Oleh: Ridho Al-Hamdi
Pada Hari Rabo (11/09/2019) untuk edisi yang kesekian sekalinya, para pegiat Majelis Reboan yang didominiasi oleh mayoritas kaum muda mendiskusikan hal-hal aktual terkait dengan gerakan Muhammadiyah. Kebetulan saya pribadi diminta menjadi pemantik pada diskusi kali ini. Melalui ruang diskusi di Markaz 103 bersejarah tersebut, ide-ide segar dari anak muda bisa diluapkan untuk kemudian dikaji lebih mendalam relevansinya bagi kemajuan persyarikatan.
Setidaknya ada satu angle yang cukup menarik yang menjadi pembahasan, yaitu tentang bagaimana Muhammadiyah melakukan rekayasa organisasi dalam proses regenerasi kepemimpinan di Muhammadiyah. Regenerasi tidak selalu bermakna proses peremajaan struktur kepengurusan, tetapi juga membuat terobosan-terobosan dalam proses kaderisasi menuju elite Muhammadiyah.
Dari berbagai gagasan yang berserakan selama diskusi, izinkan artikel ini menawarkan empat “sumber kaderisasi” yang bisa direkayasa untuk menuju elite “13 Dewa” Muhammadiyah. Keempat sumber kaderisasi tersebut adalah angkatan muda, majelis/lembaga, amal usaha, dan daerah.
Pertama, Kanal Angkatan Muda
Salah satu sumber kekuatan utama kaderisasi di Muhammadiyah adalah AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang terdiri dari PM, NA, IMM, dan IPM/IRM. Karena AMM merupakan kanal kaderisasi Muhammadiyah, dari merekalah nasib masa depan Muhammadiyah ditentukan. Dari merekalah, maju atau mundurnya Muhammadiyah terlihat. Jika kita melihat sejarah, elite-elite Muhammadiyah sekarang sebagian besar adalah hasil dari kaderisasi AMM.
Sebut saja Haedar Nashir, Busyo Muqoddas, Dahlan Rais, Agung Danarto, Agus Taufiqurrahman, dan Siti Noordjannah Djohantini yang merupakan alumni dan kader IPM/IRM. Begitu juga dengan Din Syamsuddin, Abdul Mu’ti, Sudibyo Markus, dan Yunahar Ilyas yang merupakan alumni dan mantan elite IMM. Ada juga Hajriyanto Y. Tohari serta Din Syamsuddin dan Abdul Mu’ti yang merupakan mantan barisan orang nomor satu di Pemuda Muhammadiyah.
Semangat kaderisasi harus terus digelorakan di kalangan AMM. Karena itu, kader-kader muda sekarang yang dulu pernah menjadi aktivis AMM juga berpeluang menjadi elite Muhammadiyah seperti Muhammad Sayuti, Hilman Latief, Izzul Muslimin, Ahmad-Norma Permata, Jamaluddin Ahmad, Muhammad Ziyad, Arif Jamali Muis, Nadjib Burhani, Munawwar Khalil, Bachtiar Dwi Kurniawan, Paryanto Rohma, Rahmawati Hussein, Rita Pranawati, Normasari, dan Abidah Muflihati.
Kedua, Kanal Majelis/Lembaga
Meski majelis dan lembaga di lingkungan Muhammadiyah disebut sebagai UPP (Unsur Pembantu Pimpinan), pada kenyataannya dari merekalah lahir elite-elite yang menjadi garda depan persyarikatan. Kita bisa cek ketika Amien Rais pernah menjadi ketua majelis tabligh tahun 1985 hingga terpilih menjadi ketua PP Muhammadiyah di Muktamar Aceh 1995.
Begitu juga munculnya Amin Abdullah dan Munir Mulkhan menjadi elite Muhammadiyah di Muktamar 2000 yang sebelumnya mereka berdua pernah menjadi ketua majelis tarjih dan majelis tabligh. Begitu juga Busyo Muqoddas dan Haedar Nashir yang keduanya pernah menjadi ketua BPK (kini MPK), Yunahar Ilyas yang pernah menjadi ketua MTDK, dan Anwar Abbas yang pernah menjadi ketua majelis ekonomi.
Karena itu, kader-kader yang saat ini aktif sebagai elite di majelis dan lembaga juga memiliki peluang maju sebagai elite “13 Dewa” Muhammadiyah seperti Syamsul Anwar, Budi Setiawan, Fathurrahman Kamal, Ahmad-Norma Permata, Hilman Latief, Lincolin Arsyad, Jamaluddin Ahmad, Muhammad Sayuti, Arief Jamali Muis, Muhammad Yamin, Agus Syamsuddin, Muhammad Ziyad, Mukhlas, dan Gatot Supangkat.
Ketiga, Kanal Amal Usaha
Kita tidak bisa memungkiri, meskipun Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) masih belum menjadi jalur utama (mainstream) dalam proses kaderisasi di Muhammadiyah, pada kenyataannya elite-elite Muhammadiyah lahir dari mereka. Sebut saja Muhajir Effendi yang pernah menjadi rektor UMM Malang dan Suyatno yang pernah menjadi rektor Uhamka Jakarta. Karena itu, Muhammadiyah harus juga membina secara serius AUM-AUM tersebut terutama kampus dan rumah sakit karena dari institusi-institusi tersebutlah lahir elite-elite Muhammadiyah.
Di sinilah menjadi penting, bahwa rektor PTM dan direktur RSM/PKU haruslah diisi oleh kader-kader Muhammadiyah. Gunawan Budiyanto, Anjar Nugroho, Muhammad Fauzan, Bambang Setiadji, dan Sofyan Anif yang merupakan rektor-rektor PTM berpeluang masuk menjadi elite Muhammadiyah.
Keempat, Kanal Daerah
Kader-kader Muhammadiyah dari daerah (PWM dan PDM) adalah kader-kader yang berjuang sejak dari akar rumput. Merekalah yang berhasil membawa Muhammadiyah bersinar hingga ke pelosok-pelosok di berbagai daerah. Kita bisa melihat sejarah masa lalu di mana kader-kader daerah pernah menjadi elite Muhammadiyah seperti Mas Mansur dari Surabaya dan AR Sutan Mansur dari tanah Minang Sumatera.
Pasca Orde Baru, sejumlah kader daerah pun mulai muncul di gelanggang nasional seperti Muchlas Abror, Fasich, Syafiq Mugni, Dahlan Rais, Marpuji Ali, Dadang Kahmad, Agung Danarto, dan Agus Taufiqurrahman yang mereka semua adalah kader-kader Muhammadiyah yang pernah menjadi tokoh utama di daerahnya masing-masing. Karena itu, mereka-mereka yang saat ini menjadi kader daerah juga memiliki peluang naik satu level lagi di panggung nasional seperti Tafsir (Jateng), Saad Ibrahim (Jatim), Gita Danupranata (DIY) serta tidak menutup kemungkinan kader-kader dari daerah seperti Jabar, Sulsel, dan juga tanah Sumatera.
Penutup
Inilah empat sumber kaderisasi menuju elite “13 Dewa” Muhammadiyah. Suka atau tidak suka, nampaknya empat jalur ini bisa menjadi pilihan alternatif para kader Muhammadiyah untuk masuk menjadi elite Muhammadiyah masa depan. Karena itu, empat sumber kaderisasi tersebut harus benar-benar dijaga. Empat sumber tersebut harus dibina baik secara ideologis maupun SDM-nya. Proses sirkulasi elite harus dilakukan dengan cara rekayasa secara sengaja (organizational engineering), tidak lagi sporadis atau secara kebetulan karena gerakan Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan semi-profesional yang harus dipimpin oleh kader pilihan.
Hal yang tidak kalah penting juga adalah pertimbangkan dari segi usia para kader yang duduk sebagai elite Muhammadiyah. Jika Muktamar 2000-an melahirkan kader seperti Din Syamsuddin dan Haedar Nashir yang merupakan kelahiran 1950-an, Muktamar 2010-an melahirkan Agung Danarto dan Agus Taufiqurrahman yang merupakan kelahiran 1960-an, maka saatnya Muktamar 2020-an harus mampu melahirkan elite baru kelahiran 1970-an.
Nama-nama kader muda kelahiran era 1970-an yang telah disebutkan di atas harus diberi peluang untuk menjadi elite “13 Dewa” Muhammadiyah pada Muktamar 2020 di Surakarta. Tentu hal-hal seperti ini harus direkayasa karena pemilik suara ada di daerah. Semoga Muktamar di Surakarta melahirkan elite-elite Muhammadiyah yang memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta.