Akhlak

Ramadhan yang Menyejarah

4 Mins read

Setiap orang berharap dapat bertemu Ramadhan. Namun tak sedikit yang merasa cemas apakah jatah usia yang diberikan Allah sampai untuk memasukinya. Jika ditoleh, ada saja anggota keluarga, karib kerabat, tetangga maupun para sahabat yang sudah “berpulang” sebelum tibanya Bulan Suci itu.

Berbagai suka cita bergumul menjadi satu dan sering gagal dibendung ketika menyongsong fajar Ramadhan. Atmosfirnya dapat meneduhkan jiwa. Sinarnya menjadi suluh penuntun untuk dekat kepada Allah. Ramadhan menyegarkan kembali elemen spiritualitas sebagai aspek primordial dalam diri seorang hamba.

Nilai Etis

Dari tahun ke tahun Ramadhan ditandai dengan ornamen-ornamen ritual yang sangat simbolik. Berbagai tulisan, ceramah agama, dialog keislaman, festival Ramadhan, buka puasa bersama, bertebaran di berbagai tempat. Namun deretan aktivitas itu sering berhenti di ruang hampa.

Ramadhan tak meninggalkan bekas dan perubahan ke puncak kebajikan. Beragam penyakit sosial, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, pencurian, suap-menyuap, tetap melekat pasca Ramadhan berlalu. Bahkan korupsi dilakukan secara berjamaah dan seperti liga sepak bola, saling menyalip klasemen.

Ironis, pelakunya juga pelaksana puasa Ramadhan itu sendiri. Mentalitas dhu’afa semakin menggurita. Hal ini ditandai dengan sifat merasa lapar. Padahal deretan rumah megah, mobil mewah dan rekening gendut sudah dipunyai tapi masih merasa kurang.

Ramadhan sejatinya ditujukan untuk bermuhasabah diri, merawat dan memperbaiki relasi-relasi kemanusiaan yang cedera. Ini artinya Ramadhan adalah bulan produktifitas menuju proses pemuliaan manusia.

Lingkaran hubungan manusia sering ditebas oleh berbagai ego sosial, seperti sifat ingin menang sendiri. Berbagai sumber kehidupan dikebiri secara personal dan lebih cenderung dikonsentrasikan untuk diri, keluarga dan kelompok tertentu. Boleh jadi, keadaan tersebut akan memicu munculnya kontestasi sosial yang  bersifat kurang sehat.

Baca Juga  Naskah Khutbah Jumat: Islam adalah Agama Keselamatan

Agar Ramadhan tak terperangkap pada ritual yang gersang, maka kejernihan nurani untuk menangkap nilai etisnya menjadi penting. Ini sama pentingnya dengan prosesi puasa itu. Meskipun dilaksanakan setiap tahun dan menjadi rutinitas islami, belum tentu nilai etis dimengerti sebagai aspek penting dari puasa Ramadhan.

Puasa Ramadhan seperti sebujur raga, nilai etis diibaratkan sebagai ruh dari raga tersebut. Raga akan tergeletak seumpama sebujur bangkai jika ruh sirna. Demikian pula puasa Ramadhan tak lebih dari bangkai ritual yang kaku jika nilai etisnya dikesampingkan.

***

Puasa Ramadhan bermuara pada lahirnya al-muttaqun (orang-orang yang bertakwa). Alquran memberikan narasi lengkap siapa sesungguhnya al-muttaqun itu. Secara simplistik, al-muttaqun ditunjukkan dengan kecerdasannya membawa pesan Ramadhan yang cinta damai, humanis dan berkeadaban ke dalam kehidupan nyata.

Al-muttaqun dapat saja lahir dari rakyat jelata yang berkekurangan materi. Namun mereka kaya hati, bersikap mandiri dan secara psikologis merasa cukup. Mereka tak seperti penjual kesusahan yang menyanyikan deritanya kesana-kemari. Al-muttaqun pada tipologi ini enggan teronggok seperti cawan kosong yang menunggu cucuran air dari atasnya. Kemuliaan mereka terletak pada integrasi konkrit antara ikhtiar dan tawakal.

Tak hanya itu, al-muttaqun juga muncul dari ulama, cerdik cendekia, bangsawan, orang-orang kaya, dan para pejabat. Mereka mendarmabaktikan deretan status sosial tersebut untuk gerakan pencerahan. Yaitu sebuah gerakan yang merevitalisasi iman menjadi aktifitas kreatif.  Iman di hati mereka tidak mandul.

Iman bergerak dari hati menuju pembebasan. Di tangan mereka haus dan lapar dihalau sehingga pergi menjauh. Filosofi hidupnya seperti keran, menyimpan air untuk selanjutnya didistribusikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Al-muttaqun pada tipologi ini sadar bahwa kepemilikian ilmu, harta, jabatan dan status sosial sebagai amanah. Karenanya, sebagai pemangku amanah, mereka juga memfungsikannya secara produktif

Baca Juga  Ternyata Hasan Al Banna dan Al Afghani Berdakwah di Kedai Kopi!

