Apakah masyarakat kita semakin ‘baik hatinya’ karena jumlah sumbangan yang dapat terkumpul oleh organisasi filantropi Islam semakin meningkat dari tahun-ketahun. Dalam konteks hubungan negara dan masyarakat sipil, tentu yang dapat kita eksplorasi bukan sekedar bahwa masyarakat semakin dermawan atau tidak, akan tetapi bagaimana kedermawanan itu ditopang oleh satu perspektif tentang keberadaan negara dalam menjalankan tugas-tugasnya. Amelia Fauzia, seorang peneliti filantropi berpendapat bahwa semakin negara kuat dalam menjalankan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan, maka peran masyarakat sipil semakin lemah; dan semakin negara lemah, maka peran masyarakat sipil semakin kuat (Fauzia 2012).
Meskipun saya tidak sepenuhnya sependapat dengan argumen di atas, karena dalam banyak kasus, gerakan filantropi berbasis masyarakat sipil juga menguat di negara-negara yang maju dan kuat, dalam berbagai konteks, argumen di atas memiliki relevansi dengan argumen yang ingin saya bangun tentang filantropi Islam sebagai kritik atau satu bentuk protes. Pasalnya, filantropi kerap berada dalam konteks relasi kuasa: antara pemegang otoritas (negara) dan masyarakat sipil. Di tingkat domestik, berbagai peristiwa menunjukkan bahwa gerakan filantropi, misalnya dalam bentuk crowdfund, kerap merefleksikan satu bentuk protes atau dukungan terhadap orang atau kelompok ‘tuna kuasa’ dengan kelompok atau orang yang memiliki kekuatan.
Kritik terhadap ketidakadilan global menjadi satu narasi lain yang kini bisa dilihat dari gerakan filantropi Islam. Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia Muslim telah menyebabkan penderitaan dan krisis kemanusiaan berkepanjangan. Sensitivitas dan solidaritas masyarakat menjadi dasar dari semakin meluasnya arena dan lingkup kerja lembaga filantropi Islam. Irak, Syria, Palestina, dan Yaman adalah beberapa negara Muslim yang terdampak bencana akibat konflik dan perang. Negara-negara lain yang tidak dilanda konflik dan krisis memiliki kerap memiliki keterbatasan dalam memberikan bantuan terhadap krisis kemanusiaan internasional, tidak hanya terbatas secara finansial tetapi juga karena berbagai pertimbangan politik.
Di beberapa negara Arab, seperti Palestina, Lebanon, dan Mesir terdapat gerakan organisasi sosial-politik Islam dengan tradisi filantropi yang kuat seperti HAMAS (Harakat al-Muqawima al-Islamiyyah) di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hizbullah di Lebanon adalah organisasi-organisasi yang dikenal dengan ribuan amal usaha di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Oleh karena itu, ketika riset-riset dilakukan untuk mengkaji berbagai lembaga pendidikan, sosial dan kesehatan yang berbasis keagamaan di negara-negara tersebut, maka sangat mungkin untuk menemukan dengan mudah lembaga kesehatan dan pendidikan yang berada di bawah gerakan sosial Islam seperti HAMAS, Ikhwanul Muslimin dan Hizbullah, semudah orang menemukan sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Indonesia. Yang berbeda dari apa yang terjadi di Indonesia adalah situasi politiknya yang sangat memungkinkan organisasi masyarakat sipil bertransformasi menjadi gerakan politik dan perlawanan. Gerakan filantropi Islam menjadi bagian dari resistance organziations” (Flanigan & Abdel-Samad) dan contentious collective action (Robinson 2004). Karena faktor politik pula dan dalam situasi yang kompleks gerakan filantropi dan sosial di berbagai negara di Timur Tengah kemudian mengalami pergeseran—meminjam istilah Sara Roy (2011) dari civic empowerment menjadi civic regression, karena adanya unsur kekerasan dan senjata dalam memobilisasi massa untuk perlawanan yang mereka lakukan.
Resepsi dan persepsi pemerintah dan dunia internasional terhadap gerakan filantropi Islam di Indonesia sebagai negara Muslim mulai mengalami banyak pergeseran. Organisasi filantropi Islam yang terus tumbuh dan berkembang tidak lagi ditempatkan sebagai organisasi yang harus selalu dicurigai dan dipandang sebagai ‘musuh’, melainkan juga sebagai mitra strategis pembangunan. Di luar berbagai kritik dan sikap kehati-hatian terhadap gerakan filantropi Islam, fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini justru menunjukkan bahwa organisasi filantropi Islam kerap terlibat dan dilibatkan oleh negara dalam berbagai misi sosial dan kemanusiaan di berbagai peristiwa. Masalah krisis di Timur Tengah dan beberapa negara lain, telah mendorong lembaga filantropi Islam yang mendapatkan dukungan dari negara untuk berpartisipasi untuk dalam menjalankan misi kemanusiaan seperti di Palestina, Yaman, Syria, Thailand Selatan, Myanmar, Filipina dan lain-lain.
Perubahan juga telah mewarnai karakter lembaga filantropi Islam di Indonesia yang melihat pembangunan sebagai satu tujuan mereka. Interpretasi keagamaan telah diberikan secara kontekstual dan diselaraskan dengan narasi kesejahteraan yang berkembang di dunia internasional. Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain berkomitmen untuk mendukung dan mencapai tujuan pembangunan millenium (Millenium Deveopment Goals) yang dirumuskan oleh United Nations Development Program (UNDP). Dalam beberapa laporan yang diterbitkan oleh BAPPENAS, hanya satu atau dua kali saja zakat dan peran organisasi filantropi disebut-sebut. Artinya, organisasi filantropi, termasuk yang berbasis keagamaan, masih merupakan ‘isu pinggiran’ yang dianggap belum dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan. Namun di sisi lain, tujuan pembangunan millenium yang selesai pada tahun 2015, belum menunjukkan kemajuan yang terlalu menggembirakan. Program pembangunan ini kemudian dilanjutkan dengan dengan dideklarasikannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) 2015-2030.
Dalam mendukung dan mengakselerasi pencapaian SDGs pemerintah dan UNDP mulai melirik lembaga filantropi Islam. Pada bulan April 2017, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara lembaga filantropi Islam yang diwakili oleh BAZNAS dengan UNDP dalam rangka mengurangi masalah kemiskinan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan di Indonesia. Tentu upaya UNDP sebagai lembaga internasional yang menjadi representasi Persyarikatan Bangsa-Bangsa dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Transformasi lembaga filantropi Islam di Indonesia dan peran yang mereka mainkan untuk mengisi ‘ruang kosong’ dalam program pembangunan di berbagai bidang seperti pengentasan kemiskinan, penyediaan sarana pendidikan, layanan kesehatan, kelestarian lingkungan, ketahanan pangan, penanggulangan bencana alam dan sebagainya menjadi alasan mengapa UNDP dan BAPPENAS menggandeng lembaga filantropi Islam sebagai mitra mereka. Diluncurkannya naskah Zakat on SDGs oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan pengarusutamaan SDGs menjadi faktor penting untuk mengikat lembaga filantropi Islam dalam mempercepat pembangunan. Lembaga Amil Zakat Nasional sudah semakin akrab dengan pencapaian SDGs. Di belahan dunia lain, the International Council of Voluntary Agencies (ICVA) sedang merumuskan “Islamic Social Financing” untuk “Islamic humanitarian financing”, untuk merespons berbagai keterbatasan dalam mendanai kegiatan kemanusian di berbagai belahan dunia. Begitu pula dengan Harvard Medical School, Dubai Global Health Delivery, yang membuat policy paper tentang Muslim Philanthropy and Sustainable Healthcare Delivery (2016), untuk mengefektifkan peran filantropis Islam dalam menanggulangi penyakit-penyakit menular dan tidak menular di berbagai negara. Hal ini menunjukkan bahwa filantropi Islam sudah menjadi salah satu alternatif pendanaan global untuk kegiatan kemanusiaan.
Ada banyak kelemahan dari aktivis Muslim dalam merumuskan secara konseptual kritik mereka terhadap pembangunan dan persoalan-persoalan ketidakadilan global. Hanya segelintir orang yang mampu memformulasikan gagasan mereka untuk menghadapi berbagai persoalan yang ada di sekitarnya. Dalam konteks global, belum banyak intelektual Muslim yang secara persisten mencermati dan menyuarakan suara mereka terhadap persoalan-persoalan geopolitik internasional yang dapat didengar oleh dunia, termasuk dunia Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian kepedulian itu diekspresikan dalam bentuk gerakan-gerakan yang lebih praktis dan pragmatis, yaitu dengan menyumbangkan tenaga dalam bentuk partisipasi dalam gerakan filantropi dan solidaritas.
Dalam pandangan dan penilaian saya, boleh jadi kemampuan kelas menengah Muslim—sebagai kelompok utama yang menopang gerakan filantropi Islam—dalam mengkombinasikan, merefleksikan dan mengkontekstualisasikan etika Islam dalam bentuk filantropisme dengan tata kelola yang semakin baik dan terukur telah menjadikan gerakan filantropi Islam bukan saja berperan sebagai entitas yang dalam banyak hal dapat berperan serta mengisi agenda pembangunan yang belum diisi pemerintah, melainkan menjadi satu kritik terhadap pemerintah yang masih belum dapat mewujudkan keadilan sosial secara merata. Lebih dari itu, saya juga ingin menekankan bahwa gerakan filantropi Islam yang secara persisten berkembang saat ini, juga tidak lepas dari kemampuan kelas menengah Muslim Indonesia untuk menjaga dan memodifikasi nilai kapitalisme dan sosialisme sekaligus dalam bingkai keagamaan.
Bagian Pertama: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-1-pendahuluan/
Bagian Kedua: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-2-etika-islam-dimensi-ekonomi-dan-semangat-filantropisme/
Bagian Ketiga: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-3-filantropi-sebagai-kritik/
Editor: Soleh

