Perspektif

Dua Kesalahpahaman Kita dalam Membaca Konflik Palestina-Israel

5 Mins read

Tulisan ini berangkat dari perbualan menanti pagi bersama dua orang rekan yang kebetulan beragama dan ber-etnis Yahudi via WhatsApp call dua hari yang lalu. Kedua sahabat Yahudi yang saya kenal pertama kali di Australia sejak tiga tahun silam itu, merupakan bagian dari gerakan B’Tselem yang sering memperjuangkan isu-isu kemanusiaan di wilayah Tepi Barat melalui dokumentasi video yang mereka unggah di kanal Youtube.

Anggota dari B’Tselem kebanyakan Yahudi totok dengan KTP Israel. Bagi otoritas Israel, kehadiran aktivis pro-Palestina yang berkewarganegaraan Israel merupakan ancaman yang harus ditindak melalui jalur represi. “duri dalam daging” begitulah jika diistilahkan.

Dari persahabatan dengan kelompok Yahudi yang garis lurus ini, saya pun menyadari ada dua kesalahpahaman kita dalam membaca konflik Palestina-Israel.

Menganggap Semua Yahudi Sama dengan Israel dan Sudah Pasti Berideologi Zionis  

Kesalahpahaman kita yang pertama adalah menganggap semua Yahudi sama dengan Israel dan sudah pasti berideologi Zionis. Sebenarnya point pertama ini sudah saya ketahui sejak lama namun ingin kembali saya tegaskan dalam tulisan ini.

Seiring dengan bertambahnya persahabatan saya dengan gerakan anti penjajahan Israel dan Zionisme dari kalangan Yahudi seperti Neturei Karta, Jewish voice for peace, Jewish Voice for Peace Action, Breaking the Silence, Kerem Navot, Yesh Din, Against the Wall, Independent Jewish Voices, Media Haaretz, B’Tselem, dan masih banyak lagi tentu saja membuka wawasan saya tentang sisi lain konflik yang ternyata kompleks dan tidak biner.

Yahudi sebagai etnoreligius (kelompok etnik yang melekat dengan satu agama) tidaklah satu komando di bawah telunjuk zionisme dan Israel. Penafsiran tentang kepulangan Yahudi ke tanah Palestina oleh golongan zionis, ternyata ditentang oleh kelompok Yahudi lain sebagai upaya membajak agama Yahudi untuk tujuan penjajahan.

Secara historis, kemunculan gerakan zionisme baru ada sejak abad 19, jauh sebelum eksistensi Yudaisme sendiri ternyata banyak dipengaruhi oleh sekularisme ketimbang ajaran Taurat. Menurut banyak aktivis Yahudi yang pro Palestina, kemunculan zionisme justru didukung dan dipengaruhi oleh kekuataan neo-kolonial dan kapitalis yang semakin memperburuk citra Yahudi. 

***

Jika anda hobi membaca ada banyak buku yang membahas perihal penentangan terhadap zionisme. Yang saat ini saya baca, berjudul Zionism: The Real Enemy of the Jews (Zionisme: Musuh Nyata untuk Yahudi), Dua volume, karya Alan hart, disitu dijelaskan secara detail bagaimana zionisme yang kemudian memunculkan entitas Israel sebagai Negara justru merupakan ancaman bagi komunitas Yahudi sendiri.

Baca Juga  Budaya Melayu (7): Orang-orang Minang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Oleh karena itu, menjadi wajar jika Israel yang mendaku sebagai Negara Yahudi sebenarnya jauh dari ajaran Taurat. Israel hanyalah pemukiman kolonial (settler colonial) yang cenderung bergaya sekular dan liberal ketimbang mengikuti hukum Taurat.  

Perihal invasi Israel ke Gaza yang saat ini terjadi, menurut sahabat saya yang sebenar lagi menjadi rabbi (pemuka agama Yahudi) di Sinagogi Perth, Australia  justru dianggap bertentangan dengan ajaran Yahudi tentang kemanusiaan yaitu Tikkum olam, tentang tugas Yahudi untuk memberikan manfaat bagi dunia, baik melalui laku maupun doa dan pikuach nefesh, ajaran tentang menyelamatkan nyawa dan memuliakan kehidupan.

“Jika pun harus mempertahankan diri, maka dilakukan dengan cara-cara yang seminimal mungkin tidak mengorbankan orang yang tidak berdosa. Lagipula sebagaimana ajaran al-kitab, apa yang diterima oleh Israel, karena selama ini mereka menabur angin kemudian menuai badai,” katanya melalui komunikasi WhatsApp kepada saya (18/10).

Menganggap Konflik Israel vs Palestina Merupakan Konflik Agama

Kesalahpahaman kita yang kedua adalah menganggap konflik Palestina vs Israel merupakan konflik agama. Padahal yang terjadi di lapangan melampaui persoalan agama.

Saya pribadi menghargai jika ada pandangan seperti ini, apalagi pandangan ini ranahnya bercampur dengan keyakinan yang tidak bisa kita bantah apalagi ketika melibatkan penafsiran akhir zaman. Namun argumen- argument sosio-politik perlu diketengahkan sebagai penambah wawasan, karena beragama yang baik itu tidak buta dan mencintai pengetahuan.

Memang benar, secara demografis, sebagian besar warga Israel itu beragama Yahudi dan sebagian besar warga Palestina itu beragama Islam. Namun banyak kajian mendapati jika agama tidak termasuk dalam daftar penyebab langsung konflik yang berkepanjangan ini. 

Apalagi jika mengingat ada dua juta Muslim di Israel yang memiliki kewarganegaraan Israel yang berdampak pada ikutnya mereka dengan kebijakan Israel termasuk persoalan wajib militer, sehingga tidak heran jika ada aparat Israel yang berasal dari golongan Muslim.

Baca Juga  Ignaz Goldziher: Orientalis Yahudi anti-Zionisme dan Pakar Bahasa Arab

***

Di satu sisi, penduduk Palestina ada yang berasal dari kelompok arab non-Muslim maupun etnis non-Arab. Mereka yang beragama Islam maupun tidak yang juga merasakan dampak penindasan yang sama. Bahkan kelompok Yahudi yang menentang Israel sekalipun seperti golongan ultra-orthodox di Tepi Barat juga merasakan dampak kekerasan yang sama, padahal sebagian besar dari mereka berkewarganegaraan Israel.

Cobalah cari di Youtube tentang penangkapan polisi Israel terhadap pemuda Yahudi di dalam Sinagoga di Tepi Barat karena mengibarkan bendera Palestina. Akhir-akhir ini pun kita juga dikejutkan dengan pengeboman di Rumah Sakit Kristen dan Gereja tertua di Gaza.

Jika menelaah pergerakan awal untuk kemerdekaan Palestina, nantinya kita akan mendapati unsur kebangsaan dan nasionalisme jauh lebih dominan. Bahkan gerakan kiri turut ambil bagian dalam perjuangan itu, baik Komunis, Anarkis, maupun Sosialis.  Solidaritas internasionalisme justru datang dari negara dan elemen kiri pada masa-masa perang dingin, kasus yang monumental saat militan Marxist Jepang justru terlibat dalam pengeboman bandara Tel Aviv pada tahun 1980-an.

***

Memang benar, jika ada pula kelompok-kelompok perlawanan berbasis agama seperti Hamas dan lain sebagainya yang katanya berafiliasi dengan gerakan Islam Transnasional. Namun perlu juga digarisbawahi, Hamas yang saat ini tengah viral tetap memiliki semangat nasionalisme ketimbang ingin mendirikan suatu kekhalifahan lintas negara sebagaimana yang ISIS dan Hizbut Tahrir lakukan. Bahkan jika kita telaah, Hamas  sempat berkonfrontasi dengan ISIS dan meskipun mereka Sunni, justru mereka dekat dengan kelompok Syiah seperti Hezbollah maupun dengan Iran bahkan kekuatan kiri seperti China , Kuba, dan Korea utara.

Bahkan pada serangan yang dilakukan Hamas di awal pagi tanggal 7 Oktober lalu, dikutip dari media flashpoint, turut terlibat gerakan kiri Palestina seperti Democratic Front for the Liberation of Palestine yang berhaluan Marxist dan Popular Resistance Committees yang berhaluan kiri Islam.

Perihal isu Jerussalem, apalagi tentang kawasan Al- Aqsa yang berdekatan dengan tembok ratapan (situs tersuci bagi Yudaisme) itu juga tidak dapat dipandang dari sisi agamanya saja. Apalagi Israel selama ini justru melibatkan urusan politis terutama perihal pengakuan internasional jika Jerussalem merupakan ibu kotanya.

Baca Juga  Empat Langkah Penguatan Budaya Organisasi Muhammadiyah

Dari situ saya mengambil poin penting, tentang benar adanya jika ada yang bilang konflik Palestina dan Israel merupakan persoalan kemanusiaan antara manusia yang menindas dengan yang ditindas. Bagi saya, konflik Palestina–Israel, tidak sehomogen ataupun se-biner itu. Bahkan nyaris tak ada hubungannya dengan agama.

Lalu Apa yang Perlu kita Lakukan?

Kita sepakat apa yang terjadi di Palestina merupakan kejahatan kemanusiaan. Terus berisik merupakan solusi yang dapat kita lakukan di tengah diamnya dunia, namun tetap bijak merupakan suatu keutamaan yang perlu kita junjung.

Dalam cara kita melakukan protes pun perlu memahami perihal Fiqh Muwazanah atau Fiqh Pertimbangan agar yang terjadi kemudian lebih banyak mendatangkan manfaat daripada kerugian bagi kehidupan.

Dalam konteks gerakan boikot misalnya, kita perlu menelaah kembali dampak yang akan terjadi sekiranya hal ini kita lakukan. Apalagi banyak perusahaan di Negara Muslim yang konon katanya mendukung Israel itu, sebenarnya hanyalah franchise yang sebagian besar pengurusnya dan pekerjanya bahkan keuntungannya sendiri bermanfaat untuk umat Muslim. 

Untuk hal lain pun kita perlu menerapkan hal yang sama, agar protes kita tidak terjebak ke dalam kedangkalan yang berujung pada penguatan ekstrimisme beragama bahkan menjerat diri sendiri.  

Saya miris ketika protes Israel dan Palestina justru dipakai untuk menyebarkan kebencian kepada Yahudi apalagi yang berada di Indonesia. Perlu diketahui memang ada komunitas mikro Yahudi di Indonesia, terutama di Sulawesi Utara dan wilayah Jawa. Namun mereka bukanlah agen resmi pemerintah Israel apalagi mampu mempengaruhi agar Indonesia pro terhadap Israel.

Membedakan antara Yahudi sebagai identitas suku dan agama, Israel sebagai entitas negara, dan Zionisme sebagai gerakan ekosospol yang mendukung Israel perlu kita tekankan. Jika kita sebagai Muslim tidak menerima cap terorisme sama dengan Islam begitupun umat Yahudi.

Akhirul kalam, panjang umur untuk semua yang bersuara melawan penindasan manusia atas manusia dimanapun, siapapun, dan kapanpun mereka berada. Tabik!

Editor: Soleh

Avatar
9 posts

About author
Mantan Pengurus Divisi Kajian dan Penelitian PPI Dunia dan RPK PC IMM Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds