Dosen UMP Jadi Peneliti WHO
Raut wajah bangga dan bahagia nampak jelas dari dosen farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Didik Setiawan PhD Apt. Dosen yang merampungkan studi doktoralnya di negeri Kincir Angin ini terpilih menjadi satu-satunya peneliti dari Indonesia yang dipilih World Health Organization (WHO).
Didik terpilih setelah penelitiannya selama studi doktoral tentang kanker serviks di publikasikan secara internasional. Di Indonesia sendiri, peneliti kanker serviks yang mempublikasikan penelitiannya secara internasional kata dia, baru dia seorang. “Sepertinya belum ada yang dipublikasikan secara internasional,” katanya.
Ia pun mengaku sangat tidak menyangka bisa terpilih menjadi satu di antara puluhan atau mungkin ratusan orang untuk meneliti kanker serviks yang menjadi program WHO. “Tidak terbayangkan sebelumnya, bisa dianggap sebagai peneliti yang kompeten di level dunia. Sangat bersyukur, ini suatu kebanggaan bagi saya. Semoga apa yang diketahui bisa bermanfaat bagi orang lain,” kata dia.
Didik mengatakan, kemungkinan ia terpilih karena penelitian kanker serviks yang dipublikasikan secara nasional saat ini hanya ia seorang dari Indonesia. Sementara Indonesia merupakan satu negara yang menjadi perhatian terkait kanker serviks.
“Kanker serviks ini menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara, kanker yang diderita wanita di dunia,” katanya.
Ia sendiri mengaku tertarik meneliti kanker serviks dalam studi doktoralnya. Karena selain banyaknya penderita, kankers serviks juga sangat mudah menular melalui kontak genital. Sebagai bahan penelitiannya, ia mengkaji berbagai penelitian kanker serviks di dunia terkait pencegahan kanker serviks.
Dan sekitar tahun 2006, sudah ditemukan vaksin untuk mencegah virus HPV. Namun, dengan biaya yang sangat mahal. “Kanker serviks ini masalahnya jelas. Butuu biaya mahal untuk mengobati, selain itu penderita juga kasihan. Sementara jika kita bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya, kenapa tidak. Ini harusnya diperjuangkan,” katanya.
Sebelumnya, ia mengaku sudah ke komisi IX DPR RI, supaya vaksinasi HPV menjadi program nasional. Sebab, hingga saat ini vaksin HPV sudah diberikan di Indonesia. Namun, karena biayanya yang mahal mencapai Rp 500 ribu setiap sekali vaksin, pemberian vaksin tersebut mengacu skala prioritas dengan penderita kanker serviks terbanyak di Indonesia. Karena, pemberian vaksin HPV harus 2 kali, sehingga per orang membutuhkan biaya sekitar Rp 1-1,5 juta untuk vaksin HPV.
Pemberian vaksi HPV di Indonesia, sementara baru dilakukan secara di beberapa kota. Di antaranya DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali, Makassar, Manado dan Surabaya. Vaksin diberikan kepada anak-anak perempuan saat di kelas 5 dan 6 SD atau sekitar usia 9-13 tahun.
Kanker serviks sendiri kata dia bukan hanya menyerang wanita saja. Karena kanker serviks akan menular melalui kontak genital, bisa menyerang bagian apa pun yang mengalami kontak genital dengan penderita.
WHO kata dia tengah mempunyai program ingin menghilangkan kanker serviks di dunia. Targetnya kata dia sekitar tahun 2030 dunia sudah tidak lagi ada kasus terinveksi kanker serviks. “WHO ini mencari peneliti di dunia yabg meneliti pencegahan kanker serviks. Dan di Indonesia alhamdulillah saya terpilih. Mekanismenya pun sebenarnya sudah jelas, karena sudah diketahui penyebabnya virus HPV dan sudah ada vaksinnya. Harapannya setelah penelitian ini nanti sudah tidak ada penyebaran virus HPV,” katanya.
Ia bersama tim peneliti dari negara lain akan melalukan penelitian selama satu tahun ke depan. Yang semuanya dibiayai full oleh WHO dengan sasaram negara miskin dan berkembang. Indonesia termasuk menjadi satu negara yang diteliti.
Untuk mengawali penelitian tersebut, ia bersama tim peneliti lainnya akan bertemu di Geneva Switzerland untuk pertemuan membahas skenario penelitian selama satu tahun ke depan. “Kami belum tahu akan seperti apa sistemnya, yang pasti nanti di Geneva kita akan melakukan presentasi desain pemusnahan kanker serviks di dunia. Targetnya, eradikasi kanker serviks di dunia sudah mulai kelihatan. Karena kendalanya harga tetap mahal,” ujarnya.
.
Sumber : www.ump.ac.id
.