Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang Dunia justru semakin memperparah keadaan, sehingga praktik kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela.
Saudi Arabia yang berusaha membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan Palestina dirampas Inggris. Tahun 1789 Napoleon datang ke Mesir, lalu Belanda mendarat di Malaka tahun 1602.
Inggris dan Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat. Pada Abad ke-18, Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan politik.
Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Perancism, saling berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang berpenduduk Islam, seperti India, dan sebelah tenggara Asia, termasuk Indonesia.
Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis mengkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik.
Secara umum, orientalisme telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah.
Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah-rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri penjajah itu.
Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan penguasaan Barat atas Timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel dan glory.
***
Kebijakan politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya adalah sebentuk hegemoni yang diluncurkan pemerintah kolonial Belanda untuk meredam bangsa pribumi.
Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan gaya baru di jaman yang lebih maju.
Edward W. Said dalam magnus opus-nya, Orientalism, menjelaskan tentang bagaimana Barat mengatur kehidupan Timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya.
Buku ini secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil dari imajinasi geografis yang dilakukan Barat sebagai objek pengkaji. Said menyebutnya sebagai orientalisme, dalam konteks keindonesiaan kita menyebutnya sebagai kajian ketimuran.
Biografi Edward Said
Nama Lengkap Edward Said ialah Edward William Said. Edward Said Lahir 1 November 1935 di Yerusalem. Ia seorang Kristen Palestina. Ayahnya bernama Wadie Said, seorang warga negara Amerika Serikat kelahiran Yerusalem. Ayahnya, seorang pengusaha Arab yang makmur dan pernah bertugas dalam Perang Dunia I di bawah pimpinan Jenderal Pershing. Ibunya bernama Hilda, lahir di Nazaret-Lebanon dan juga seorang Protestan.
Said memulai pendidikan formalnya di GPS (Gezira Preparatory School) di Lebanon. Sedangkan pendidikan rohaninya ia dapatkan di Gereja All Saints’ Cathedral, pada masa kecil dan remajanya.
Pada tahun 1937, Said dikirim oleh orang tuanya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sebuah sekolah elite di Timur Tengah. Hampir semua guru di sana orang Inggris, sehingga Said dalam waktu yang tidak lama mampu menguasai bahasa Inggris dan dengan pendidikan yang benar-benar bergaya Inggris. Said juga dapat mengerti tentang kebudayaan-kebudayaan Inggris.
Setelah menekuni pembelajaran di Kairo, Said melanjutkan studinya di Sekolah Gunung Hermon, sebuah sekolah persiapan Perguruan Tinggi Swasta di Massachusetts pada tahun 1951.
Said belajar tentang bahasa dan teori-teori sastra. Said bukan hanya fasih dalam bahasa Inggris, melainkan juga fasih berbahasa Perancis dan Arab. Pada tahun 1957, Said mendapat gelar Bachelor of Arts di Princeton University. Gelar Master of Arts di dapat pada tahun 1960, sedangkan gelar Ph.D. didapat pada tahun 1964 dalam Sastra Inggris dari Universitas Harvard.
Di Tahun 1963, Said bergabung di Universitas Coloumbia pada bagian Departemen dan Perbandingan Sastra Inggris. Pada Tahun 1977, Said menjadi Profesor Parr bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan di Columbia, kemudian menjadi Old Dominion, sebuah Yayasan Profesor dalam bidang Humaniora. Selain menjadi Profesor di Universitasnya, ia juga menjadi profesor tamu di Universitas Yale.
***
Pada tahun 1992, ia mencapai pangkat Profesor Universitas, posisi akademik tertinggi di Columbia. Dia tinggal di dekat kampus Colosseum di Riverside Drive. Said juga menjabat sebagai Presiden dari Modern Language Association, editor Jurnal triwulanan Arab Study, dan merupakan anggota dari American Academy of Arts and Knowledge, Dewan eksekutif PEN dalam di Royal Society of Literature, dan American Philosophical Society.
Said adalah penulis yang produktif. Ia dikenal sebagai ahli sastra perbandingan (comparative literature) di Colombia University. Sebagian besar buku-bukunya berkaitan dengan masalah Timur Tengah, semisal Orientalism (1978), The Question of Palestine (1979), Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981), The Politics of Dispossession (1994), dan Peace and its Discontents: Essays on Palestine in the Middle East Peace Process (1995).
Sedang buku-buku Said lainnya adalah The World, the Text, and the Critic (1983), Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988), Musical Elaborations (1991), dan Culture and Imperialism (1993), dan memoar pribadinya yaitu Out of Place (1999).
Intelektual
Sebagai seorang intelektual Barat keturunan Arab, Edward W. Said tidak luput dalam memberikan perhatiannya kepada permasalahan pencaplokan tanah leluhurnya oleh Israel.
Konflik antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung lama membuat Said menjadi intelektual yang diakui sebagai seorang yang mendukung penentangan terhadap perampasan tersebut. Said dianggap oleh kaum zionis sebagai profesor teroris lantaran dukungannya kepada warga Palestina.
Said melalui karyanya berujudul Orientalism (1978) menegaskan bahwa, kaum intelektual Barat cenderung melihat Islam sebagai agama yang keras, fundamental, ekstrem, dan anti dialog.
Padahal kaum intelektual tersebut tidak mengetahui apa-apa tentang Islam. Said mengkritik para pemikir orientalis lainnya seperti Judith Miller, Samuel P. Huntington, Martin Kramer, Daniel Pipes, dan Barry Rubin yang menurutnya selalu menjadi propagandis di Barat bahwa Islam merupakan ancaman bagi peradabannya.
Edward W. Said merupakan pengamat dunia Islam dan dunia Arab yang sangat cekatan. Berbeda dengan kaum orientalis lainnya yang cenderung menjelaskan soal Arab dan Islam secara reduksionis dan main gampangan karena para orientalis tersebut memiliki kepentingan tertentu, Said sebagai seorang intelektual selalu berusaha untuk selalu bersikap komprehensif dan proporsional.
Di sinilah konsistensi pemikiran Said sebagai seorang intelektual ditunjukkan. Walaupun Said yang seorang Kristen, namun dia menyadari bahwa kebenaran berada di atas segalanya dibandingkan dengan adanya berbagai pembatasan seperti agama, ras, warna kulit, dan sebagainya.
Editor: Yahya FR