Al-muttaqun selalu memancarkan tiga karakter yang bersinergi. Yang pertama adalah keimanan kepada Allah. Iman dalam konteks ini melahirkan rasa dekat kepada Allah. Tak sampai disitu, Allah juga dianggap sebagai Rekan dialog yang membimbing, mengajari dan memonitor setiap aktifitas. Dalam hal ini, jangankan berbuat, tidak terbersit di hati al-muttaqun untuk cenderung pada keburukan.

***

Al-muttaqun tidak pernah merasa sendiri, mereka tetap bersama Allah, sehingga timbul rasa enggan, sungkan dan malu jika berbuat kejahatan. Zikir mereka kepada Allah tidak pernah bersifat teritorial, apalagi tersedu-sedan dengan air mata di depan media. Zikir mereka seperti tarikan nafas, dihirup dan dihembuskan dengan tulus di setiap  keadaan.

Karakteristik kedua dari al-muttaqun adalah pelaksanaan ritual yang tertib. Ritual seperti puasa Ramadhan adalah media untuk menggali berbagai kearifan, diantaranya adalah seperasaan. Ramadhan berujung pada pendekatan diri kepada Allah dan megusung nilai etisnya secara implementatif.

Sebab itu, proses lahiriyah tidak boleh terlalu maju dan menjadi elemen dominan. Banyak orang behenti hanya pada tataran ritual dan gagal paham kearah mana ritual digerakkan. Itulah sebabnya, pelaku sholat,  puasa, haji, dan umroh merasa sudah selesai dan berpuas diri jika sudah menunaikan rangkaian ritual tersebut. Padahal terdapat peran dan fungsi sosial di dalamnya yang tidak boleh dipreteli. Ada tanggungjawab yang jauh lebih signifikan, yaitu implementasinya.

Karakter ketiga dari al-muttaqun adalah rasa peduli kepada sesama. Tak dapat disangkal, Alquran menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek perubahan. Al-muttaqun menempatkan manusia pada status yang sama. Manusia tidak dibedakan oleh kamar-kamar sempit seperti; miskin dan kaya, birokrat dan melarat, bangsawan dan rakyat jelata.

Lapisan-lapisan tersebut bersifat saling melengkapi. Selain lewat ritual, al-muttaqun mendekatkan diri kepada Allah di tengah orang-orang yang dihimpit derita, haus dan lapar. Mereka turun ke lapangan dan memberikan support secara produktif. Tak ada al-muttaqun yang bakhil, self oriented dan menyerobot hak-hak orang lain.

Baca Juga  Diskriminasi dalam Islam

Ramadhan sesungguhnya ruh untuk mengobarkan semangat pemberontakan. Yaitu pemberontakan melawan berbagai karakter destruktif yang selama ini mengelola jiwa. Kebencian, sikap bakhil, merasa unggul, tidak peduli kepada orang lain, telah menjadi serdadu yang membelenggu manusia sebagai tawanan.

Dengannya, manusia sering menjadi serigala bagi manusia lain. Dalam hal ini, Ramadhan laksana deterjen spiritual. Daki-daki dan kotoran tersebut dibersihkan. Ia dapat mengangkat berbagai nafsu terkutuk itu sampai keakar-akarnya. Idealnya, seiring dengan berakhirnya Ramadhan berakhir pula macam dan ragam kotoran itu.

Dunia Baru

Ramadhan adalah perintah langit yang semestinya menyejarah. Karena itu, ia perlu dibawa ke bumi dan didialogkan dengan berbagai keadaan nyata. Sakralitas Ramadhan tetap bernyawa jika semangat yang terkandung di dalamnya terkoneksi dengan perilaku kaum Muslim. Ia juga seharusnya menjadi jangkar ujaran dan perilaku.

Ramadhan tidak boleh tercabut dari akar kenyataan. Keberhasilan puasa Ramadhan ditandai dengan terkuncinya penyakit-penyakit masyarakat dan terkontrolnya syahwat duniawi. Ramadhan merupakan energi spiritual menuju dunia baru bagi pelakunya. Yaitu sebuah dunia nyata yang bersih secara batin dan masyarakatnya hidup dalam lingkaran kasih sayang. Mereka saling mencintai, saling berbagi dan saling menghormati satu sama lain. Semoga bermanfaat.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Muhammad Qorib. Lahir 03 Juni 1975 di Binjai Sumut. SI di FAI UMSU, S2 di UIN Sumut. S3 di UIN Jakarta Konsentrasi Pemikiran Islam. Sekarang sebagai Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan Fakultas Agama Islam UMSU. Anggota LDK PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *