Perspektif

Apakah Masyumi Partai Terlarang?

3 Mins read

Tidak seperti tahun-tahun belakangan, hari lahir Partai Masyumi, yakni tanggal 7-8 November 1945, tahun ini diwarnai ragam pendapat yang cukup panas. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari dibangkitkannya kembali Partai Masyumi oleh segelintir tokoh.

Dibangkitkannya partai ini menuai penentangan, utamanya dari kubu yang menentang dengan dalih Masyumi adalah Partai terlarang era pemerintahan Soekarno. Tak tanggung-tanggung, kubu ini menyamakan Masyumi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena sama-sama dianggap terlarang.

Dalih penentangan atas Masyumi karena terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 Tahun 1960 disertai dengan surat dari Direktur Kabinet No. 2730/TU/60 kepada pimpinan pusat Masyumi.

Pembubaran Masyumi juga dibarengi pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI). Keduanya sama-sama dibubarkan di era Demokrasi Terpimpin, dan sama-sama dituduh terlibat PRRI. Dari Masyumi, tokoh yang terlibat antara lain; Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap. Sementara dari PSI ialah Soemitro Djoohadikoesoemo. 

Awal Pembubaran Masyumi

Ihwal keabsahan pembubaran partai Masyumi sebagaimana disebut di atas dapat dikemukakan dua keberatan. Pertama, Masyumi tidak mendukung apalagi terlibat dalam PRRI, meski beberapa tokohnya terlibat. Masyumi sendiri menyatakan, baik pembentukan kabinet karya (dimana Soekarno menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi formatur kabinet) maupun PRRI sama-sama tidak konstitusional.

Mohamad Roem, selaku wakil ketua III PP Masyumi hasil Muktamar IX menyatakan, Masyumi tidak mau mengutuk anggotanya karena anggota-anggota itu tidak bersalah pada Masyumi. Karena tidak mau mengutuk itulah sebab dibubarkannya Masyumi. PSI, meski menuruti kemauan Soekarno untuk mengutuki dan mengeluarkan anggotanya, nyatanya tetap dibubarkan juga.

Akibat sikap PSI yang demikian, hubungan Soemitro dengan tokoh-tokoh PSI pun pecah, termasuk pula pecah secara personal. Beda halnya dengan Masyumi yang tidak mau mengutuk anggotanya, hubungan mereka tetap terjalin dengan baik meski Masyumi dibubarkan.

Baca Juga  Perempuan itu Wajib Diperhatikan!

Sikap Masyumi yang demikian dipuji oleh Nurcholish Madjid, dalam suratnya kepada Mohamad Roem, Nurcholish mengatakan, “seandainya Masyumi dulu mengutuk rekan-rekannya yang terlibat PRRI, dapat dipastikan tamatlah riwayat Masyumi, baik pada dataran politik praktis maupun dataran etis filosofis, dan musnahlah sisa-sisa terakhir perjuangan menegakkan kultur poltik yang sehat itu dalam skalanya yang besar dan fundamental. Syukur alhamdulillah hal itu tidak terjadi”.

Masyumi Bukan Partai Terlarang

Keberatan yang kedua, ialah berkaitan dengan surat dari Direktur Kabinet No. 2730/TU/60 kepada pimpinan pusat Masyumi. Surat tersebut berbunyi:

“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami untuk menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 200/1960, bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, Pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, Partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘partai terlarang.”

Sementara Masyumi membubarkan diri pada tanggal 13 September 1960, masih sebelum tanggal yang ditetapkan, yaitu 17 Agustus 1960. Untuk itu, Masyumi tidak dapat digolongkan sebagai partai terlarang, dan klaim yang mengatakan demikian jelas keliru dan tidak berdasar. Masyumi, lebih tepat bila disebut sebagai partai yang membubarkan diri atas ancaman Soekarno.

Selain itu, pembubaran Masyumi juga bersifat politis, bukan yuridis. Hal ini tentu erat kaitannya dengan sikap kritis Masyumi atas konsep Demokrasi Terpimpi era Soekarno. Natsir, misalnya, melalui tulisannya di Panji Masyarakat mengatakan:

“Bahwa segala-galanya akan ada di dalam Demokrasi Terpimpin itu, kecuali demokrasi. Segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa. Segala-galanya mungkin pula ada, kecuali kehormatan dan martabat pribadi manusia. Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan satu diktator sewenang-wenang”.

Baca Juga  Pendidikan Kita, Pendidikan yang Membebaskan

Oleh karenanya, pembubaran Masyumi tidak dapat dilepaskan dari kesewenang-wenangan Soekarno. Saat itu, Soekarno turut memenjarakan tanpa proses pengadilan tokoh-tokoh yang tak sepaham antara lain: Prawoto Mangkusasmito, Natsir, Buya Hamka, Anak Agung Gde Agung, Sutan Sjahrir, dan tokoh-tokoh lainnya.

Persahi Mendesak Rehabilitasi Masyumi dan PSI

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 3 Desember 1966, diadakanlah Musyawarah Nasional III Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi). Musyawarah ini diadakan karena sistem Demokrasi Terpimpin dahulu telah mengaburkan pengertian rule of law, dan telah membawa rakyat Indonesia ke dalam kekuasaan diktator.

Musyawarah tersebut mendesak pemerintah agar partai politik Masyumi dan PSI segera direhabilitasi kembali karena pembubarannya yuridis-formil tidak sah dan yuridis-materil tidak beralasan, dan hanya menjadi korban dari rezim Demokrasi Terpimpin.

Selain hal di atas, Soekarno sendiri membenarkan bahwa Masyumi dan PSI sesungguhnya dibubarkan bukan karena terlibat dalam PRRI, melainkan karena tidak sesuai dengan paham politik Soekarno. Hal ini dikemukakan taktala Soekarno diwawancarai oleh Bernard Dahm.

Kala itu, sedang ramai tuntutan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas keterlibatannya dalam Gerakan 30 September (G30 S). Namun, Soekarno tetap bergeming, dan menolak tuntutan pembubaran PKI.

Hal ini membuat Bernard heran, ia lalu menanyakan alasan perihal Soekarno tidak membubarkan PKI, meski tuntutan publik meluas. Soekarno, kemudian menjawab, “Kita tidak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang”.

Bernard kemudian mengatakan, bahwa Anda (Soekarno) telah dapat melakukannya ketika membubarkan Masyumi dan PSI dengan alasan mereka tidak menghukum dan mengutuk anggota-anggotanya yang terlinat dalam PRRI. Soekarno kemudian menjawab:

“Masyumi dan PSI, telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI merupakan pelopor kekuatan-kekuatan revolusi. Kami membutuhkannya bagi pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur”.

Baca Juga  Gegar Buku di Era Klasik Islam

Oleh sebab itu, tuduhan bahwa Masyumi merupakan partai terlarang tidak benar. Masyumi, juga partai dan organisasi lain yang dibubarkan, hanyalah korban dari kesewenang-wenangan Soekarno. Masyarakat seyogyanya memahami dan bersikap bijak, untuk memahami sejarah partai yang dibubarkan seorang diktator.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *