IBTimes.ID – Ketika tahun lalu Presiden Jokowi mengangkat Mohammad bin Zayd (MBZ), Putra Mahkota dan pemimpin de facto Persatuan Emirat Arab (PEA), yang lulusan Royal Military Academy Sandhust, Inggris menjadi ketua Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru Indonesia. Banyak orang yang kaget membaca berita itu.
Menurut Hajriyanto Y Thohari, Dubes LBBP RI untuk Lebanon, tampaknya orang telah menaksir dunia Arab terlalu rendah (underestimate). Pasalnya, dunia Arab kini tidak melulu menampilkan wajah buruk, perang, dan konflik, yang penuh katastropi seperti itu.
“Barangkali, yang didengarnya selama ini tentang Arab hanyalah perang, minyak, dan maskapai penerbangan Qatar, Emirat, dan Ittihad saja. Padahal, Arab sekarang ini kaya dengan inovasi-inovasi yang mencengangkan dunia,” ujar Hajri di Media Indonesia.
Kota-kota di negara-negara Arab Teluk tak bedanya dengan kota-kota besar Eropa, dengan infrastrukturnya yang maju dan moderen. PEA tampil sebagai ikon inovasi dan pusat teknologi regional. Pada 2020 The Emirates Mars Mission, sebuah badan ruang angkasa PEA, meluncurkan The Hope, yakni misi dan wahana ruang angkasa pertama di dunia Arab, dari Mohammed bin Rashid Space Center, dan telah mencapai orbit di Mars pada Februari 2021 ini.
Hajri menyebut PEA telah sukses mengoperasikan Barakah Nuclear Energy Plant (Agustus 2020), yang menghasilkan 25% kebutuhan listriknya. Proyek ini mengurangi emisi karbon setara dengan emisi karbon 3,2 juta mobil per tahun. Sebuah inovasi yang cukup fenomenal di tengah fakta, saat beberapa negara belum siap memanfaatkan energi nuklir sekadar untuk memenuhi kebutuhan listriknya.
Menurut Hajri, kesungguhan menapaki teknologi tinggi itu, sudah terlihat sejak pembentukan Kementerian Teknologi Edvanced, dengan pionernya seorang teknolog perempuan, Sarah Al-Amiri.
“Inovasi di bidang sains dan teknologi ini, ditopang bukan hanya dengan ketersediaan anggaran yang lebih dari memadai (tahun 2020 GDP per kapita nominal US$31.948 atau GDP per kapita PPP US$58.466, yang berarti rangking ke-9 terkaya dunia). Melainkan juga, dengan perkembangan pesat universitas-universitas berbahasa Inggris,” imbuhnya.
Pria kelahiran Karanganyar 61 tahun silam tersebut menyabut bahwa delapan dari sepuluh universitas terbaik Arab ada di negara-negara Arab Teluk. Di bidang sosial dan budaya PEA juga membentuk Kementerian Urusan Toleransi, memperbarui hukum pidana dan perdata yang lebih memberikan kebebasan pribadi dan perlindungan bagi masyarakat yang majemuk.
Termasuk ekspatriat, dan pembentukan National Human Right Authority, untuk memantapkan HAM dan menyelaraskan landasan hukum PEA berdasarkan toleransi dan persamaan. Tak ayal, hal ini akan meningkatkan posisi PEA sebagai tujuan utama bagi ekspatriat dari seluruh dunia untuk tinggal dan bekerja.
“Sementara itu, Kerajaan Arab Saudi (KAS), dengan Visi 2035 membangun kota futuristik, The Line, di Neom, yang membentang di lebih dari 170 km dengan luas 26.500 km persegi, dan melintasi tiga negara, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania,” ujar Hajri.
Kota bebas karbon senilai Rp7.000 triliun (asumsi kurs Rp 14.049) itu, imbuh Hajri, dapat menampung 1 juta penduduk yang didukung 100% energi bersih dan dioperasikan melalui internet of things (IoT).
Di bidang sosial budaya, KAS juga melakukan eksperimen yang sangat progresif, yakni membuka keran kebebasan bagi perempuan di ruang publik. Dimulai dengan izin bagi kaum perempuan untuk menyetir mobil, sampai kebebasan untuk berperan di ruang publik. Perempuan Saudi mulai mengisi sektor-sektor profesi modern. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi pejabat negara. Termasuk, Duta Besar KSA untuk Amerika.
Menurut aktivis Muhammadiyah tersebut, berakhirnya sengketa antara empat negara Arab (KSA, Mesir, PEA, dan Bahrain) dengan Qatar yang memecah Arab selama bertahun-tahun, menandai era baru. Beberapa negara Arab yang lain juga terlihat semakin berbenah diri untuk maju.
Bahrain, salah negara Arab Teluk yang lain, kini dikenal sebagai pemimpin regional dalam infrastruktur digital, serta, salah satu negara pertama yang memperkenalkan jaringan 5G nasional.
Lebanon, yang paling terpuruk pun juga mulai membuka sistem politik konfesionalisme, yang berdasarkan sektarianisme yang pengap itu. Pembentukan kabinet baru yang teknokratis dan profesional dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan rakyat dan pemuda dalam aksi-aksinya setahun ini. Langkah ini, merupakan inovasi kebangsaan yang positif.
Mesir juga berhasil melakukan inovasi atas Terusan Suez menjadi berkapasitas dua kali lebih besar. Sehingga, memberikan pendapatan negara terbesar kedua setelah sektor wisata. Irak yang sejak kejatuhan Saddam Husein tidak stabil, kini, sedang melakukan inovasi kebangsaan untuk keluar dari involusi sektarianisme.
Aksi-aksi generasi muda yang menggugat sistem politik sektarian, imbuh Hajri, menghasilkan pemerintahan baru di bawah PM Musthafa al-Kadhimi yang lebih segar, yang berusaha mengembalikan Irak sebagai negara yang independen dari hegemoni AS dan Iran.
Palestina, demikian juga. Kesepakan antara Fatah dan Hamas untuk menggelar Pemilu 2021 adalah sebuah kemajuan yang sangat berarti untuk mengakhiri perpecahan yang telah berlangsung puluhan tahun. Langkah yang dipicu kekecewaan atas kebijakan Presiden Trump yang sangat pro-Israel, malah menjadi rahmat tersembunyi yang mendorong Palestina keluar dari involusi politik yang selama ini menelikungnya.
Hajri percaya bahwa inovasi ini niscaya akan membawa keluar bangsa Palestina dari keterpurukan diri yang penuh elegi dan katastropi.
Apakah inovasi-inovasi tersebut akan berhasil membawa kemajuan dunia Arab seperti pada masa lalu?
“Jawabnya, perlu dilihat dalam beberapa tahun yang akan datang. Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa dunia Arab tidak berhenti dalam jebakan involusi sosial dan politik belaka. Ada inovasi-inovasi di sana,” tutup Hajri.
Reporter: Yusuf