Hingga saat ini tak jarang kita temui masyarakat pada suatu negara yang masih memandang rendah wanita. Masih banyak para suami yang tidak memperlakukan isteri-isteri mereka dengan baik. Tidak jarang para wanita itu mendapatkan kekerasan fisik jika tidak mendengarkan perkataan suami-suami mereka. Beberapa suami bahkan melarang istri-istri untuk keluar rumah meskipun hanya berbincang-bincang dengan tetangga. Akibatnya, para wanita ini menjadi kurang pergaulan dan dikucilkan. Oleh karena itu, ada salah satu tokoh yang telah mengemukakan pendapat tentang “Tahrir Al-Mar’ah atau emansipasi wanita”. Ia adalah Qasim Amin.
Pejuang Emansipasi Wanita: Qasim Amin
Siapakah Qasim Amin? Mungkin ada beberapa orang yang belum mengetahui. Qasim Amin adalah salah satu pemikir pembaharu muslim di Mesir yang cukup berpengaruh. Ia dilahirkan di Aleksandria pada tanggal 1 Desember 1863. Ia menekuni dunia hukum yang telah didapatkan dari pendidikannya. Ia telah lama belajar di negara Barat, melihat bagaimana di negara tersebut menyetarakan kedudukan antara wanita dan laki-laki.
Sejak lulus dari SMP, Qasim melanjutkan studinya di sekolah hukum. Pada saat tamat SMA ia pernah bekerja sebagai kuasa hukum di salah satu kantor yang ternama di Paris. Hingga akhirnya Qasim Amin melanjutkan pendidikannya di Universitas Montpellier Prancis. Ia menjadi hakim yang terkenal. Di negara tersebut Qasim mulai mendalami bidang sosiologi, ilmu jiwa dan etika. Qasim Amin dan juga temannya telah mendirikan lembaga Al-Jami’ah Al-Misriyah (Siregar, 2016).
Pendidikan bagi Wanita itu Prioritas
Salah satu pemikiran yang telah digagas oleh Qasim Amin adalah Emansipasi Wanita. Yaitu pemikiran yang mewakili kegelisahannya akan kondisi kaum wanita yang tertinggal dan sering jadi objek kekerasan. Menurutnya, wanita juga membutuhkan kebebasan dan keadilan. Qasim Amin mempunyai keinginan untuk membebaskan para wanita di Mesir supaya tidak menjadi budak dan tidak dikekang oleh suami-suami mereka. Pengekangan terhadap kaum wanita sama saja membiarkan mereka hidup dalam ketertinggalan. Hal seperti itulah yang menyebabkan wanita tidak bisa maju.
Qasim Amin juga berpendapat pada saat itu umat Islam telah mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kaum wanita. Sebab Sebagian besar wanita tidak memperoleh pendidikan yang baik, padahal pendidikan itu sangat penting agar suatu negara bisa maju. Di Mesir wanita itu dituntut untuk mengajarkan pendidikan kepada anak-anaknya. Sedangakan wanita di Mesir tidak terdidik dengan baik, lalu bagaimana ia bisa memberikan suatu pendidikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pendidikan bagi wanita menjadi prioritas dalam pemikiran Qasim Amin.
Pemikiran Qasim Amin yang demikian banyak mendapatkan penolakan dari banyak kalangan. Menurut mereka kaum wanita itu tidak berhak menerima pendidikan. Sebab, jika para wanita ketika sudah terdidik bisa saja mereka akan menentang suami-suami mereka. Penolakan ini kemudian dibalas oleh Qasim Amin dengan menulis sebuah buku yang berjudul Al-Mar’at Al-Jadidah “Wanita Modern”. Di salam buku tersebut, ia menjelaskan tentang bagaimana kesetaraan antara wanita Mesir, wanita Amerika dan wanita Eropa (Idrus, 1980). Kemudian ia secara konsisten menyuarakan pembaharuan Islam di negaranya.
Ada tokoh yang sependapat dengan Qasim Amin, ialah Rifa’a al-Tahtawi. Ia juga telah mengemukakan bahwa kemajuan wanita itu penting di Mesir. Kamu wanita di Mesir layak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Supaya mereka mendapatkan wawasan yang lebih baik dan lebih maju, bukan hanya wawasan tentang urusan rumah tangga. Jika para wanita sudah terdidik, mereka pun bisa membaca, menulis dan berhitung. Untuk membuat pikiran menjadi pandai, menambah ilmu pengetahuan, dan memperbaiki sikap. Karena laki-laki dan wanita itu sama-sama mempunyai perasaan, akal, hak, dan kebebasan.
Jilbab Penghambat Gerak?
Selain peduli dengan pendidikan bagi kaum wanita, Qasim Amin juga mempunyai pendapat tentang aurat kaum Hawa ini. Menurutnya, hijab itu menutup aurat wanita seluruh tubuh kecuali dari muka dan telapak tangan. Tetapi hal tersebut bukan berasal dari syariat Islam, akan tetapi berasal dari adat yang sudah berlaku sebelum Islam. Syariat Islam tidak menetapkan aurat wanita menutupi muka dan telapak tangannnya. Jika menutup muka dan telapak tangan, bagaimana kita bisa makan dengan leluasa dan berdagang. Kejadian sepeti itu lah yang bisa menghambat aktivitas kaum wanita (Amin, 1933).
Dalam buku Al-Mar’ah Al-Jadidah Qasim Amin mengatakan jika hijab itu dapat melarang wanita untuk mengunjungi tempat-tempat yang indah. Karena lebih baik wanita itu di rumah saja. Kebanyakan wanita di zaman sekarang benar menutup auratnya tetapi masih memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sehingga bisa menyebabkan kaum Adam terpesona. Sebaiknya, mereka memakai pakaian yang baik, tidak harus memperlihatkan auratnya. Seperti di dunia Barat masyarakatnya terlalu mengumbar-ngumbar tubuhnya sampai pada batas yang tidak aman bagi wanita.
Pemikiran Qasim Amin tentang emansipasi wanita tersebut dapat menjadikan kehidupan wanita menjadi lebih baik dan setara dengan kaum laki-laki. Agar para wanita bisa membantu dalam mewujudkan kesejahteraan di rumah tangga. Jika ekonomi rumah tangganya kurang mencukupi, si wanita bisa membantu untuk mencukupi dengan cara ikut bekerja. Karena di dalam berumah tangga membutuhkan sinergi antara istri dan suami. Kalau wanita hanya dikekang di rumah saja dijadikan pembantu tidak mempunyai pengetahuan yang luas, bagaimana ia bisa membantu suaminya. Seharusnya para laki-laki sadar, betapa tersiksanya wanita-wanita yang dipaksa harus betah di rumah saja. Pasti sangat membosankan dan akhirnya membuat mereka semakin tertinggal dari aspek pengetahuan dibandingkan dengan wanita-wanita di luar Islam.
Editor: RF Wuland