IBTimes.ID – Darurat perlindungan hak asasi manusia membayangi-bayangi situasi transformasi digital yang semakin cepat di Indonesia. WeAreSocial mencatat 73 persen populasi Indonesia sudah menjadi warganet di tahun 2022 atau sekitar 204,7 juta jiwa dari total populasi 277,7 juta orang.
Transformasi masyarakat dari analog ke digital memberikan banyak perubahan dan kerentanan di berbagai aspek kehidupan sipil. Terjadi peningkatan signifikan berkat digitalisasi di sektor ekonomi. Populisme yang menggunakan propaganda komputasi di periode elektoral, doxing terhadap aktivis atas sorotan kritis mengenai kinerja pemerintah, propaganda digital untuk menggalang demontrasi, ketimpangan akses teknologi, dan evolusi kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah beberapa tren yang terjadi di Indonesia yang menjadi alarm bersama.
Tren sosial-politik di Indonesia belakangan ini juga menampilkan fenomena-fenomena yang mengkhawatirkan. Freedom House melaporkan kondisi indeks demokrasi Indonesia yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. INFID turut mencemaskan perkembangan situasi demokrasi di Indonesia saat ini.
Pertemuan antar pihak penting untuk mendiskusikan dan menyelaraskan peluang dan resiko di tengah iklim demokrasi Indonesia. Pra-Konferensi “Eskalasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dampak dari Digitalisasi?” adalah salah satu rangkaian diskusi menuju Konferensi SDGs & Sidang Umum Anggota INFID pada 19-20 Juli mendatang.
Empat pembicara dengan empat sorotan berbeda hadir dalam forum ini. Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif ELSAM, menyoal kondisi digital di Indonesia yang rentan terbelit kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) dan kesenjangan digital.
“Indonesia memang telah mengalami percepatan digital sejak pandemi melanda. Tetapi kita masih memiliki masalah di sana-sini. Sebagian besar perusahaan teknologi yang bermain bermarkas di Barat. Ketimpangan kepemilikan dan arus data jelas ada. Tapi kita tidak bisa serta-merta melokalisasi jagat digital dengan yurisdiksi lokal karena lintas-batas (trans-border) adalah karakter dasar digitalisasi. Tapi di lain pihak juga kita belum ada kerangka etis ataupun regulasi yang cukup kuat untuk mengaturnya ataupun untuk melindungi masyarakat kita,” kata Wahyudi.
Lebih jauh, Wahyudi menerangkan, data perilaku dan data biometrik warga direkam dan diolah perusahaan teknologi, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk keperluan prediksi aneka kepentingan, dari mulai pemasaran, kampanye, hingga propaganda politik.
Dalam pandangannya, semakin lebar kesenjangan, semakin tinggi jumlah warga yang tereksklusi dari kegiatan sosial, ekonomi dan sipil yang kini semakin terdigitalisasi. Wahyudi melihat bahwa digitalisasi membuka pengertian dan bentuk-bentuk baru HAM yang perlu dilindungi dari ancaman otoritarianisme digital, penyalahgunaan data, dan desain tata kelola digital yang tidak human-centrist.
Selain agitasi dalam kebebasan berpendapat, transformasi digital juga membuka celah ketimpangan yang besar apabila tidak disertai dengan pembangunan infrastruktur dan regulasi digital yang mumpuni. Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF, menjabarkan data ketimpangan yang terjadi Indonesia di era transformasi digital, di mana 21 provinsi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata nasional dalam hal penggunaan internet.
“Wilayah timur Indonesia cenderung tertinggal dalam aspek aksesibilitas internet. Pedesaan juga cenderung lebih tertinggal dari perkotaan dengan gap yang cukup besar sekitar 20%. Aksesibilitas perempuan dan laki-laki juga masih lebih tinggi laki-laki di seluruh Indonesia”, terang Tauhid.
Tauhid menambahkan, masalah ketimpangan literasi digital juga menimbulkan kerugian masyarakat mencapai Rp 117,4 T pada periode 2011-2021 akibat aktivitas ilegal, seperti pinjaman online. Hal ini belum ditambah oleh persoalan mengenai kesenjangan kecakapan digital yang di berbagai daerah.
Semakin kegiatan sosial-ekonomi bermigrasi ke dunia digital, semakin tinggi disparitas ekonomi dan kecakapan yang dialami warga di daerah. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat tidak berjalan baik tanpa peningkatan infrastruktur teknologi yang merata.
Pelanggaran HAM tidak hanya terjadi di ranah politik dan ekonomi, melainkan juga privasi dan tubuh. Selama masa pandemi, kemajuan digital menciptakan ancaman terhadap HAM bagi perempuan melalui peningkatan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Data SAFENet mengungkapkan dari 677 total aduan kasus KBGO di 2021, sebanyak 508 adalah kasus penyebaran konten intim non-konsensual.
“Kekhawatiran terbesar adalah apabila hal ini tidak ditangani, maka ini menjadi kekerasan berjamak dan menjadi new normal penggunaan internet di era pandemi”, kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFENet.
Persoalan KBGO idealnya harus dikelola dengan regulasi yang memadai. Andi Yetriyani, Ketua Komnas Perempuan mengatakan terobosan yang hadir dalam UU TPKS yang harapannya dapat diserap dalam RKUHP, Revisi UU ITE maupun RUU Perlindungan Data Pribadi. Andi melihat bahwa, harapannya hal itu menjadi basis perlindungan baru bagi korban dan saksi.
“Sambil menunggu RKHUP, revisi UU ITE dan RUU perlindungan data pribadi, mari kita tingkatkan pengetahuan mengenai literasi digital, kita kawal penanganan pengimplementasian UU TPKS dan mari kita tata ulang dan mulai memikirkan agar tata kelola digital bisa lebih banyak diakses oleh masyarakat,” ujarnya.
Berdasarkan diskusi ini, maka ada beberapa hal penting yang dapat mencegah pelanggaran HAM di era digital. Pertama, penguatan partisipasi dan komitmen multi-pihak pada transparansi dan demokratisasi data. Kedua, membentuk kerangka regulasi data dan digital yang berorientasi kemanusiaan, bukan profit ataupun kekuasaan politik.
Ketiga, meningkatkan pendidikan soal privasi dan wawasan keadilan gender di ranah digital. Keempat, menyediakan kerangka aturan untuk pengawasan etika ataupun batasan kampanye politik berbasis data.
Reporter: Rizka/Yusuf