Inspiring

Al-Qur’an Tidak Diadopsi dari Yahudi, Kritik Kepada Abraham Geiger

4 Mins read

Menjadi rahasia umum, Al-Qur`an yang merupakan kitab suci umat Islam menarik para ilmuwan Barat untuk mengkaji isi Al-Qur`an secara ilmiah. Dengan latar belakang dan motif berbeda-beda, para pengkaji Timur (orientalis) berusaha menelaah isi kandungan Al-Qur`an menggunakan metode dan pendekatan tertentu.

Meskipun mayoritas orientalis berusaha membuktikan ketidakotentikan Al-Qur`an, para sarjana muslim tidak hanya berdiam diri. Kritik atas kritik pemikiran Abraham Geiger bermunculan sebagai respon dan penyangkalan atas kesalahan interpretasinya.

Melacak Akar Kajian Orientalis terhadap Al-Qur`an

Kajian Barat terhadap Timur (orientalis) sangat subur terjadi sejak abad ke-16. Dipelopori oleh Yahudi dan Kristen sebagai reaksi kebencian terhadap Al-Qur`an. Semangat mereka juga didorong oleh kebencian atas kekalahan dari perang Salib. Berbagai istilah dan tuduhan dilontarkan terhadap orang Timur seperti irrasional, bejat moral dan kekanak-kanakan.

Mereka ingin seluruh dunia menganggap Islam sebagai Kristen yang sesat. Mereka menyebut Muhammad sebagai seorang plagiator, penyebar berita bohong, pelaku sodomi dan lain-lain. Mereka terus gencar melakukan kajian-kajian ketimuran diberbagai lembaga, pusat studi keislaman sampai menyusup dalam kelompok Islam sendiri.

Semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Motivasi mereka dalam gold, glory dan gospel yaitu mencari sumber kekayaan, faktor Tuhan dan menyebarkan agama Kristen menambah kekuatan mereka untuk menghancurkan Islam. Hampir mayoritas orientalis dilandasi kebencian terhadap Islam, meskipun sedikit sekali yang murni mengkaji Islam atas dorongan ilmiah.

Ada tiga kajian orientalis terhadap Al-Qur`an, yaitu kajian teks kitab suci, penerjemahan dan pemahaman muslim terhadap Al-Qur`an. Kemudian berkembang menjadi empat yaitu terjemahan, sejarah, konsep-konsep Al-Qur`an dan pemahaman muslim dalam menafsirkan teks. Kajian yang paling laris adalah tentang sejarah teks Al-Qur`an dan konsep-konsep Al-Qur`an.

Dalam menelisik sejarah teks Al-Qur`an, orientalis berusaha menemukan pengaruh tradisi biblikal dan Yahudi-Kristen dalam Al-Qur`an dengan berbagai pendekatan yang digunakan. Salah satu orientalis yang menekuni kajian ini adalah Abraham Geiger.

Baca Juga  Wasiat Pak Jakob Oetomo untuk Insan Pers

Abraham Geiger dan Kritiknya Terhadap Al-Qur`an

Abraham Geiger lahir di Frankfurt, Jerman pada 24 Mei 1810. Sejak muda sudah menguasai Alkitab dan Talmud dengan bahasa Yunani dan Latin. Ia juga belajar Bahasa Arab dan Syiria di Universitas Heidelberg. Ketertarikannya pada kajian Timur ini melahirkan karya Was hat Mohammed Aus Dem Judenthume aufgenommen?.

Tahun 1832 Geiger ditunjuk menjadi rabi di Wiesbaden. Dia berkhutbah, menulis dan mengajar serta aktif bersosialisasi dengan rabi lainnya. Meskipun begitu, ia membuat gerakan liberalisasi sehingga diusir oleh ortodoks Yahudi dan pindah ke Breslau. Tetapi usahanya membuahkan hasil sehingga Yahudi menjadi agama modern yang menarik bagi orang Yahudi Eropa modern.

Berlatar belakang seorang rabi, kebencian Geiger terhadap Islam sudah mendarah daging. Sebagaimana orientalis lain, ia ingin menunjukkan ketidakorisinilitas Al-Qur`an. Terlebih Yahudi yang selalu ingin mendeklarasikan diri sebagai agama tertua sehingga berupaya menunjukkan pengaruh Biblikal dan tradisi Yahudi dalam Al-Qur`an.

Dalam karya monumentalnya, Judaism and Islam, Geiger mengelaborasi Al-Qur`an menggunakan pendekatan kritik historis dan menyimpulkan dua garis besar. Pertama, Nabi Muhammad sebagai seorang plagiator. Kedua, Al-Qur`an merupakan buatan Muhammad yang diadopsi dari Biblikal dan tradisi Yahudi.

Menurutnya, Muhammad ketika itu, sering berinteraksi dengan orang-orang Yahudi dan dekat dengan beberapa orang yang pandai Alkitab. Seperti Waraqah Ibn Naufal, Abdullah Ibn Salam dan masih banyak lagi. Selain itu, Muhammad tidak begitu paham kitab suci umat Yahudi. Sehingga berusaha mencari informasi dengan berinteraksi bersama masyarakat. Dari sinilah lahir Al-Qur`an.

***

Abraham Geiger menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang sering mengecam orang-orang Yahudi itu disebabkan oleh ketidakpahaman atau kekeliruan Muhammad dalam belajar dan memahami Alkitab tersebut. Terlebih, informasi dan ilmu yang didapat Muhammad waktu itu berbentuk oral, sehingga memunculkan kesalahan yang lebih besar lagi.

Baca Juga  Sejarah Singkat Puasa Ramadhan dalam Islam

Mengenai ketidakotentikan Al-Qur`an, Geiger membuktikan dengan beberapa bahasa, kosakata, tradisi, kisah, ajaran moral dan doktrin agama dalam Al-Qur`an yang berasal dari tradisi Yahudi. Geiger menemukan 12 kosakata dalam Al-Qur`an yang kilahnya berasal dari bahasa Yahudi atau Ibrani. Seperti kata Jahannam, taurat, malakut, taghut, Rabbani dan lainnya.

Dalam aspek keimanan atau doktrin agama, terdapat beberapa kesamaan antara Islam dengan Yahudi seperti penciptaan langit dan bumi dalam enam masa yang juga disebutkan dalam Bibel. Selain itu, terdapat kesamaan aturan-aturan hukum dan moral antara Islam dengan Yahudi seperti mematuhi perintah orang tua.

Beberapa pandangan hidup dan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`an juga sama dengan apa yang diajarkan dalam agama Yahudi. Seperti orang yang meninggal dunia akan meninggalkan segalanya kecuali amal ibadah. Kesamaan-kesamaan itulah yang kemudian ditegaskan oleh Geiger bahwa Al-Qur`an mengadopsi dan mengadaptasi Biblikal dan tradisi Yahudi.

Dia mendasari semua penelitiannya menggunakan kritik sejarah, atau kondisi sosiohistoris Arab saat itu. Dia juga menganalisis menggunakan metode komparatif yaitu membandingan Al-Qur`an dengan Bibel. Meskipun tindakannya ini menjadi awal pijakan subur orientalis untuk mengkaji tentang teori pengaruh dalam Al-Qur`an, hasil pemikirannya tidak dapat diterima begitu saja akibat subjektifitasnya.

Kritik atas Kritik Abraham Geiger

Nabi Muhammad tidak mungkin mengarang Al-Qur`an dengan belajar dan berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Pertemuan Nabi dengan pendeta Buhaira di Syam berlangsung sangat cepat dan setelah itu Nabi tidak bertemu kembali. Pertemuan Nabi dengan Waraqah Ibn Naufal juga berlangsung singkat sehingga sangat tidak mungkin Nabi belajar Alkitab kepada mereka.

Sedangkan pertemuan Nabi dengan pendeta Zibr ar-Rumi tidak ada kaitannya dengan keagamaan. Tuduhan orang-orang kafir yang mengatakan Al-Qur`an berasal dari bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab) sangat bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam QS. Al-Nahl (16) : 103 jelas tertulis bahwa Al-Qur`an turun dengan bahasa Arab.

Baca Juga  Untuk Para Mufassir, Jadilah Penafsir Al-Qur'an yang Inklusif

Islam hadir bukanlah dari ruang hampa (vacum historis), melainkan hadir di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai culture yang berbeda. Sehingga menjadi wajar jika adanya akulturasi tradisi-budaya dan bahasa dengan agama lain. Al-Qur`an hadir ditengah hegemoni bangsa Arab yang tidak hanya kaum Yahudi, tetapi pengaruh kebiasaan bangsa Arab waktu itu.

Termasuk adanya berbagai macam bahasa saat itu yang kemudian mengalami arabisasi. Para ulama Islam seperti Imam Suyuthi, al-Zarkasyi dan al-Zarqani dalam kitab-kitab beliau sudah mengulas kosakata ‘ajam dalam Al-Qur`an yang merupakan penegasan tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan sebelum dan sesudah Al-Qur`an diturunkan.

***

Beberapa tradisi Arab pra-Isam seperti ritual peribadatan, sosial politik dan budi pekerti yang kemudian direspons oleh Islam dan berdialektika sehingga menghasilkan tiga hal yaitu tahrim (pemgharaman), tahmil (pengadopsian) dan taghyir (perubahan). Al-Qur`an menyaring tradisi kala itu yang sesuai dengan syariat Islam. Maka tidak heran jika Al-Qur’an dan syariat agama Islam masih terikat dan terhubung dengan agama-agama dan kitab-kitab sebelumnya.

Tor Andre dalam bukunya Mohammed The Man and His Faith mengatakan bahwa sumber asli ajaran Islam yang hadir dan berkembang sebagai sebuah agama baru tidak lain adalah dari sifat dan kepribadian Nabi  Muhammad. Dari pernyataan Tor Andre tersebut, terlihat bahwa sosok Nabi Muhammad adalah orang jujur yang membawa kebenaran dan bisa dipercaya. Sehingga semakin mengukuhkan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah murni dari Tuhan, bukan karangan ataupun adopsi dari ajaran agama lain.

Untuk itu, perlu adanya pembatasan dan penempatan masing-masing kitab suci sebagai kekhasannya masing-masing. Sehingga keterkaitan antar kitab suci bukan pada strata saling mengadopsi, namun dalam tataran saling berdialektika dengan pengetahuan penerima dan wawasan yang berkembang di lingkungan di mana ia diturunkan. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

Muthoharoh
2 posts

About author
Mahasantri Prodi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Minat Kajian Islamic studies, Moderasi, dan Tafsir al-Qur`an
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *