Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Kartini merupakan satu dari sedikit perempuan Indonesia di masa lalu yang berani mengambil sikap menolak diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Dengan dilandasi semangat dan cita-cita perjuangan, Kartini membangun suatu gagasan emansipasi. Konsep yang ditawarkan Kartini tentu mengalami kontardiksi dengan kondisi masyarakat yang masih dihantui budaya patriarki.
Budaya patriarki yang melekat dan berurat-berakar dalam masyarakat feodal menjadi tantangan tersendiri bagi Kartini dalam merumuskan emansipasi terhadap persamaan hak perempuan. Garis demarkasi ini jelas menandakan masyarakat primitif seperti ini menyulitkan siapapun yang hendak memperjuangkan hak perempuan.
Perempuan di Masa Lalu
Kita tahu bagaimana kondisi dan eksistensi perempuan pada masa itu (sebelum kemerdekaan) mengalami nasib buruk. Ambil contoh, perempuan dilarang sekolah, dilarang keluar rumah tetapi harus mengurus pekerjaan rumah. Dengan demikian hak perempuan menjadi terpinggirkan. Hak perempuan tersebut terkurung dalam budaya patriarki.
Kondisi seperti ini mengakibatkan perempuan mengalami alienasi dari kehidupan masyarakat. Di sana perempuan telah menjadi objek yang mudah ditindas dan dipreteli dengan kepentingan sepihak.
Namun tidak untuk Kartini. Dengan pemikiran progresif, Kartini melawan semua bentuk penindasan terhadap perempuan. Baginya perempuan harus diberikan tempat seturut dengan hak mereka dalam tatanan masyarakat. Meskipun langkah ini tidak mudah dilakukan, tetapi Kartini mampu menghadirkan cara pandang dalam masyarakat feodalistik yang masih terkungkung dengan budaya patriarki agar menempatkan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki.
Di sinilah sebetulnya pemikiran Kartini bagi saya sangat menarik dan penuh dengan kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran yang lain, saya justru melihat pemikiran Kartini sebagai bentuk perjuangan terhadap kemanusiaan bagi perempuan.
Kartini dan Emansipasi
Bagi Kartini, emansipasi menjadi titik pijak sekaligus nilai mendasar yang menopang keberadaan perempuan dalam masyarakat. Melalui konsep tersebut Kartini hendak melawan arus budaya patriarki dan sistem yang begitu monolitik terhadap eksistensi perempuan.
Kartini sadar kondisi budaya dan sistem masyarakat feodal yang terlalu sempit mengakibatkan hak perempuan mudah dipolitisasi dengan sistem dan budaya masyarakat. Hal ini menjadi tantangan bagi Kartini dalam memperjuangkan dan menyuarakan konsep emansipasi ditengah menguatnya budaya patriarki terhadap keberadaan perempuan.
Meskipun di tengah menguatnya budaya masyarakat seperti itu, Kartini tetap menjadi penyanggah yang berjuang dan membela keberadaan perempuan. Arus politik pada masa itu didominasi oleh kehadiran laki-laki sementara perempuan sangat mustahil diakomodasi dalam lanskap politik.
Bahkan yang paling buruk, masyarakat (utamanya laki-laki) hendak menyingkirkan pengaruh perempuan dalam gelanggang politik yang mengakibatkan ruang politik tidak pernah diisi dengan kehadiran perempuan. Mindset yang dibangun menempatkan perempuan sebagai objek dari arus politik yang dangkal dan menyesatkan. Disana kita memahami kebijakan dan seluruh hasil politik sangat mungkin memberikan kedudukan bagi perempuan.
Kondisi semacam ini yang mendorong dan meneguhkan pikiran dan perjuangan Kartini untuk mendobrak tatanan masyarakat dan pemerintah. Baginya, arus politik harus menyediakan ruang yang sama bagi perempuan untuk mendeklarasikan diri sekaligus menyuarakan kepentingan sebagai manusia yang memiliki hak dan eksistensi.
Kartini memahami betul bahwa langkah ini tidak mudah, karena kalangan perempuan harus menghadapi beragam tantangan. Tetapi hanya dengan langkah seperti itu eksistensi perempuan sekaligus hak mereka harus disuarakan. Kartini telah hadir mewarnai perjuangan kaum perempuan yang saat itu termarginalisasi dari tatanan masyarakat yang sempit.
Masa Depan Perempuan Indonesia
Sampai di sini saya memahami Kartini dengan tangguh dan berani bersuara menentang sistem yang buruk terhadap perempuan. Kartini menolak diskiriminasi perempuan dan menawarkan emansipasi sebagai penyanggah yang memperkokoh eksistensi mereka. Pembaca pasti mengenal sosok Marsinah seorang pekerja yang menentang ketidakadilan terhadap para pekerja yang dilakukan pihak perusahaan.
Marsinah sadar betul bahwa ketidakadilan semacam itu harus dilawan meskipun banyak tantangan yang dihadapi bahkan mengorbankan nyawa. Diam bukan alasan yang tepat ditengah keadilan semakin terpinggirkan, karena itu artinya kehancuran semakin nyata jika tidak dilawan. Bagi saya, Kartini dan Marsinah merupakan dua perempuan yang merepresentasikan kehadiran perempuan dalam memperjuangkan nasib mereka.
Memang di satu sisi kekerasan terhadap perempuan masih berlanjut hingga sekarang. Tetapi kemunculan perempuan di panggung politik sejak reformasi mengurangi kekhawatiran saya bahwa perempuan Indonesia telah hadir untuk mendeklarasikan diri bagi kemajuan dan eksistensi mereka. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kebijakan terhadap perempuan telah diakomodasi dalam ruang politik dengan dihadirkannya kebijakan minimal 30% perempuan dalam legislatif.
Bagi saya ini merupakan langkah yang bagus sekaligus tepat agar semakin memperkuat eksistensi perempuan. Dengan ini saya yakin masa depan perempuan menjadi semakin terbuka lebar dan hak mereka dalam segala bidang dapat mereka tempati. Ini merupakan peradaban yang maju bagi perempuan Indonesia jika mereka sadar bahwa kehadiran mereka dalam gelanggang politik menjadi kunci perkembangan eksistensi mereka dikemudian hari.
***
Pada akhirnya, Kartini dengan pemikiran emansipasi telah melahirkan perempuan hebat didalam gelanggang politik seperti Megawati, Grace Natalie, Puan Maharani dan masih banyak perempuan yang lain. Mereka telah menjadi warna baru bahwa politik Indonesia harus diisi oleh perempuan. Bahwa pada pokoknya, peradaban manusia tidak bisa terlepas dari peran perempuan.
Menghilangkan peran perempuan dalam peradaban manusia berarti kita menghilangkan hal paling pokok dari peradaban itu sendiri. Disana perempuan telah melakukan upaya untuk membentuk peradaban bagi kemajuan dunia dan Indonesia.
*) Mahasiswa Prodi Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Saat ini aktif sebagai kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang–Komisariat Merdeka. Inisiator Komunitas Payung Literasi (Kopalter).
Editor: Nabhan