Betullah memang, sekelumit persoalan intelektual kita saat ini ialah gagasan konstruktif tidak berbanding lurus dengan metodologi yang moderatif. Maka teringat petuah Bapak Tan, “Dalam Masa revolusi, senjata yang bisa kita gunakan adalah otak, mulut, dan pena”. Dan satu lagi saya tambahkan, media; Rahmat Ariandi (Sekbid RPK PC IMM Kota Makassar).
Menyoal intelektualisme, tidak mesti menghukumi pribadi adalah intelektual. Sempitnya wawasan dan ketidakcakapan pribadi dalam dunia akademik adalah nyata adanya ketimpangan intelektual dalam diri yang sering mendaku intelektual ini. Daripada kita sibuk merebut tafsir dan menghukumi diri masing-masing sebagai intelektual, mari kita coba bedah perihal intelektualisme itu seperti apa.
Mendedah Makna Intelektualisme
Intelektual berasal dari kata intellectus, mengerti atau memahami (understanding). Kosa kata ini pertama kali ada pada abad ke-14 M. Dari pengertian tersebut, intelektual bertitik tumpu pada kemampuannya merefleksikan keadaan. Dengan kekuatan pikirannya, ia mampu membaca realitas, menguraikan persoalan, dan memahami duduk masalah dalam lingkungan (Akmal Ahsan: Meretas Batas Pemikiran). Sedangkan, tafsir Gramsci yang cukup pribadi kagumi, tak jauh beda.
Perihal intelektualisme yang cukup akrab dan lebih dekat disematkan kepada mahasiswa. Bahwasannya siapapun yang mendaku intelektual, dia yang mempunyai semangat perubahan yang bertumpu pada aspek kognisinya dan digunakan untuk merespon realitas (Gramsci: Intelektual Organik).
Oleh karenanya, Ali Syariati lebih akrab menyebutnya sebagai raushan fikr yaitu orang-orang yang mempunyai kesadaran ideologis yang mendorongnya untuk berkorban dan melakukan gerakan-gerakan pencerahan di sekitarnya.
Mahasiswa dan Masturbasi Intelektual
Namun faktanya, mahasiswa yang kebanyakan bermukim di setiap organisasi kepemudaan, kini sulit rasanya menemukan mahasiswa yang mempunyai fungsi intelektual. Yang seharusnya keberpihakan gerakan mesti bersenyawa dengan realitas sosial masyarakat, malah hanya disibukkan dengan pemuasan syahwat intelektual masing-masing individu. Atau pribadi biasa sebut sebagai “masturbasi intelektual”.
Tentu fenomena ini sangat disayangkan ketika mendera organsisasi kepemudaan sekaliber Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Fenomena intelektual di tingkat grassroot yang masih mempertahankan gaya konvensional juga sebagian kecil yang menjadi persoalan.
Semangat menumbuhsuburkan imun literasi tidak berbanding lurus dengan metodologi yang terbarukan. Padahal, surplus informasi dan akses yang nirbatas saat ini adalah fasilitas yang mampu diberdayakan oleh anak IMM.
Hal lain pula yang menjadi soal ialah semakin tereduksinya nilai dan Tri Kompetensi Dasar IMM yang membuat kusutnya intelektualisme kader yang disebabkan oleh candu akan teknologi.
Teknologi dalam tafsiran modernitas, diupayakan untuk mempermudah segala aktivitas manusia. Tapi hal ini kemudian tidak mampu diterjemahkan oleh kebanyakan kader IMM. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mesti terintegrasi dengan baik lewat “literasi digital”.
Dan terakhir, menyoal intelektualisme IMM, mengingatkan kita dengan aktivisme simbolik. Artinya, gerakan sloganisme dan simbolitas hanya mengantarkan pada pintu aksidental. Parade pamflet-pamflet kajian dan majelis ilmu hanyalah pemikat dan upaya daya tarik dan pemulus program kerja setiap level kepemimpinan.
Ini tentu sensitif ketika didaras bersama. Tapi inilah realitas objektif di sekeliling kita. Subyektifitas pribadi melihatnya disebabkan karena gerakan intelektualisme masih belum pada upaya terciptanya kulturalisme gerakan.
Sehingga, aktivisme simbolik ini belum mengantarkan pada sadarnya kita sebagai intelektual transformatif. Intelektual transformatif ialah mereka yang terlibat dalam diskursus-diskursus sosial, sekaligus turut terlibat langsung dalam upaya memberdayakan masyarakat tertindas, marjinal, dan mengalami pemiskinan. Peran inilah yang mesti terinternalisasi dalam tubuh kader IMM.
IMM Harus Bisa Mencerahkan
Sebagai gerakan mahasiswa yang berpondasi intelektualisme, IMM di harapkan secara integratif menyapa zaman yang mampu mencerahkan masyarakat luas. Persoalan inilah yang disebut oleh Jean Baudrillardsebagai “Simulakra Intelektual”. Realitas semu menggerogoti aktivisme intelektual IMM yang telah kehilangan realitas aktualnya.
IMM diharapkan mampu menjadi katalisator perubahan sosial. Problematika zaman yang semakin kolot diharapkan pula disapa dengan baik oleh IMM di abad 21 ini.
Seperti halnya Muhammadiyah sebagai induk organisasi Kepemudaan IMM, keberpihakan gerakan intelektual mesti selaras dengan geneologi dakwah Muhammadiyah yang sudah sejak dulu komitmen pada upaya pencerdasan dan pencerahan dalam meminimalisir marjinalisasi sosial di masyarakat. Sehingga, perlu ada upaya untuk mengembalikan kembali bagaimana aktivisme intelektual IMM dalam menemukan kembali ritme Orisinalitasnya.
Masukan untuk IMM
Pertama, gerakan intelektualisme IMM mesti terintegrasi dengan baik lewat “literasi digital”. Perkembangan zaman yang menuntut manusia untuk melek dengan teknologi adalah upaya untuk melihat realitas objektif saat ini.
Kita sekarang tergolong sebagai “Risk Society”, sebagaimana pandangan Antonio Giddens, akibat dari turbulensi informasi yang telah menjadi keniscayaan zaman. Fenomena hoax adalah wajah yang sering menghiasi gawai dan beberapa platform sosial media saat ini.
Hal inilah yang membuat karakter dan psiko-sosial masyarakat semakin kusut akibat maraknya ujaran kebencian, caci maki, dan konten yang kurang etis. Sehingga, realitas yang nampak adalah hasil konstruksi media.
Inilah yang mesti dilirik oleh IMM. Bukan bermaksud menjadi otoritas informasi, tapi edukasi literasi digital dalam meluruskan opini publik masyarakat di tengah informasi yang nirbatas saat ini, adalah upaya untuk mereformulasi gerakan intelektualisme IMM di abad 21.
Kedua, Gerakan intelektualisme IMM tidak lagi berpihak pada gerakan aksidental. Sloganisme gerakan mesti di barengi dengan kulturalisme gerakan pula.
Kita tentu berharap bahwa DNA literasi mesti bersenyawa dengan baik dalam diri setiap kader IMM. Massifikasi majelis ilmu, tidak hanya dihiasi dengan parade pamflet-pamflet kajian, tapi sesuatu yang harus mendarah daging dalam tubuh ikatan.
***
Keberpihakan ini diharapkan mampu menciptadakan diskursus yang konstruktif di setiap lorong-lorong kampus, diskursus ilmiah, dan diskursus apapun itu bentuknya. Karena, aktivisme intelektual adalah pondasi dan modal sosial kader IMM dalam menyapa zaman selain aspek moralitas pada umumnya.
Ketiga, dari generalisasi menuju spesifikasi keilmuan. Di tengah arus zaman yang sangat runyam ini, yang paling dibutuhkan ialah kepastian (Yufal Noah Harrari). Ihwal pemikiran dan diskursus kader yang cenderung masih general belum menemukan titik spesifikasinya masing-masing.
Padahal dalam tafsir tujuan IMM dikatakan, IMM berupaya mengusahakan terbentuknya akademisi Islam. Akademisi dalam tafsirannya, diharapkan keilmuan kader mesti memperhatikan aspek vokasional atau disiplin ilmunya masing-masing.
Inilah manifestasi dan komitmen Persyarikatan Muhammadiyah dalam melahirkan bibit unggul dalam usahanya mewujudkan akademisi yang mempunyai keahlian dalam setiap disiplin ilmunya. Bukankah kita pernah mendengar narasi familiar yang mengatakan, “Jadilah insinyur, politisi, akademisi, dan jangan lupa kembali ke Muhammadiyah”.
Keempat, moderasi keilmuan dengan membumikan gagasan guna mewujudkan emansipasi gerakan. Adapun Komitmen IMM dalam geneologi gerakan dan corak pemikirannya ialah kemampuannya untuk proaktif dalam memproduksi gagasan konstruktif dan edukatif.
Wacana keilmuan di abad 21 bukanlah sesuatu yang mesti kita tolak dan menjadi alergi dalam diskursus kajian. IMM mesti melihat dan membuka mata seluas-luasnya, bahwasannya dinamsiasi keilmuan saat ini mesti dijawab dengan moderasi keilmuan pula.
Berangkat dengan gagasan yang konstruktiflah, IMM akan mampu menjadi katalisator perubahan sosial di masyarakat.
Polarisasi keilmuan yang rigid mesti ditinggalkan. IMM mesti sadar, bahwasanya dibelahan dunia mana pun, peradaban manusia selalu berangkat dari peradaban literasi. Baik buruknya suatu bangsa, dilihat dari aktivitas literasi pemudanya.
Ketika gerakan intelektual sudah tidak ramah lagi, maka IMM akan menemukan suatu fase yang namanya kematian. Dengan bertambahnya Umur IMM yang ke 57 ini, diharapkan tercipta gagasan yang konstruktif dalam manyapa zaman sehingga lahir resolusi dan ijtihad baru dalam menjawab problematika kebangsaan dan kemanusiaan. IMM JAYA!!!
Editor: Yahya FR