IBTimes.ID – Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) harus berpikir besar, saling membantu, dan saling berbagi. Demikian pesan Buya Syafii Maarif yang dimuat Kompas pada hari ini (5/1). Pesan Buya tersebut berangkat dari sebuah lukisan yang dibuat oleh pelukis Djoko Susilo. Lukisan itu berisi wajah Buya dan Gus Mus yang berdampingan dalam gelap.
“Imajinasi Pak Djoko sungguh mendahului zaman. I am proud of him,” demikian komentar Buya melihat lukisan dua wajah tokoh bangsa tersebut. Ungkapan “mendahului zaman” ia maksudkan sebagai sebuah harapan akan munculnya corak tafsiran Indonesia pasca-NU-Muhammadiyah. Sebuah Islam yang tidak tercemar oleh warisan silang sengkarut mazhab, sejarah, dan kepentingan politik.
Buya, sebagai seorang tokoh besar, dengan segenap kerendahan hati memberikan komentar langsung dengan bahasa Indonesia dicampur bahasa Jawa halus melalui pesan tertulis kepada Djoko Susilo. “Pak Djoko, matur nuwun sanget (terima kasih banyak). Di bawah ini catatan saya atas lukisan Pak Djoko yang dahsyat itu.” Lalu ia kirimkan komentar sebagaimana di atas.
“Matur nuwun sanget,” lanjut Buya. “Sangat tajam dan gagasan sebuah corak Islam pasca-NU-Muhammadiyah. Luar Biasa.” Djoko Susilo kemudian berencana melukis ulang lukisan tersebut untuk diserahkan ke Buya.
Menurut Buya, Djoko Susilo memiliki gagasan yang jauh ke depan. Bahwa NU dan Muhammadiyah mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan-tangan perusak, termasuk dari mereka yang memakai bendera agama.
NU-Muhammadiyah yang mewakili arus utama Islam Indonesia, lanjut Buya, harus semakin menancapkan jangkarnya di samudra Nusantara sedalam-dalamnya. Generasi Baru dari kedua arus utama ini mersti berpikir besar dan strategis dalam upaya menjaga dan mengawal kepentingan keindonesiaan yang kadang-kadang terasa masih goyah.
Buya juga berpesan sekiranya ada riak-riak kecil yang “agak aneh” yang menyusup ke dalam kedua Jemaah santri ini, maka harus cepat disadarkan agar tubuhnya menjadi aman dan kebal terhadap serbuan ideologi impor yang sedang terkapar di tanah asalnya.
“NU-Muhammadiyah adalah benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan,” tulis Buya dengan penuh ketegasan.
Maka, menurut Buya, untuk melangkah kepada tujuan besar dan mulia itu, Muhammadiyah dan NU mesti mengembangkan sikap-sikap yang lebih dewasa dan terukur dalam menghadapi isu-isu semasa yang kadang-kadang dapat mengundang salah paham yang tidak perlu.
Buya menyebut sekalipun perbedaan-perbedaan khilafiah antara NU-Muhammadiyah sudah terkubur, di ranah lain dalam masalah keduniaan masih memerlukan perbaikan-perbaikan yang konkret, terbuka, dan jujur.
Dalam hal politik kenegaraan, Buya berpesan agar kedua kubu santri ini mesti mengubah paradigma berpikirnya untuk tidak lagi terjebak “berebut lahan” dalam kementrian tertentu yang dapat mempersempit langkah besar ke depan. Karena “Muhammadiyah-NU seharusnya tampil sebagai tenda besar bangsa dan negara,” sebagaimana tulis Buya di Kompas.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang lebih terbuka dan relatif punya radius pergaulan yang lebih luas bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini? Buya berharap agar tidak ada alasan lagi untuk terus terkurung dalam lingkaran terbatas yang bisa menyesakkan napas dan sia-sia.
Menurutnya, apabila benteng Muhammadiyah-NU jebol ditembus infiltrasi ideologi impor dengan teologi kebenaran tunggal, maka integrasi nasional Indonesia akan goyah dan oleng. Oleh sebab itu, kedua arus besar komunitas santri ini harus tetap awas dan siaga dalam menghadapi segala kemungkinan buruk itu.
Buya berpesan agar energi bangsa tidak lagi dikuras untuk memburu kepentingan pragmatisme jangka pendek. Karena “Islam terlalu besar dan mulia untuk hanya dijadikan kendaraan duniawi yang bernilai rendah.”
“Eman-eman. (Sangat disayangkan). Lukisan Djoko Susilo harus dibaca dalam perspektif masa depan yang lebih adil dan ramah untuk semua,” tutup Buya.
Reporter: Yusuf
Sumber: Ahmad Syafii Maarif, “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU” (Kompas, 05/01/2021).