Di era globalisasi ekonomi seperti saat ini, begitu banyak teori ekonomi yang pada akhirnya masih belum bisa membawa kesejahteraan bagi semua kalangan. Sistem ekonomi neoliberalisme ala imperial barat misalnya, hanya mampu menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi yang tidak terhambat oleh regulasi pemerintah akan menghasilkan efisiensi ekonomi yang lebih baik, inovasi, dan pertumbuhan. Ideologi neoliberalisme menekankan bahwa pasar bebas adalah mekanisme terbaik untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal.
Akan tetapi, neoliberalisme kini lebih kita rasakan sebagai ekonomi ala kapitalis yang menjadikan kapital/modal sebagai poros utamanya. Teori-teori ekonomi di atas sering kali menegasikan keberadaan manusia sebagai subjek ekonomi dan malah sebaliknya, yang berakibat kemajuan ekonomi sering kali tidak linear dengan kesejahteraan manusia di sekitarnya.
Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan
Bagaimana di Indonesia? Secara umum saat ini Indonesia menggunakan konsep ekonomi campuran yang memadukan semua teori baik itu dari elemen ekonomi pasar bebas, maupun intervensi pemerintah dalam regulasi. Namun demikian tahun 2017 Presiden Jokowi pernah mengumumkan “label” ekonomi yang digunakan adalah Ekonomi Pancasila, meskipun konsep ini bukanlah hal yang baru, karena telah dipelopori oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1963 yang lebih dikenal dengan Pidato tentang Ekonomi Pancasila.
Lalu sebenarnya apa definisi Ekonomi Pancasila itu sendiri? prinsip-prinsip dasar Ekonomi Pancasila mencakup: kepribadian Indonesia, gotong royong, keadilan sosial, demokrasi ekonomi, dan kesejahteraan bersama. Selain Ekonomi Pancasila, Indonesia juga memiliki konsep Ekonomi Kerakyatan yang diusung oleh Bung Hatta dengan beberapa pilar utamanya yakni: partisipasi dan kepemilikan masyarakat, pemberdayaan petani nelayan dan Pedagang Kecil, keseimbangan ekonomi, otonomi daerah, dan pengendalian monopoli.
Dari semua poin di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa baik itu Ekonomi Pancasila ala Bung Karno maupun Ekonomi Kerakyatan ala Bung Hatta, keduanya berfokus kepada manusia sebagai subjek/pelaku ekonomi yang menjadi poros utama atau tujuan atas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kedua konsep tersebut berfokus kepada kesejahteraan manusia atas tindakan ekonomi yang dilakukan.
Multiplier Effect?
Mengenal “teori”multiplie effect” pada aktivitas ekonomi, sebenarnya apa itu multiplier effect/trickle-down effect? Trickle-down effect yang diartikan sebagai efek tetesan ke bawah memberikan makna bahwa uang yang diterima masyarakat kelas atas akan menetes ke bawah melalui proses alamiah dalam mekanisme ekonomi (Muhammad: 2012).
Argumentasi yang melandasi anggapan ini ialah dengan meningkatnya perputaran uang masyarakat kalangan atas, maka akan dengan sendirinya permintaan terhadap suatu “barang” meningkat. Barang yang menjadi asumsi dalam teori ini adalah barang yang dapat di-provide oleh masyarakat kelas bawah.
Padahal menurut teori konsumsi tidak demikian, karena semakin tinggi income seseorang maka akan semakin tinggi pula nilai barang yang diinginkan. Artinya untuk memenuhi permintaan barang yang bernilai tinggi tersebut, tidak mungkin dapat disediakan oleh masyarakat kelas bawah. Sehingga yang terjadi perputaran uang hanya akan terjadi di atas dan mungkin hanya sedikit sekali tetesan ke bawahnya.
Lalu masihkah kita harus berfokus kepada teori ini dengan terus menerus memberikan “insentif” kepada kalangan atas sedangkan yang sebenarnya membutuhkan keberpihakan regulasi adalah kelas UMKM ke bawah.
UMKM sebagai Senjata Sakti
Dalam perjalanan ekonomi Indonesia, UMKM sudah terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi dan persaingan yang semakin ketat. UMKM dapat dijadikan andalan untuk menopang perekonomian nasional dengan catatan harus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang kondusif, permodalan yang mudah diakses dengan bunga ringan, dan pembinaan yang serius. Pemerintah harus mampu menempatkan UMKM sebagai prioritas utama dalam memajukan ekonomi Pancasila/Kerakyatan.
Data Statistik Kadin menunjukkan pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta. Kontribusi UMKM mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun. UMKM menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja.
Menurut data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), pada 2020 terdapat sekitar 46,6 juta dari total 64 juta UMKM di Indonesia belum memiliki akses permodalan dari perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank. Hambatan pembiayaan yang dialami UMKM menjadi landasan bagi Pemerintah untuk memberikan dukungan fasilitas pembiayaan lainnya, antara lain melalui program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), dengan bukti konkret terdapat kantor Sentra Layanan Ultra Mikro (Senyum) yang di gawangi oleh BUMN seperti Bank BRI, Pegadaian, serta PNM.
***
UMKM adalah “senjata sakti” dalam menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat sekaligus pengentas kemiskinan bangsa ini. Sebab pada kenyataannya, kekayaan yang didapatkan oleh masyarakat kelas atas tidak secara langsung berdampak kepada masyarakat kelas bawah.
Perlu dicatat bahwa pembenahan dari sektor bawah ini tidak adanya suatu yang bersifat mutually exclusive antara peningkatan pendapatan kelas bawah dengan pendapatan kelas di atasnya. Hal yang justru akan terjadi adalah terkaitnya semua lapisan masyarakat dalam pembagian pendapatan. Hal ini bisa dilihat bahwa masyarakat kelas bawah tidak akan mampu memproduksi sendiri semua kebutuhannya, sehingga akan di-provide oleh kelas-kelas di atasnya. Jelas ini proses muncratnya (squirt up) uang dari kelas bawah ke atas.
Demikianlah “perspektif” yang dapat penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi pembaca atau setidaknya mampu memberikan insight baru sebagai ilmu pengetahuan sederhana.
Editor: Soleh