Opini

Empat Tipologi Pemberdayaan Muhammadiyah

2 Mins read

Muhammadiyah sering hanya dilihat sebagai gerakan pemurnian akidah. Padahal, melalui lensa Capability Approach Amartya Sen, K.H. Ahmad Dahlan sejak awal abad ke-20 telah melakukan eksperimen sosial besar untuk mengatasi deprivasi kapabilitas masyarakat Jawa yang menderita buta huruf, penyakit, kemiskinan, takhayul, dan feodalisme. Bagi Sen, kemiskinan sejati adalah hilangnya kebebasan mendasar untuk hidup bermakna. Artikel ini akan membahas tipologi-tipologi pemberdayaan yang secara praktis telah dijalankan Muhammadiyah.

Dalam studi pemberdayaan masyarakat kontemporer dikenal empat tipologi pemberdayaan, yaitu karitatif, infrastruktur, pengembangan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. Muhammadiyah sejak awal hingga kini secara praktis telah menjalankan keempat tipologi tersebut secara sistematis untuk memulihkan kapabilitas manusia yang dirampas kolonialisme dan feodalisme.

Teologi Al-Ma’un

Langkah pertama Muhammadiyah adalah pendekatan karitatif sebagai respons darurat terhadap kelaparan dan ketelantaran. Interpretasi praksis K.H. Ahmad Dahlan terhadap Surat Al-Ma’un bukan sekadar sedekah ritual, melainkan intervensi langsung untuk memenuhi kebutuhan biologis dasar kaum miskin. Murid-murid Dahlan turun ke jalan memberi makan gelandangan dan membangun rumah miskin.

Pada 1925, Muhammadiyah sudah memiliki program subsidi rumah miskin sebanyak 8.100 unit bekerja sama dengan Kraton Ngayogyakarta. Tindakan ini sejalan dengan pandangan Sen bahwa kebebasan dari kelaparan dan kematian dini merupakan prasyarat bagi segala bentuk pembangunan manusia. Karitatif bukan tujuan akhir, melainkan fondasi agar kapabilitas lain dapat tumbuh.

Tipologi PKO dan Sekolah

Tipologi kedua adalah pembangunan infrastruktur sosial berupa sekolah dan klinik (Pusat Kesehatan Orang Miskin/PKO). Fasilitas ini merupakan kebebasan instrumental (instrumental freedoms) yang memungkinkan individu mengubah potensi menjadi kenyataan. Muhammadiyah menyediakan akses pendidikan dan kesehatan yang sebelumnya tertutup bagi pribumi akibat sistem kolonial. Tanpa sekolah, hak untuk cerdas hanya mimpi; tanpa klinik, hak untuk sehat tak tercapai. Dengan membangun infrastruktur tersebut, Muhammadiyah memberikan alat konkret bagi masyarakat untuk melawan deprivasi kesehatan dan intelektual.

Baca Juga  Syafiq Mughni: Korupsi di Perguruan Tinggi Adalah Kesalahan Fatal

Tipologi Pendidikan dan ’Aisyiyah

Tipologi ketiga adalah pengembangan kapasitas manusia. Pendidikan modern Muhammadiyah yang menggabungkan agama dan ilmu pengetahuan bertujuan menciptakan manusia otonom. Sebelumnya, perempuan Jawa dilarang sekolah dan berpendapat di ruang publik.

Pada 1929, H.M. Yunus Anis menyatakan bahwa ketika perempuan Turki baru menyerukan untuk “membuka muka” dan keluar dari domestikasi, perempuan ’Aisyiyah “sudah lama membuka muka melihat dunia, mengejar ilmu, dan turut berdakwah”. Dengan melatih literasi dan kepemimpinan, ’Aisyiyah memberi perempuan kekuatan untuk menjadi subjek aktif dalam menentukan hidupnya sendiri.

Rasionalitas sebagai Pembebasan: Melawan Deprivasi Kultural

Tipologi terakhir adalah reformasi kultural dengan memerangi takhayul, bidah, dan khurafat (TBC). Masyarakat yang terbelenggu mitos irasional mengalami deprivasi kemampuan bernalar. Dalam pidato Kongres Muhammadiyah ke-11 tahun 1922, K.H. Ahmad Dahlan mengkritik kebiasaan menganggap ajaran leluhur atau guru sebagai kebenaran mutlak yang tak boleh dipertanyakan.

Muhammadiyah membebaskan masyarakat dari fatalisme melalui rasionalisasi agama, dakwah organisasi otonom, serta amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan. Tindakan ini memulihkan kapabilitas nalar sehingga masyarakat mampu menentukan masa depannya secara rasional dan berlandaskan kebenaran.

Dengan menghubungkan sejarah awal Muhammadiyah dengan pendekatan kapabilitas Amartya Sen dan empat tipologi pemberdayaan masyarakat, terlihat bahwa Muhammadiyah tidak hanya memberi ikan (karitatif) atau kail (infrastruktur), tetapi juga memastikan manusia memiliki kesehatan, pendidikan, dan kebebasan berpikir untuk menggunakan kail tersebut.

Keempat tipologi yang dijalankan secara simultan ini menjadi cetak biru holistik pengentasan kemiskinan: melawan kemiskinan bukan hanya dengan uang, melainkan dengan membuka akses kebebasan manusia untuk hidup bermartabat, sehat, terdidik, dan berdaya.

Editor: Assalimi

Racha Julian Chairurrizal
3 posts

About author
Peneliti & Praktisi Pemberdayaan Masyarakat
Articles
Related posts
Opini

Mitigasi yang Senyap di Negeri Paling Ramai Saat Duka

3 Mins read
Suatu pagi di akhir tahun 2025, di sebuah desa di Tapanuli Selatan, warga terbangun oleh suara gemuruh tanah. Hujan deras semalaman sudah…
Opini

Inovasi Program Revitalisasi Sekolah

3 Mins read
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada tahun ini meluncurkan program revitalisasi sekolah. Program ini dilaksanakan dalam bentuk perbaikan fasilitas…
Opini

Wahabisme Ekologis vs Predator Anugerah

4 Mins read
Di tengah krisis lingkungan global, diskursus keagamaan seringkali menjadi arena pertarungan wacana yang tidak hanya teologis, tetapi juga politis dan ekologis. Sebuah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *