Filsafat & Agama | Pada abad ke tujuh hingga delapan Masehi, bangsa Arab berada dalam proses transisi dari suatu kolektif suku-suku nomaden yang terisolasi di padang pasir menuju suatu bakal imperium besar dunia. Daerah-daerah kekaisaran megah Romawi dan Persia secara cepat diambil alih ke dalam wilayah Islam.
Konsekuensinya, secara alami Muslim menjalin kontak dengan budaya intelektual yang kaya. Melihat berbagai manfaat penting dari penguasaan budaya intelektual itu, kekhalifahan membiayai proyek besar untuk penerjemahan karya-karya keilmuan yang meliputi filsafat hingga kedokteran.
Khalifah Al-Ma’mun merupakan yang paling ambisius. Konon kisahnya, Al-Ma’mun pernah bertemu Socrates di dalam mimpi. Menganggapnya sebagai suatu pertanda penting, mimpi itu kemudian mendorong Al-Ma’mun untuk mengadopsi ilmu pengetahuan Yunani dan filsafat pada masanya.
Al-Kindi sebagai kepala Baitul Hikmah, merupakan satu di antara yang pertama menjemput filsafat ke dalam Islam. Dalam Buku Falsafah Al-Ula, disebutnya bahwa buku tersebut ia persembahkan bagi Khalifah Al-Mu’tasim, putra Al-Ma’mun sendiri.
Falsafah, Kalam, dan Hikmah
Di saat itulah, mulai muncul konflik awal yang mendefinisikan posisi ilmu pengetahuan, atau secara khusus filsafat dalam kesadaran Muslim. Falsafah disebut sebagai kata serapan dari filsafat ke dalam bahasa Arab.
Falsafah atau filsafat saat itu segera mendapat penolakan yang keras dari kebanyakan ulama fiqih. Bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang liar dan tidak selaras dengan Islam.
Alasan utama mereka utamanya satu: bahwa filsafat terlalu mengandalkan rasio ketimbang Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran. Demikianlah, bagi mereka filsafat adalah bukan Islam.
Para ulama itu kemudian melahirkan ilmu kalam sebagai tandingan. Sesuai namanya, kalam bermakna ucapan atau firman, yang mengindikasikan penekanan pada ayat-ayat Al-Qur’an sebagai basis argumentasi. Menurut mereka ilmu kalam dapat menjawab semua pertanyaan mengenai persoalan-persoalan teologis seperti sifat-sifat Allah dan makhluk-Nya.
Sebagian filsuf kemudian menggunakan kata hikmah, ketimbang falsafah. Tentu, karena hikmah merupakan suatu kata yang dapat ditemui dalam Al-Qur’an. Harapan mereka bahwa hikmah kemudian dapat mengatasi penolakan yang keras dari para ulama itu.
Harapan itu nyatanya cuma harapan. Hingga kini, apapun namanya, baik filsafat, falsafah atau hikmah tetap menjadi anak tiri dalam peradaban pendidikan Islam. Tanpa filsafat, peradaban Islam tidak merasakan kekosongan. Sebab, segera muncul ilmu lain: tasawuf.
Tasawuf
Jika rasionalisme yang diusung filsafat dinilai berbahaya dan tidak islami, maka tekstualitas yang diyakini kalam ternyata juga belum memuaskan semua pihak.
Sebabnya, ada di sementara kalangan yang menganggap firman Allah tidak dapat dipahami hanya dengan penguasaan bahasa, teks, dan tradisi (hadis). Namun, lebih dari itu diyakini bahwa menjumpai Al-Qur’an harus menggunakan fakultas lain disamping indra (mata) dan akal.
Kata para sufi bahwa ulama-ulama kalam itu menganggap bahwa apa yang nampak pada teks Al-Qur’an telah memadai untuk dianalisa dan ditafsirkan. Padahal menurut mereka, apa yang tampak hanyalah bungkus dari makna sejati yang hanya jelas bagi mereka dengan kejernihan intuitif.
Meski sama-sama memiliki pandangan yang berbeda dengan para ulama tradisional, kondisi berbeda dinikmati tasawuf. Ketimbang dilarang dan dihujat, tasawuf relatif dapat diterima sebagai suatu pendekatan dan model pendidikan spiritual pribadi muslim.
Pesantren misalnya, adalah suatu lembaga pendidikan yang dipimpin seorang figur kyai. Lukens-Bull, seorang antropolog Amerika pernah menyebut bahwa sosok kyai ini adalah seorang pakar agama yang sekaligus sufi.
