Falsafah

Empat Ajaran Filsafat Wujud Mulla Sadra

2 Mins read

Mulla Sadra atau Sadr al-Din Shirazi (w. 1050 H/1640 M) adalah salah satu filsuf Muslim asal Persia yang paling berpengaruh di dunia Islam sepanjang zaman modern ini. Ia tidak hanya dikenal di negara Iran, tapi pemikirannya juga meluas sampai ke penjuru dunia Islam. Meskipun, pemikirannya agak terlambat masuk ke Indonesia, yakni kira-kira di tahun 1980 melalui penerjemahan karya-karya Seyyed Hossein Nasr.

Mulla Sadra mengembangkan filsafat jenis baru yang mensintesiskan antara wahyu, pembuktian rasional, dan irfan (intuisi). Di tangan Mulla Sadra inilah, khazanah filsafat Islam menjadi lengkap dan sempurna, karena memasukan tiga jenis epistemologi sekaligus. Menurutnya, kebenaran tidak cukup hanya dibuktikan berdasarkan wahyu dan akal, tetapi juga harus dibuktikan melalui ketiga hal sekaligus, yakni akal, wahyu, dan intuisi.

Salah satu karya Mulla Sadra yang paling fenomenal adalah Asfar, yang membahas tentang empat tahap perjalanan gnostik (spiritualitas). Menurut Abdullah Saeed (2014), pemikiran Mulla Sadra banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian, doktrin Neoplatonisme, filsafat Ibnu Sina, Ibn Arabi, dan teks-teks agama dari khazanah Syiah. Meski begitu, pemikiran filsafatnya melampaui batas-batas mazhab Syiah, sehingga tidak perlu khawatir akan membuat orang terpengaruh ajaran Syiah bila mempelajarinya.

Secara garis besar, Mulla Sadra mengembangkan ajaran filsafat wujud (metafisika ketuhanan) di atas empat tema besar;

Pertama, kesatuan dan gradasi wujud. Mulla Sadra mengajarkan bahwa ‘wujud’ adalah realitas tunggal yang memiliki gradasi dan tingkatan intensitas yang beragam. Realitas yang paling absolut memanifestasikan diri untuk merealisasikan tatanan wujud yang bervariasi dan merealisasikan setiap bagian individu dari tatanan wujud tersebut ke dalam kenyataan.

Hal ini tidak sama dengan Aristoteles dan Ibnu Sina, Mulla Sadra berpandangan bahwa ada sebuah Wujud yang sifatnya independen, sempurna, dan fundamental. Adapun wujud-wujud lain yang tidak sempurna, yakni manusia dan ciptaan lainnya, menyandarkan diri pada eksistensi wujud yang lebih tinggi.

Baca Juga  Amuzesy-e Falsafeh: Buku untuk Mempermudah Kamu Belajar Filsafat Islam

Kedua, gerak substansi. Menurut pandangan Mulla Sadra, perubahan adalah gerakan yang niscaya, dan dunia ini setiap saat selalu tercipta kembali secara terus-menerus. Filsafat jenis ini agak mirip dengan pemikiran Herakleitos, filsuf Yunani 6 abad sebelum masehi, yang meyakini bahwa matahari itu baharu setiap hari atau, kita tidak akan pernah menemui sungai yang sama setiap hari. Artinya, alam raya ini selalu bergerak dan tidak persis sama dari waktu ke waktu.

Ketiga, pengetahuan dan hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Mulla Sadra berpandangan bahwa pengetahuan dan realitas wujud (antara yang mengetahui dan diketahui) pada hakikatnya sama.

Mulla Sadra berkata, ‘Tuhan mengetahui hakikat-Nya sendiri, dan hakikat-Nya tak lain adalah Wujud-Nya sendiri, dan karena Wujud dan hakikat-Nya adalah sama maka Tuhan pada saat yang sama menjadi yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui’.

Keempat, karakteristik dan eskatologi jiwa. Dalam pandangan Mulla Sadra jiwa bergerak melalui transformasi yang bertahap, melalui fakultas-fakultas yang baru, dan akhirnya menuju kepada kesempurnaan. Ia menggunakan analogi kandungan untuk menggambarkan tentang akhirat.

Saat masih dalam kandungan, seorang anak sudah ada dalam dunia material, tetapi tidak menyadari eksistensinya sendiri. Begitupun di akhirat nanti, manusia berada di dunia lain tetapi tidak menyadari eksistensinya. Meskipun Mulla Sadra menerima konsep kebangkitan kembali aspek fisik manusia, tetapi ia berpendapat bahwa nantinya, saat di alam akhirat, yang menciptakan bentuk-bentuk eksternal adalah jiwa yang imajinatif dan bukan tubuh.

Nantinya, jiwa-jiwa manusia di surga akan mampu menciptakan bentuk-bentuk yang indah dan membahagiakan. Sementara jiwa-jiwa yang ada di neraka bisa menciptakan bentuk-bentuk yang menyedihkan, meskipun kondisi yang buruk ini pada akhirnya secara perlahan akan berubah dan kembali kepada Tuhan.

Baca Juga  Alam Pengadilan itu Memang Ada, Begini Argumen Logisnya!

Editor: Soleh

23 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds