Tak diragukan lagi bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang memainkan peran penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Perserikatan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini dikenal sebagai organisasi yang konsisten memadukan antara ilmu dan amal.
Muhammadiyah: Ilmu yang Baik adalah Ilmu yang Bermanfaat
Bagi Muhammadiyah, ilmu yang baik adalah ilmu yang memberikan kemanfaatan kepada kehidupan. Sebab itu, saat awal merintis Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan begitu getol mewujudkan ilmu yang beliau pelajari dan ajarkan dalam bentuk tindakan nyata. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan secara teori bagaimana beragama dengan baik, tapi langsung memberikan teladan praksisnya.
Beliau juga mengajarkan bahwa beribadah itu luas, tidak hanya i’tikaf dan memutar tasbih di atas sajadah. Sebab semua itu akan percuma jika masih ada tetangga dan anak yatim yang kelaparan di sekitar kita.
Bahkan, Allah menyebut orang yang demikian itu sebagai pendusta agama. Sebab itulah, di samping rajin beribadah secara ritual, KH. Ahmad Dahlan juga dikenal tidak lelah melakukan kerja sosial.
Model dakwah demikian ini membuat masyarakat dapat dengan mudah memahami dan merasakan langsung prinsip cinta (rahmah) dalam Islam, terutama mereka yang termasuk golongan mustadh’afin. Sehingga, tanpa melalui paksaan, masyarakat akan dengan sadar memperbaiki cara beragamanya.
Etos Belajar Muhammadiyah: Menjadi Guru Sekaligus Murid
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (Kompas, 2010), menyebut apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan ini sebagai Etika Welas Asih.
Etika Welas Asih merupakan sebuah prinsip dasar yang menjadi landasan gerak dakwah Muhammadiyah, baik itu dalam pengembangan pengetahuan maupun dalam amaliah usaha.
Pada kesempatan kali ini, kita akan menggarisbawahi dampak etika welas asih ini pada etos pengembangan pengetahuan di tubuh Muhammadiyah.
Masih menurut tulisan Abdul Munir Mulkhan, dalam hal pengembangan pengetahuan, KH. Ahmad Dahlan mengembangkan sebuah etos yang menarik, yaitu “jadilah guru sekaligus murid.”
Melalui kalimat ini, seolah KH. Ahmad Dahlan berpesan tidak hanya kepada warga Muhammadiyah, tapi juga umat Islam secara umum, untuk tidak berhenti belajar. Sebab, belajar memang menjadi kewajiban bagi umat Islam dari lahir hingga akhir hayat.
Membentuk Diskusi Keilmuan yang Kritis dan Dinamis
Dengan bermodal semangat belajar yang tinggi dan tanpa henti, umat Islam akan meraih kemajuan dan tidak tertinggal oleh umat lain.
Sebagaimana kita tahu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini telah sedemikian akseleratifnya, bila tidak memiliki spirit belajar seperti ini, umat Islam akan semakin tenggelam di buritan peradaban.
Kritik tajam mengenai lesunya semangat belajar telah banyak dilakukan para reformis Islam. Mereka mengkritik sikap umat Islam yang cenderung menderita romantisme masa silam.
Kerja dinamis intelektual seperti ijtihad dan tajdid dianggap sudah tidak diperlukan karena khazanah klasik sudah mencukupi untuk dijadikan rujukan.
Akibatnya, umat Islam mengalami kejumudan dalam hal pengembangan pengetahuan. Kritik senada juga dilakukan oleh Muhammadiyah hingga sekarang, sehingga ia dikenal sebagai gerakan ijtihad dan tajdid.
Pesan kedua yang bisa kita petik adalah seruan supaya kita senantiasa ber-tabligh, yaitu mengajarkan ilmu yang kita punya.
Islam mengecam keras siapa saja yang menyembunyikan ilmu dan kebenaran. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda bahwa siapa saja yang ditanya tentang suatu ilmu lalu menyembunyikannya, maka Allah akan mencambuknya dengan api di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam surat Ali Imran: 104 yang juga menjadi landasan gerak KH. Ahmad Dahlan, umat Islam diperintahkan oleh Allah supaya menyeru pada kebajikan dan melaksanakan amar ma’ruf nahiy munkar. Tanpa adanya ilmu, tentu mustahil untuk melaksanakan perintah ini.
Pesan berikutnya yang bisa kita petik adalah umat Islam hendaknya membentuk interaksi belajar yang dinamis di antara sesamanya.
Mereka yang menguasai suatu bidang ilmu, hendaklah mengajarkannya kepada orang lain. Sekaligus pada saat yang sama, tidak segan belajar ilmu yang tidak mereka kuasai kepada orang lain.
Dengan cara demikian, akan berkembang diskusi-diskusi keilmuan yang kritis dan dinamis di kalangan umat Islam.
Dampak Etos Belajar Muhammadiyah
Tampilnya umat Islam sebagai rujukan peradaban dunia di abad pertengahan jelas tidak lepas dari adanya dinamika intelektualisme ini.
Seperti bisa kita baca dalam sejarah, pada masa itu, diskusi-diskusi ilmiah yang kritis banyak dilakukan oleh para cendekiawan di berbagai sudut kota. Membedah karya seseorang dan memberinya kritikan menjadi semacam budaya intelektual umat Islam. Penerjemahan dan diskusi karya cendekiawan non-muslim juga bergeliat.
Terakhir, dari etos belajar ini, kita juga dapat menarik pesan supaya umat Islam senantiasa menjadi murid meskipun telah menjadi guru. Maksudnya, hendaklah kita senantiasa merasa rendah hati dan tawadu, sekalipun gelar akademik telah tersemat mentereng di samping nama kita.
Sebab, buah dari ilmu adalah akhlak. Seperti kata peribahasa, “Jadilah seperti padi. Semakin berisi, semakin merunduk.”
Dampak etos belajar ini dapat kita lihat dari banyaknya cendekiawan yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Kiprah dan kontribusi mereka tidak hanya dirasakan oleh warga Muhammadiyah sendiri, tapi juga umat Islam Indonesia secara umum, dan bahkan dunia.
Bila etos belajar ini secara luas diamalkan oleh umat Islam di Indonesia, bukan tidak mungkin kemajuan peradaban yang kita dambakan akan menjadi kenyataan.
Editor: Zahra