Mengingat jumlah pesantren yang banyak dan terus berkembang pesat, maka sulit untuk mengatakan bahwa tasawuf dan pandangan dominan anti-filsafat masih bertahan hingga hari ini.
Akar Konflik Pertama: Epistemologi
Dari uraian sejarah singkat di atas, dapat kita tarik suatu benang merah. Konflik yang terjadi itu berpusat pada satu masalah utama: sumber ilmu pengetahuan atau kebenaran.
Adapun filsafat mendekati Al-Qur’an dengan rasional. Mereka memahami bukan semata apa yang literal dikatakan oleh ayat, namun dengan pengertian yang telah diukur melalui akal. Dalam istilah yang dikembangkan Prof. Abed Jabiri, para filsuf masuk dalam kategori epistemologi burhani.
Sedangkan para ulama menekankan teks baik Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber kebenaran. Bagi mereka akal memiliki keterbatasan yang nyata dan sering tersesat. Maka mendasarkan pada rasio merupakan suatu kesalahan besar. Dalam pengertian Jabiri, pandangan ini disebut bayani.
Pada akhirnya tasawuf memiliki pandangan alternatif yang berbeda dari keduanya. Pengetahuan intuitif jauh lebih unggul karena ia merupakan hasil dari pengertian-pengertian yang Allah langsung anugerahkan kepada seseorang. Inilah yang kemudian dikenal dengan epistemologi irfani.
Ketiga epistemologi itu pada kenyataannya sama-sama bersumber dan dijustifikasi Al-Qur’an. Pengetahuan rasional-bayani didukung oleh ayat-ayat yang berisi perintah untuk berpikir (QS. Al Hasyr [59], 21; QS. Al-An’am [6], 50).
Kemudian pengetahuan tekstual-bayani berpijak pada penegasan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang beriman (QS. Al Baqarah [2], 2). Sementara pengetahuan intuitif-irfani dapat dirujuk dari ayat-ayat tentang penyingkapan oleh Tuhan (QS. Al Baqarah [2], 118; QS. Ali Imran [3], 7).
Namun, perseteruan antara tiga ragam epistemologi itu rupanya tidak bisa dilihat murni dari sudut pandang epistemologi. Turut terkait erat konflik politik di antara para epistemolog itu.
Akar Konflik Kedua: Politik
Pada masa Al-Ma’mun berlaku suatu kebijakan diskriminatif kepada para ulama. Mihnah, nama kebijakan itu, menyebabkan setiap ulama harus tunduk kepada teologi rasional ala Mu’tazila.
Setiap yang menolak akan kehilangan posisi di istana dan bahkan dipenjara. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, adalah salah satu korbannya.
Teologi Mu’tazilah yang berpijak pada epistemologi burhani itu sayangnya tidak bertahan lama. Pasca kematian Al-Ma’mun, penerusnya ternyata tidak memiliki kekuasaan politik sekuat Al-Ma’mun. Di tengah tekanan masyarakat dan demi stabilitas politik, maka khalifah berikutnya memutar arah kebijakan. Jadilah, Mu’tazilah yang dulu dominan karena dukungan politis, kini menjadi minoritas.
Analisa lain menunjukkan bahwa ancaman dari negara-negara lain, menjadikan kekhalifahan berfokus kepada stabilitas politik dan penguatan militer. Rupanya, teologi sunni yang mengombinasikan pendekatan tekstualis dan intuitif itu lebih mampu memenuhi kebutuhan kekhalifahan.
Bagaimana tidak, otoritas agama yang dimiliki para ulama kemudian diperkuat oleh kapasitas moral yang menjadi ‘sakral’. Ulama-ulama itu bersama militer menjadi alat dalam menjaga soliditas negara dan tentu yang paling utama mengamankan kursi kekhalifahan.
Adapun para sufi yang zuhud cenderung menarik diri dari panggung politik. Tasawuf kemudian dianggap bukan suatu ancaman yang berarti. Pelembagaan madrasah nizamiyah dan yang serupa pada penghujung kekhalifahan abasiyah kemudian mengonsolidasikan kekuatan ulama hingga keabadian.
Kini filsafat dipelajari dengan sangat terbatas. Sedikit kampus dan orangtua yang mau berinvestasi pada filsafat. Demikian pula di luar kampus, filsafat jarang memiliki dukungan dari masyarakat, terutama pemuka agama yang sedari awal memang memandang sebelah mata pada filsafat.
Editor: Yahya FR