Falsafah

Etika ‘Transenden’ Anti Korupsi, Seperti apa Itu?

5 Mins read

Etika Islam

Ketika berbicara pengentasan permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya korupsi. Dengan mudah dimulai dari lingkup terkecil yaitu diri kita, sebagai manusia. Bahwa setiap manusia, pasti memiliki sebuah keyakinan –atau agama.

Hampir tidak ada manusia yang tidak memiliki keyakinan. Bahkan seseorang yang tidak mempercayai apapun di dunia ini, dia meyakini konsep nihilis.  Dengan keyakinan itulah manusia bekerja –dalam arti luas.

Keyakinan menghasilkan banyak turunan. Dari situlah muncul harapan, suatu cita-cita yang digambarkan tentang keindahan, atau bahkan kehancuran. Dari keyakinan itu pulalah, menghasilkan cara berperilaku.

Misal, meyakini bahwasannya dosen merupakan seorang yang harus dihormati, konsep dihormati tertanam dari kecil –mungkin hasil dokrtinasi- dari gambaran seorang guru. Lalu menghasilkan keyakinan.

Perilaku itulah menghasilkan pengelompokan baik dan buruk dari sebuah keyakinan. Misal, dosen harus kita hormati bersifat baik dan sebaliknya, tidak menghormati dosen berarti tidak baik. Itulah yang dinamakan dengan moral.

Dan yang mempelajari praktik moral –perilaku baik dan buruk- tersebut secara teori ialah etika. Haidar Bagir dalam kata pengantar Filsafat Etika Islam (2020) mengatakan bahwa, etika berfungsi sebagai teori atau padanan dari perbuatan baik dan buruk. Sedangkan moral adalah praktiknya. Dalam bahasa Islamnya ialah akhlak atau perilaku manusia.

Konsep Baik-Buruk dalam Etika

Dalam kajian Islam, atau bahkan semua agama yang meyakini adanya Tuhan sang pencipta. Memiliki keterhubungan yang bersifat vertikal antara manusia dan Tuhannya, yang bersifat metafisik –suatu hal yang tidak dapat dijelaskan secara fisik atau terlihat. Dalam bahasa yang sederhana ialah keimanan.

Itulah yang dinamakan transendensi. Di mana, menempatkan nilai-nilai ketuhanan untuk mengarahkan tujuan hidup manusia agar lebih bermakna (Shidarta, 2019). Dari hubungan itulah, kita mendapatkan suatu keyakinan dalam hidup beraktivitas di masyarakat -dalam konsep yang utuh, keterhubungan ini telah dijelaskan oleh Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik (humanusasi, lebrasi, dan transendensi).

Dari hal yang bersifat baik dan buruk itulah kita melaksanakan aktivitas sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat. Dari situ jugalah kita menemukan dan melihat konsep baik dan buruk dari kehidupan.

Baca Juga  Abdullah bin Rawahah: Sahabat Nabi Anti Suap dan Korupsi

Melihat ketidaksesuaian, yang menghasilkan kerusakan atau kemunduran berdampak kepada orang banyak, bisa dikatakan kecurangan. Yang menghasilkan ketimpangan, ketidakadilan bagi salah satu pihak, dan jika berkaitan dengan sumber daya berhubungan dengan kesejahteraan.

Korupsi Sebagai Sebuah Kecurangan

Salah satu kecurangan yang berdampak penurunan dari ketidaksesuaian ialah korupsi. Apa itu Korupsi? Aristoteles, sudah menyebutkan dalam bukunya “De Generatione et Corruptione” yang mengkontekskan sebagai sifat alam yang berubah kualitas secara menurun.

Lalu Lord Acton pada 1887 dalam suratnya kepada Uskup, mengatakan “power tends to corrupt and absolute power corupts absolutely”. Dengan ini dia mengubah sifat korupsi yaitu menghubungkan dengan kekuasaan dan merubah konsep korupsi dari akibat terjadinya penurunan kualitas menjadi sebab kenapa terjadinya penurunan kualitas (Anantawikrama, Sosiologi Korupsi, 2019).

Dari penjelasan pendek itulah, diperlukan sebuah ajuan pertanyaan. Pertama, bagaimana etika yang mempelejari baik dan buruk itu memandang sebuah permasalahan yang dalam hal ini korupsi. Atau lebih dalam, mencari makna baik dan buruk itu sendiri. Kedua, bagaimana korupsi sebagai sebuah permasalahan berdampak kepada masyarakat –dan negara- dari sejarah panjang awal mula kehidupan, termasuk sejarah Islam dan Nabi Muhammad. Ketiga, bagaimana etika ‘transendensi’ menyelesaikan permasalahan korupsi.

Memahami Korupsi

Mula-mula kita perlu mengetahui dulu apa itu korupsi. Berbagai perspektif, mengenai konsep apa itu korupsi dijelaskan panjang lebar oleh Herry Priyono dalam Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi (2018). Dalam arti menurut Oxford English Dictionary yang dibuat kategori nya oleh Arnold Heidenheimer dan Michael Johnston terdapat tiga.

Pertama, secara fisik, kerusakan atau kebusukan segala sesuatu.

Kedua, secara moral, penyelewangan atau penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban melalui suap dan hadiah, keberadaan praktik curang dalam negara atau badan usaha publik, proses menjadi busuk secara moral, dan kemerosoan atau kebusukan moral.

Ketiga, penjungkirbalikan segala sesuatu dari kondisi asali kemurnian misalnya penyelewenengan lembaga; situasi penjurkirbalikan.

Secara normatif, dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi. Secara garis besar dibagi menjadi tujuh. Pertama, perbuatan yang merugikan negara. Kedua, suap. Ketiga, gratifikasi. Keempat, penggelapan dalam jabatan. Kelima, pemerasan. Keenam, perbuatan curang. Ketujuh, benturan kepentingan dalam pengadaan.

Baca Juga  Liberalisme sebagai Jalan Kemenangan Umat Islam

Jika, melihat kasus banyak sekali yang menjadi contoh. Terbaru, kasus dugaan korupsi Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan. Di mana, polanya ialah konflik kepentingan pengadaan infrastruktur dengan menggunakan suap untuk memenangkan tender infrastruktur.

Jika ditarik lebih lama lagi pada era Nabi Muhammad, terdapat beberapa kasus. Istilah korupsi pada era itu, dinamakan ghulul (penggelapan); suht atau risywah (penyuapan), dan pemberian tidak sah kepada para pejabat (hadaya al-ummal)

Etika Anti Korupsi Muhammadiyah dan NU

Dalam kajian lengkapnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama membahas ini dalam buku khusus, Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah (2007) oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Jihad NU Melawan Korupsi (2016) oleh Lakpesdam NU. Kedua lembaga ini juga menulis buku yang berjudul Koruptor Itu Kafir, Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

Setelah membaca ringkasannya, saya sendiri menemukan, di antara banyak kasus ialah pola ‘gila’ harta, yang dalam hal ini tercermin dalam perang-perang yang menghasilkan harta rampasan, dan etika pejabat terhadap publik, yang dalam hal banyak dicontohkan pengelola zakat yang bermasalah.

Di sinilah peran Nabi Muhammad, menjadi sosok yang memiliki etika profetik atau etika kenabian -jika meminjam istilah Kuntowijoyo. Yaitu dengan menyampaikan wahyu dan bertanggung jawab atas kondisi sosial umatnya pada saat itu.

Etika ‘Transenden’ Anti Korupsi      

Lalu pertanyaan besarnya, bagaimana menghapus semua itu –masalah korupsi. Yang memang sudah ada bahkan sebelum Agama Islam yang dibawa Muhammad lahir. Yang berhubungan dengan harta atau sumber daya dan kekuasaan atau kewenangan. Sejujurnya saya sendiri bingung, bagaimana merumuskan hal besar itu, tentu dengan perbaikan sistem.

Tetapi ada satu hal yang menjadi pintu masuk. Ialah bagaimana membangun etika anti-korupsi di semua lapisan masyarakat, dari bawah hingga atas. Etika itu bisa bersandar kepada hal apapun, misal huminisme, membangun etika melalui cara pandang melihat manusia lain yang dirugikan oleh korupsi.

Baca Juga  Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

Atau etika transenden. Bagaimana membangun hubungan dengan Tuhan, untuk memperbaiki keadaan, dimulai dari sekitar kita. Etika itu tumbuh secara murni, dari hati. Jika meminjam Socrates, etika yang fitri, di mana hal tersebut sesungguhnya telah ada pada sifat pembawaan manusia tentang konsep yang ideal (Haidar dalam Amin Abdullah, 2019).

Dari etika atau hal yang mempelajari baik dan buruk, lalu dipraktikkan menjadi moral. Menuju kepada perbaikan sistem atau struktur di masyarakat yang bersifat horizontal dengan sesama manusia, di segala lini kehidupan. Hal tersebut, seperti tanggung jawab sosial terhadap sistem ‘yang buruk’ di lingkungan sekitar, di mana pun.   

***

Pertanyaan selanjutnya bagaimana memutus dan merubah sistem ‘dari dalam’ sebagai subjek yang memegang etika ‘transenden’ anti-korupsi. Dalam konsep ‘ada’, menurut Aristoteles, menggambarkan bentuk perubahan dengan analogi membuat patung. Konsep tersebut dapat diterapkan manusia sebagai aktor atau subjek dalam perubahan menjadi ‘ada’.

Di mana patung dapat diubah jika ada pemahat (aktor), batu (objek bahan materi dasar), gambaran dia tentang patung yang dibuat (idea tentang perubahan bentuk objek batu menjadi patung), dan terakhir ada praksis nya atau proses memahatnya. Dengan itu, menempatkan akan adanya aktor, objeknya, gambaran bentuk yang diinginkan (Setyo Wibowo, Sejarah Filsafat Yunani Kuno, 2016).

Ketika seseorang memiliki objek sebuah sistem atau struktur, misal dalam organisasi yang bermasalah –bersifat koruptif- sebagai objek perubahan.

Lalu dia mempunyai gambaran mengenai bentuk ideal, misal sebuah organisasi yang baik -organisasi yang tersusun rapih dengan tidak ada unsur koruptif di dalamnya bertujuan memperbaiki masyarakat. Lalu dia melakukan sesuatu perwujudan dari gambaran ideal terhadap objek.

Hal tersebut tentu dibungkus dengan etika ‘transenden’ semangat vertikal Ketuhanan, yang meminta perbaikan atas tanggung jawab kita di dunia.

Agar terdapat nilai metafisik yang tidak dapat dikonkritkan secara bentuk. Tentu bertujuan untuk padanan moral. Ketika itu dilepas, bukan tidak mungkin ilmu pengetahuan ‘tentang korupsi’ malah dipakai sebaliknya.

Editor: Yahya FR

6 posts

About author
RPK Cabang Malang Raya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds