Tarikh

Benarkah Mushaf Utsmani adalah Hasil Kepentingan Politik Utsman bin Affan?

3 Mins read

Berbicara mengenai Mushaf Utsmani, tentu kita tidak asing lagi. Sebab kita telah banyak membaca dan mengetahuinya di setiap cover mushaf Al-Qur’an kita bertuliskan “Rasm Utsmani.” Namun kendati demikian, kiranya perlu kita perhatikan dan menelaah kembali, bahwasanya tidak sedikit pula yang meragukan keotentikan mushaf Ustmani di zaman sekarang dengan alasan-alasannya yang masuk akal dan logis. Termasuk berbagai tuduhan-tuduhan dari para sarjana Barat (orientalis).

Ditambah lagi jarak antara dibukukannya Al-Qur’an (masa Utsman) hingga zaman sekarang lebih dari seribu tahun, sehingga membuat kalangan kita khususnya orang-orang yang Non Arab (luar bangsa arab) hanya sekedar ikut-ikutan terutama belum dipahaminya secara mendalam mengenai ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu Al-Qur’an maupun ilmu keislaman yang lain.

Maka dari itu, perlu kita jelaskan sanggahan dan bantahan atas pandangan para sarjana Barat tersebut, yang tentunya berlandaskan pada perkataan dan karya-karya para ulama kita. Supaya para masyarakat awam yang belum memahami serangan para sarjana tersebut untuk meragukan kitab sucinya, dapat kita berikan penjelasan secara baik.

Tuduhan Pertama

Orientalis menuduh bahwa Utsman meniadakan perbedaan dengan mengkanonisasi Mushaf, sehingga menjadikannya tidak lepas dari kepentingan Politik.

Pendapat tersebut dikemukakan oleh Arthur Jeffery, bahwa ia menganggap pada saat itu telah disebarnya beberapa mushaf sahabat ke berbagai daerah, bahkan telah menjadi rujukan masyarakat di berbagai daerah tersebut. Sedangkan Utsman menjadikan mushafnya yang pada saat itu berasal dari hasil kodifikasi, sebagai Mushaf induk pada masing-masing daerah Islam. Sehingga kebijakan Utsman tersebut, menurut Jeffry memiliki kepentingan politik di dalamnya.

Namun demikian, pendapat Jeffery tersebut tentu dibantah oleh para sarjana Muslim. Sebagaimana Abd al-Shabur Syahin dalam karyanya Tarikh Al-Qur’an, ia berpendapat bahwa koleksi Al-Qur’an (mushaf)  yang disusun oleh para sahabat sebagaimana dimaksudkan Jeffry memang ada dan dibaca oleh umat Islam. Akan tetapi, mushaf-mushaf tersebut disusun sebagai koleksi pribadi dengan inisiatif masing-masing.

Baca Juga  Wakili Muhammadiyah, Saad Ibrahim Hadiri Konferensi Persatuan Islam di Iran

***

Adapun mushaf-mushaf ini berbeda dengan mushaf resmi yang sudah disepakati. Sehingga mushaf-mushaf tersebut dimusnahkan dengan alasan bahwa di dalamnya ada tambahan dan pengurangan ayat.

Sebagai contoh dalam mushaf Ibnu Mas’ud, ketika menulis surat al-Nisa’ ayat 34, فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ Ibnu Masud menulis فا لصوالح قوا نت حوا فظ للغيب بما حفظ الله فأصلحوا أليهم . Dari qiraat Ibnu Mas’ud tersebut terlihat ada perbedaan dengan Ustman. Demikian pula untuk kata وقضى ربك diganti dengan kata ووصى ربك،  kemudian ayat وما يعبدون من دون الله ditulis denganوما يعبدون من دوننا. Dalam qiraat bacaan Ibnu Mas’ud ini dinilai tidak mutawatir. Demikian juga pada mushaf Ubay bin Ka’ab. Selain mushaf ini dipengaruhi dialek di luar dialek Quraisy, ia juga banyak melakukan penafsiran sehingga ada beberapa ayat ditulisnya dengan menggunakan penafsiran. Kata wa la al-dlallin diganti dengan kata wa ghair al-dläffin. Kasus seperti ini ditemukan juga dalam mushaf Ibnu Abbas. Oleh karenanya, mushaf-mushaf tersebut ditolak kaum muslim.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tidak digunakannya mushaf-mushaf para sahabat dan dipilihnya mushaf Utsmani, bukan karena ada kepentingan politik, tetapi semata-mata untuk menjaga keautentikan Al-Qur’an.

