itu pula kita masih punya tanggungan dosa kepada Palestina. Bertanyalah pada diri masing-masing, dengan cara apa kita akan membayar dosa kita pada Palestina tersebut?
Editor: Nirwansyah/Nabhan