IBTimes.ID – Menyakiti istri atau perempuan pada umumnya adalah bentuk kezaliman dan salah satu bentuk menyepelekan ayat-ayat Allah. Hal ini disampaikan oleh Endang Mintarja dalam webinar daring yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Istitut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta. Webinar ini diselenggarakan pada Senin (7/9). Webinar ini diselenggarakan melalui Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube.
Menurut Endang Mintarja, Islam sangat menekankan penjagaan terhadap perasaan perempuan. Ia berpesan kepada seluruh peserta webinar agar hal ini menjadi komitmen bersama sebagai umat Islam.
Ketua Majelis Tarjih PW Muhammadiyah DKI Jakarta ini menyebut bahwa Alquran secara eksplisit tidak membahas tentang ayat-ayat kekerasan terhadap perempuan. Tetapi, menurut Endang, ada ayat yang menganjurkan agar hubungan seksual dilakukan secara adil.
Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat 33:
…وَلَا تُكْرِهُوا۟ فَتَيَٰتِكُمْ عَلَى ٱلْبِغَآءِ…
Artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.”
“Ayat ini berbicara tentang larangan melacurkan perempuan. Ayat ini erat kaitannya dengan hubungan seksual. Maka alangkah baiknya jika hubungan seksual itu didasarkan pada kesiapan kedua belah pihak. Perempuan dalam Alquran sebagai hartsun atau ladang,” ujar Endang.
Menurutnya, pada kata ladang tidak ada makna pelecehan sama sekali. Ladang atau tanah yang subuh baru dapat digarap jika sudah berair. Maka perlu memperhatikan kesiapan dari istri untuk bisa melakukan hubungan seksual.
Mudir Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo Bogor ini menyebut justru Alquran menyebutkan bagaimana pola hubungan seksual yang baik antara suami dan istri. Sehingga tidak mengunggulkan ego salah satunya. Hal ini patut menjadi pertimbangan termasuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pada zaman nabi, ada beberapa riwayat mengenai pemerkosaan. Pada prinsipnya, kasus pemerkosaan adalah kasus yang sudah mendapatkan hukum yang jelas. Dimana pemerkosa dalam tahap tertentu bisa dijatuhi hukuman maksimal, yaitu hukuman mati.
“Apalagi menurut Imam As-Sharasi, jika yang diperkosa adalah anak dibawah umur, bisa digunakan hukuman yang lebih berat daripada hukuman mati. Menurut Imam Abd Al-Barr, para ulama sudah berijma’ bahwa hukuman bagi pemerkosa adalah had zina. Berarti ketika pelaku berada dalam status pernikahan, ia harus dirajam. Sedangkan apabila dia masih bujang, setidak-tidaknya dihukum dengan 100 cambukan,” tegasnya.
Bahkan, ia menyebut ada ulama yang mengatakan bahwa hukuman bagi pemerkosa adalah had bughot yang bisa disalib, dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Terutama jika ia melakukan pemerkosaan dengan ancaman dan kekerasan lain. Endang memberikan contoh para ulama di Aceh yang mengambil hukum untuk para pelaku pemerkosa dengan ta’zir yang bisa jadi sangat berat.
Dari sisi maqasid, dampak dari pemerkosaan itu sangat berat, karena sudah menyerang aspek-aspek dhoruriyat al-khomsah (Lima prinsip maqasid). Pemerkosaan merusak aspek hifz ad-din (menjaga agama) karena melanggar aturan agama.
Ia juga meruak hifz an-nafs (menjaga jiwa) karena pemerkosaan menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis. Pemerkosaan juga merusak hifz an-nasl (menjaga keturunan) karena sangat mungkin korban mengalami kehamilan.
“Para ulama Maliki menyebut bahwa selain pelaku dihukum secara fisik, mereka juga harus membayar denda atau tebusan kepada korban. Sehingga, kita bisa memahami bagaimana para ulama terdahulu sudah berupaya menyikapi hal-hal yang bisa merusak kehormatan dan perlindungan terhadap perempuan,” jelasnya.
Reporter: Yusuf