Kritik matan hadis merupakan salah satu cabang dari ilmu hadis (‘ulum al-hadits). Cabang keilmuan ini berfokus pada kajian terhadap matan atau redaksi hadis. Tujuan dari kritik matan adalah untuk melihat dan menguji apakah sebuah redaksi hadis dapat dinisbahkan kepada pengucap atau pelakunya, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Cabang ilmu ini menjadi penting untuk dikaji. Mengingat pada faktanya, terdapat beberapa redaksi hadis yang dirasa tidak sesuai jika dinyatakan sebagai ucapan atau tindakan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, kritik matan pada umumnya juga bertujuan untuk mencari makna hadis yang lebih relevan sesuai dengan kondisi pembacanya, atau biasa disebut dengan kontekstualisasi hadis.
Kritik Matan Hadis dalam Sejarah
Meskipun kritik matan hadis merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang penting, kemunculan cabang ilmu ini dianggap terlambat. Para kritikus hadis secara umum kemudian menyebutkan bahwa, para mushannif kitab-kitab induk hadis hanya mempertimbangkan kritik sanad ketika memasukkan hadis-hadis ke dalam kitab mereka.
Anggapan di atas dibantah oleh Jonathan A.C. Brown, seorang cendikiawan muslim Amerika Serikat. Brown menemukan bahwa para mushannif kitab hadis juga melakukan kritik matan. Ia membuktikan bagaimana misalnya, Imam al-Bukhari melakukan kritik matan dalam kitabnya al-Dhu’afa ash-Shaghir, dan Imam Muslim dalam kitabnya al-Tamyiz.
Meskipun Brown berhasil membantah klaim di atas, sayangnya kritik sanad memang lebih diperhatikan daripada kritik matan. Hal ini didasari pada keyakinan bahwa orang-orang yang tsiqah (terpercaya) dan ‘adil tidak mungkin berdusta atas nama Nabi. Sehingga, tak mengherankan jika kemudian muncul jargon terkenal yang dinisbahkan kepada Ibnu Mubarak (w. 181 H):
“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, niscaya siapapun akan (bebas) mengatakan apa yang dikehendakinya.”
Namun jika kritik matan dipandang secara sederhana, maka usaha ini sejatinya telah muncul di masa Rasulullah Saw masih hidup. Para sahabat yang tidak memahami atau menganggap ada sedikit kejanggalan dalam sebuah redaksi hadis langsung bertanya kepada sumbernya, yaitu Nabi Muhammad sendiri.
Metode ini juga berlaku setelah wafatnya Nabi. Para sahabat yang menjadi tumpuan dalam hal keagamaan, termasuk hadis, menjadi sumber rujukan utama ketika ada orang yang tidak mengerti akan suatu redaksi hadis.
Hingga pada masa pengikut tabi’in dan masa setelahnya, kritik matan hadis dirasa penting untuk dilakukan. Di antara faktor pendorongnya adalah kemunculan sekte-sekte Islam, yang di antaranya tidak segan membuat hadis palsu untuk menyokong kelompoknya masing-masing.
Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam karyanya al-Maudhu’at pernah menuliskan pernyataan dari salah seorang pemalsu hadis. Pemalsu itu menyatakan: “Telitilah hadis ini dari siapa kalian mengambilnya. Karena sesungguhnya kami dahulu terbiasa apabila mendapati sebuah pendapat (yang sesuai dengan mazhab kami), kami menjadikannya sebagai sebuah hadis.”
Pada abad ke-7, Imam al-Nawawi dalam salah satu karyanya menjelaskan lima syarat sahihnya sebuah hadis. Syarat inilah yang biasa kita kenal sekarang sebagai definisi dari hadis sahih, yaitu sanadnya bersambung, periwayatnya adalah seorang yang ‘adil dan dhabit, serta tidak ditemukan syadz dan ‘illah. Syadz dan ‘illah merupakan kritik terhadap matan hadis, kendati syadz juga dapat terjadi pada sanad.
Baru pada masa modern, kaidah kritik matan hadis yang lebih sistematis disusun oleh berbagai cendikiawan, baik dari kalangan muslim maupun dari kalangan orientalis. Namun kendati demikian, kaidah kritik matan tidaklah baku, mengingat para cendekiawan tersebut berbeda dalam beberapa poin/standar kritik mereka. Misalnya, James Robson (w. 1981 M) menolak hadis politis, sebuah standar yang tidak ditetapkan oleh Mustafa al-Siba’I (w. 1964 M) dan Muhammad al-Ghazali (w. 1996 M).
Di masa itu, juga muncul seorang cendikiawan muslim yang telah melakukan kajian mendalam terhadap berbagai metode kritik matan hadis, dimulai dari era Nabi Muhammad Saw hingga era sebelum dirinya. Hasilnya, ia menetapkan empat standar kritik matan hadis, yang menurutnya dilakukan oleh para ahli hadis. Dialah Shalahuddin al-Idlibi (l. 1948 M) dengan karyanya Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi.
Kritik Matan Hadis al-Idlibi
Ada empat standar kritik matan hadis yang dinyatakan oleh al-Idlibi, yaitu (1) tidak bertentangan dengan al-Qur’an, (2) tidak bertentangan dengan hadis dan sirah yang shahih, (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra, serta fakta sejarah, dan (4) menunjukkan sabda kenabian.
Pertama, sebuah hadis sahih tidak mungkin bertentangan maknanya dengan al-Qur’an. Secara kekuatan wurud (kemunculan)nya, al-Qur’an menempati posisi qath’i (pasti), sedangkan hadis hanyalah zhanni (dugaan kuat). Kondisi ini pun mensyaratkan bahwa keduanya merupakan dalil yang tidak dapat ditakwil. Jika demikian, maka al-Qur’an dan hadis tersebut dapat dikompromikan (al-jam’u).
Kedua, sama halnya dengan syarat pertama, bahwa sebuah dalil tidak boleh bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini, sebuah hadis atau sirah Nabi yang lebih sahih tidak dapat digugurkan oleh hadis yang derajatnya lebih rendah. Pada poin ini al-Idlibi juga memberikan syarat: pertama, tidak ada kemungkinan al-jam’u antara kedua teks yang sedang diperbincangkan, dan kedua, kedua teks berada pada derajat yang berbeda.
Ketiga, agar tidak terjadi perbedaan cara berpikir yang terlalu jauh dalam menentukan ‘ini sesuai dengan akal’ dan ‘yang itu bertentangan dengan akal’, al-Idlibi menyatakan bahwa standar akal yang digunakan adalah akal yang telah mendapatkan pencerahan dari al-Qur’an dan ilmu mantiq (logika). Sebab, sebuah teks (al-naql) yang sahih tidaklah mungkin bertentangan dengan akal (al-‘aql).
Al-Idlibi juga menyatakan bahwa sebuah hadis tidaklah mungkin bertentangan dengan hal-hal indrawi atau dunia fisik, karena itu bukanlah sikap yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan berkaitan dengan sejarah, ia menyatakan bahwa sejarah yang dimaksud adalah sejarah yang telah terbukti keabsahannya. Sebuah hadis yang tidak sesuai dengan fakta sejarah yang valid, membuat orang setidaknya meragukan keabsahannya.
Keempat, ada tiga kondisi yang dapat menyebabkan bahwa sebuah hadis tidak menunjukkan sabda kenabian. Pertama, redaksi hadis terkesan sangat sembarangan (sembrono, gegabah, dan sebagainya), yang dicirikan dengan adanya peringatan akan kengerian (al-tahwil) dan menceritakan hal-hal yang menakjubkan (al-ajib) yang terlampau berlebihan. Kedua, redaksi hadis sangat membosankan (samajah) dan miskin makna (rakakah). Dan ketiga, redaksi hadis menyebutkan sebuah istilah yang belum ada di masa Nabi Muhammad Saw.
Adapun untuk melihat contoh masing-masing poin yang ditetapkan oleh al-Idlibi. Silakan baca karyanya Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi. Selamat membaca.
Editor: Soleh