Tuduhan Kedua

Orientalis menganggap pemerintahan di masa Utsman tidak mengerti al-Qur’an sehingga terjadi banyak pemberontakan oleh kaum separatis dan para qurra’. Karenanya, Utsman segera menetapkan Mushaf standar untuk menghentikan pemberontakan tersebut.

Pendapat tersebut dikemukakan oleh Leo Caetani, dimana pada saat Utsman bin Affan berkuasa, menurutnya banyak terjadi perbedaan bacaan di kalangan umat sehingga terjadilah pemberontakan dari kalangan qurra’, dan dalam menghentikan menurut Leo dibuatlah Qur’an standar tadi yaitu Rasm Utsmani.

Namun pendapat itu dibantah dan disanggah oleh para ulama dan sarjana muslim, sebagaimana Ibn Abi Dawud dalam al-Masahifnya. Menurutnya, argumen yang dihadirkan oleh Leo Caetani tersebut tidaklah sesuai dengan fakta yang ada. Sebab benih-benih perpecahan tersebut sudah tercium sejak masa khalifah Umar bin Khattab, namun Umar belum sempat mengkodifikasikannya sebagaimana Utsman. Fakta lain pula menyebutkan bahwa perbedaan tersebut telah melebihi batasan dispensasi yang telah diberikan oleh Nabi. Bahkan hal ini mencapai puncaknya ketika hampir terjadi saling Takfir di antara para sahabat.

Baca Juga  Barbarossa: Mujahid Muslim yang Dituduh Bajak Laut

Adanya perpecahan yang mengkhawatirkan tentang Al-Qur’an ini, yang dapat mengancam keotentikan Al-Qur’an itu sendiri. Maka para sahabat segera bertindak, agar Al-Qur’an tidak bernasib sama dengan Taurat dan Injil yang telah didistorsi oleh Yahudi dan Nasrani. Disaat itulah Khalifah Utsman bin Affan mengambil tindakan sebagai bentuk pengabdian kepada al-Qur’an yaitu dengan mengkodifikasikan Al-Qur’an dalam satu mushaf imam yakni Mushaf Utsmani.

***

Lain daripada itu, fakta lain pula menyebutkan bahwa terpecahnya umat ini bukan hanya tududan dari Khalil Abdul Karim tentang Hudzaifah bin Yaman saja. Namun khalifah Utsman telah mendengarnya secara langsung. Sebagaimana pada masa pemerintahannya telah banyak para pelajar Al-Qur’an belajar pada guru yang berbeda, karenanya banyak dari mereka menyalahkan dari sekolah satu ke sekolah yang lain.

Lebih-lebih sampai Abu Ayyub mengungkapkan bahwa perbedaan cara baca ini sampai pada tahap fanatisme dan saling mengkafirkan. Oleh karenanya, Khalifah Utsman memberikan nasehat kepada mereka bahwa  “ Kalian berselisih pendapat tentang bacaan dalam al-Qur’an, lalu saling menyalahkan, bagaimana dengan penduduk yang jauh disana, pasti mereka lebih tercerai berai. Maka bersatulah kalian wahai sahabat Muhammad, dan hendaklah kalian menulis satu Mushaf induk (Faktubu Linnasi Imaman”).

Dengan demikian, apa yang telah dilakukan khalifah Utsman bin Affan bukanlah suatu kesalahan, akan tetapi justru keputusan benar dan dengan pertimbangan yang matang. Bahkan, sekaliber Ibn Jarir at-Thabari, seorang pakar hukum mazhab Maliki pun ikut mendukung dan mengungkapkan bahwa standarisasi itu adalah wajib, karena masa depan Islam akan lebih terjamin. Bahkan seandainya hal itu tidak dilakukan, maka akan terjadi pertumpahan darah dalam tubuh umat Islam.

Lebih lanjut, at-Thabari juga mengatakan bahwa alasan utama kodifikasi dan membuat Mushaf al-Iman adalah sebagai bentuk kasih sayang Khalifah yang khawatir akan terjadi pemurtadan kolektif, karena ada upaya indikasi ke arah tersebut. Di mana banyak terjadi pendustaan terhadap huruf-huruf Al-Qur’an. Jadi seandainya tidak dibukukan maka kerusakan (Mafsadah) dan keburukan (Mudarat) yang akan terjadi lebih besar dibanding manfaatnya.

Baca Juga  Franz Rosenthal, Orientalis yang Terjemahkan Muqaddimah Ibnu Khaldun

Editor: Soleh

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *