Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk bisa hidup secara sejahtera dengan kondisi finansial yang cenderung stabil. Di masyarakat, sering disebut dengan hidup berkecukupan. Tidak dimungkiri bahwa hari ini kita masih melihat fenomena kemiskinan dan kesenjangan sosial yang tetap menggeliat di sekitaran kita. Stigma yang timbul setelahnya adalah yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetaplah miskin.
Walaupun ada harapan bahwa rasio kemiskinan dan kesenjangan sosial kedepannya dapat kita turunkan secara bertahap pasca krisis ini akan berakhir, tetap saja hal tersebut harus diupayakan dan terus dicari solusinya secara jangka panjang. Mengingat ekonomi global saat ini sedang mengalami resesi akibat pandemi COVID-19 yang masih merebak ke seluruh penjuru dunia.
Setelah ditelusuri dan ditelisik secara mendalam, ternyata ada yang salah dengan sistem perekonomian yang sedang kita jalani hari ini selain faktor global. Apakah itu? Tidak salah lagi bahwa masih maraknya aktivitas transaksi konvensional atau aktivitas yang mengandung unsur riba dalam kehidupan bermasyarakat. Sederhananya adalah sistem ekonomi negara kita masih berbasis bunga.
Riba dalam Perekonomian Indonesia
Riba secara bahasa adalah tambahan, sedangkan menurut syara’ adalah suatu tambahan harta tertentu pada transaksi pertukaran harta dengan harta tanpa adanya ‘iwadh (padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut). Jelas dalam Islam bahwa riba itu adalah haram dan apapun yang sengaja ditambahkan atau dilebihkan dalam sebuah akad transaksi antar sesama manusia, maka tidak sedikitpun bertambah di sisi Allah SWT. Semuanya tertera dan termaktub pada QS. Ar-Ruum ayat 39 sebagai berikut.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
Memang aktivitas perekonomian Indonesia saat ini masih bergerak berdasarkan pada time value of economy atau singkatnya segala bentuk dan nilai ekonomi kita bertambah karena berputarnya waktu (riba) sehingga dinilai spekulatif dan zalim untuk dapat diterima oleh kalangan-kalangan yang mengerti hal ini.
Namun ada sebuah harapan baru untuk kita ketahui dalam jangka waktu kedepan dimana ekonomi negara kita tidak akan goyah di saat ekonomi global sedang melesu. Ekonomi apakah yang dimaksud? Dialah ekonomi syariah.
Ekonomi Syariah: Sebuah Solusi
Ekonomi syariah sendiri sudah ada sejak baginda Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya yang mana economic value of money menjadi prinsip ekonomi syariah dalam memompa perekonomian masyarakat. Prinsip tersebut diyakini lazim untuk dilakukan dan diterima. Disebabkan, nilai ekonomi masyarakat bertambah bukan lagi berdasarkan waktu, tetapi berdasarkan aktivitas ekonomi itu sendiri.
Sehingga kita dapat simpulkan bahwa hal tersebut mampu meningkatkan produktivitas masyarakat dan juga mengentaskan jumlah kemiskinan. Serta meminimalisir kesenjangan sosial. Karena Indonesia akan menjadi pusat peradaban ekonomi syariah, ada dua hal yang harus disiapkan oleh kita selaku generasi muda dalam membumikan ekonomi syariah di Ibu Pertiwi. Mereka adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan Mental
Setiap para penggerak ekonomi syariah harus mempersiapkan mental sebelum terjun ke masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena mereka akan menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang akan datang silih berganti dari pihak-pihak yang kontra terhadap ekonomi syariah.
Selain itu, hal yang harus diwaspadai oleh para penggiat ekonomi syariah adalah menerima tawaran gaji atau uang sogokan yang nominal uangnya sangat besar dari institusi keuangan konvensional maupun institusi lainnya. Tentu, perilaku tersebut tidak mencerminkan dari nilai-nilai yang ditampilkan oleh para ekonom rabbani karena value utama yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW adalah kesederhanaan, keberkahan, dan kedermawanan.
Namun kita tidak perlu khawatir lagi karena kekuatan mental dapat dibentuk sejak dini dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber dari segala landasan kehidupan kita. Kita dapat menyelami kekuatan mental yang dimiliki oleh Rasulullah SAW maupun sahabat-sahabatnya dengan membaca sirah-sirah nabawiyah tentangnya untuk kita jadikan suri tauladan dalam segala aktivitas kita.
2. Kekuatan Intelektual
Perlu disadari jika Indonesia ingin bercita-cita menjadi pusat khazanah ekonomi syariah di dunia, maka sumber daya manusianya harus berisi dan cakap tentang ilmu-ilmu ekonomi Islam itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan intelektualitas yang memadai agar tercapai cita-cita tersebut. Hal-hal sederhana yang dapat kita persiapkan sedini mungkin sebagai generasi muda adalah mempelajari sistem perekonomian Indonesia saat ini. Lalu selanjutnya adalah mulai menggali dan berusaha mempelajari ilmu-ilmu ekonomi syariah. Seperti akad-akad jual-beli, sewa-menyewa, bagi hasil, macam-macam riba, bahaya riba, potensi zakat, infak, sadaqah, dan wakaf (ZISWAF), dan lain sebagainya.
Kita dapat bergabung dengan organisasi pelopor gerakan ekonomi syariah. Seperti Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) yang ada di setiap kampus. Ataupun kelompok penggiat ekonomi Islam di masyarakat untuk bisa mempelajari tentang ilmu ekonomi syariah secara mendalam. Selain itu, kekuatan intelektual juga dapat dijadikan sebagai bahan penyampaian kita dalam mensyiarkan ekonomi syariah kepada masyarakat. Sehingga literasi masyarakat terhadap keuangan dan ekonomi syariah dapat meningkat.
Dua kekuatan tersebutlah yang harus menjadi fundamental seorang ekonom rabbani dalam memajukan ekonomi syariah Indonesia. Di sisi lain, sudah sepatutnya negara kita yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, juga dapat mengambil peran dan aksi dalam memperjuangkan jalan dakwah ekonomi syariah. Misalnya dengan memulai untuk membuka rekening tabungan di bank syariah.
Maka dari itu, yuk jadi ekonom rabbani untuk Indonesia kedepan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Semangat!