Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang tidak setuju dengan tindak pidana terorisme. Berikut buktinya:
Pertama, Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan untuk mencerdaskan bangsa dan mengangkat derajat orang-orang miskin papa. Sementara itu, terorisme bersifat menghancurkan bangsa dan memiskinkan orang lain.
Terorisme membuat istri menjadi janda, suami menjadi duda, dan anak-anak menjadi yatim piatu. Hal ini berkebalikan dengan posisi Muhammadiyah yang membantu agar yatim piatu bisa hidup layak dan bahagia melalui ratusan panti asuhan yang dibangun. Spirit pendirian Muhammadiyah adalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Terorisme jelas bertentangan dengan ketiga nilai tersebut.
Kedua, Muhammadiyah adalah organisasi keislaman yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Lazismu, dan lembaga-lembaga Muhammadiyah lain begitu getol membantu saudara-saudara di seluruh dunia yang tengah terkena bencana. Mulai dari bencana alam hingga konflik atau perang. Mulai dari dalam negeri seperti banjir di Kalimantan Selatan, gempa bumi di Sulawesi Barat, hingga konflik luar negeri seperti Rohingya, Moro, dan tentu Palestina.
Muhammadiyah, sebagaimana kita ketahui bersama, telah mendirikan beberapa sekolah di Lebanon untuk membantu pengungsi Palestina. Muhammadiyah juga sering membagi-bagikan bingkisan dan menggelar penyembelihan hewan kurban ketika Iduladha di Gaza dan Tepi Barat.
Di Lhokseumawe melalui berbagai majelis dan lembaganya, Muhammadiyah turut membantu pengungsi yang datang dari berbagai negara konflik dan terdampar di pantai Lhokseumawe, Aceh. Selain itu, melalui tokoh-tokohnya seperti Sudibyo Markus, Muhammadiyah terlibat secara intens dengan perundingan damai atas konflik berkepanjangan di Filipina.
Bagaimana mungkin organisasi yang sehari-hari disibukkan dengan kerja-kerja kemanusiaan justru merusak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri melalui tindakan teror?
Ketiga, melalui ribuan amal usaha di bidang pendidikan, Muhammadiyah menjelma menjadi organisasi besar yang berpendidikan. Muhammadiyah menekankan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting. Kader-kadernya pun didorong untuk selalu belajar. Selain itu, sumber utama kader-kader Muhammadiyah adalah melalui lembaga pendidikan.
Sementara itu, terorisme adalah perbuatan yang jauh dari nilai-nilai pendidikan. Orang yang terdidik dan tumbuh dalam budaya ilmu selalu berusaha menyelesaikan masalah secara ilmiah. Segala permasalahan harus didudukkan dengan baik, adil, dan proporsional, sehingga tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan.
Keempat, Muhammadiyah telah secara bulat menerima Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi was Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Meskipun secara sepintas tampak tak terkait, namun, ideologi terorisme dalam beberapa hal bertaut berkelindan dengan ideologi yang menolak demokrasi dan pancasila sebagai dasar negara. Kelompok-kelompok yang menolak dasar negara ini kemudian menganggap lembaga negara sebagai orang kafir yang halal untuk dibunuh.
Kelima, Muhammadiyah menganggap bahwa setiap manusia harus hidup mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Muhammadiyah menganggap kehidupan dunia sebagai kehidupan yang penting dan tidak boleh diabaikan. Hal ini berbeda dengan pandangan sebagian muslim yang menganggap bahwa dunia adalah penjara bagi orang Islam.
Kelompok teror menganggap bahwa satu-satunya kehidupan yang penting adalah kehidupan akhirat. Mereka tidak menganggap kehidupan di dunia sebagai hal yang penting. Maka, nyawa adalah barang yang tak terlalu mahal bagi mereka.
Muhammadiyah menganggap bahwa amal kebaikan tak hanya yang bersifat vertikal seperti salat dan haji, melainkan juga horizontal seperti tolong-menolong, mencerdaskan kehidupan orang lain, memberdayakan kehidupan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan bagi Muhammadiyah adalah kesalehan sosial sekaligus individual.
Keenam, Muhammadiyah tidak memiliki motif seperti motif-motif tindakan terorisme. Menurut Kepala BNPT Boy Rafli, ada tiga motif terorisme, yaitu ideologi, politik, dan gangguan keamanan.
Motif ideologi berarti anti Pancasila, sementara Muhammadiyah tidak anti Pancasila. Motif politik berarti keinginan untuk merebut kekuasaan, sedangkan Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bersikap netral terhadap politik. Motif gangguan keamanan berarti balas dendam atau faktor ekonomi. Muhammadiyah jelas jauh dari motif ketiga ini.
Bagaimana dengan motif mati syahid dan mendapatkan bidadari di surga? Seperti yang telah disinggung di atas, Muhammadiyah tidak membenarkan seseorang meraih kebahagiaan di akhirat dengan mengorbankan kemuliaan kehidupan dunia. Muhammadiyah sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.
Ada sebagian psikolog yang menyebut bahwa salah satu motif terorisme adalah penghargaan dari kelompok. Seseorang yang berhasil melakukan amaliyah teror akan dihargai di kelompoknya. Sayangnya, Muhammadiyah juga sama sekali tidak menghargai tindakan terorisme.
Editor: Saleh