Tepat di awal Bulan April 2020 Presiden Indonesia, Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Ia mengatur pembatasan sosial berskala besar sebagai respons terhadap COVID-19. Mulai dari Ibu kota Indonesia yaitu Jakarta lalu diikuti berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini tentu sangat berdampak secara social, ekonomi, dan pendidikan. Para pekerja maupun pelajar mulai melakukan aktivitas kesehariannya dari rumah. Ada juga sebagian pekerja bahkan harus putus hubungan kerja, termasuk mereka yang bergelut di dunia pendidikan.
Pertemuan yang biasanya dilakukan secara langsung kemudian beralih pada pertemuan virtual termasuk pembelajaran di dunia pendidikan dengan melirik dan mencoba berbagai aplikasi pertemuan online secara virtual seperti Zoom, Google Meet, Microsof Teams dan aplikasi konferensi lainnya. Adaptasi baru hingga memunculkan perilaku baru, khususnya dalam dunia pendidikan melalui proses belajar dan mengajar virtual pun mulai terlihat.
Seiring perjalan waktu, aturan baru pun dibuat dalam rangka mengevaluasi adaptasi baru yang memunculkan perilaku baru dalam setiap pertemuan virtual sebagai upaya membentuk etika baru.
Pertemuan Virtual dan Pertemuan Langsung
Pertemuan secara virtual merupakan alternatif menghindari pertemuan langsung agar tidak terjadi kontak fisik demi menjaga dan memutus rantai penyebaran virus corona. Pertemuan secara langsung maupun secara virtual sebenarnya esensinya sama, yaitu adanya interaksi dan komunikasi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Perbedaannya hanya ada pada ruang dan waktu. Pertemuan langsung memudahkan kita mengamati dan memahami keadaan atau kondisi setiap perilaku peserta didik dalam pertemuan dibandingkan pertemuan virtual yang dibatasi oleh ukuran layar yang sempit.
Pertemuan virtual adalah adaptasi yang memunculkan perilaku baru di luar kebiasaan saat bertemu langsung. Hal ini kadang menjadi dilema bagi sebagian kita untuk mengevaluasi atau memaklumi perilaku tersebut. Ada sebuah adagium yang biasa digunakan dalam kajian Islam seperti al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Kaidah ini sesungguhnya menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi dan upaya inovasi kita melihat perubahan yang terjadi saat ini.
Etika Rasulullah SAW dalam Pertemuan
Rasulullah SAW adalah sebaik-baik guru dalam membina umatnya, sebaik-baik ayah bagi anak-anaknya, sebaik-baik suami bagi para istrinya, sebaik-baik kakek bagi cucu-cunya, dan sebaik-baik sahabat bagi para sahabatnya. Semua itu kita mengamininya berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia.” (QS Al-Qalam:4). Maka ada tiga etika penting yang bisa kita dapatkan dari Rasulullah SAW saat kita berintekasi dalam sebuah pertemuan secara langsung maupun secara virtual.
Pertama, mengucapkan salam terlebih dahulu. Sama halnya saat kita bertemu secara langsung dalam sebuah pertemuan kita dianjurkan untuk terlebih dahulu mengucapkan salam dan bersalaman, sebagaimana Rasullullah bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian tiba di suatu majelis, hendaklah memberikan salam, dan bila akan meninggalkan majelis, bukankah yang pertama itu lebih baik dari yang kedua.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Kedua, mengucapkan hal yang baik. Biasanya saat kita berada dalam suatu majelis secara langsung, kita sangat berhati-hati saat berbicara. Karena ada orang lain di sekitar kita sebagai kontrol sosial yang mengawasi setiap tindak dan ucapan kita. Berbeda saat kita sendiri di depan layar. Mungkin kita sedang merasa tidak diawasi sehingga celetukan dan candaan kita lepas begitu saja tanpa dipikir sebelumnya. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari).
Ketiga, mengaktifkan video. Tidak jarang dalam majelis virtual seringkali kita dapatkan peserta atau bahkan kita sendiri dalam mengikuti majelis menonaktifkan video dengan berbagai alasan. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal tersebut, namun alangkah lebih mulianya sebagaimana saat kita bertemu langsung kita menatap wajah lawan bicara kita. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW saat mempunyai sebuah cincin dan memakainya, lalu beliau bersabda “Cincin ini telah menyibukkanku dari (memperhatikan) kalian sejak hari ini (aku memakainya), sesaat aku memandangnya dan sesaat aku melihat kalian”. Kemudian beliaupun melempar cincin tersebut. (HR An Nasa’i)
***
Keempat, Menonaktifkan mikrofon saat tidak diperlukan. Hal ini seringkali terjadi saat berada dalam pertemuan virtual, lupa ataupun tak sengaja. Tak jarang narasumber atau pendengar merasa terganggu oleh suara yang keluar dari peserta lain berupa bunyi di sekitar, obrolan diluar pembahasan atau bahkan gunjingan tentang peserta, materi dan narasumber. Sehingga seringkali peserta menghabiskan waktu berulangkali hanya untuk mengingatkan peserta lain menonaktifkan mikrofon saat pertemuan virtual.
Sebanding dengan memotong pembicaraan yang membuat konsentrasi terganggu, menyinggung dan mempermalukan diri kita sendiri. Rasulullah pernah bersabda “Jika engkau mengatakan ‘diamlah’ kepada orang-orang ketika mereka sedang berbicara, sungguh engkau mencela dirimu sendiri. (HR. Ahmad)
Kelima, saling menghormati.Keadaan lingkungan dan kondisi psikologis pertemuan langsung dapat kita terima tanpa halangan, berbeda dengan pertemuan virtual yang kadang tidak tertangkap oleh kita secara psikologis. Menumbuhkan rasa saling memahami, menghormati, dan menghargai diperlukan dalam pertemuan virtual.
Menghormati dengan mendengarkan, menghargai, dan menghindari debat kusir tanpa arah. Tetapi jika itu diperlukan maka sampaikan dengan cara yang bijak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya orang yang paling Allah benci adalah orang yang suka membantah lagi sengit” (HR. Muslim)
Editor: RF Wuland