Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah yang disingkat KOKAM, secara historis, sebelumnya merupakan akronim dari “Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah”. Berdasarkan sumber dari Wikipedia.org dan dari berbagai literatur cikal-bakal lahirnya KOKAM adalah sebagai respon kritis atas suasana politik nasional yang semakin memanas, Partai Politik Indonesia (PKI) semakin ofensif menjalankan manuver politiknya, termasuk menyerukan pembubaran ormas Islam (Ferry Yudi, 2019).
Awalnya, KOKAM hanya sebagai bentuk kursus kader yang dibina oleh Letnan Kolonel S. Prodjokusumo dan kawan-kawan. Bertujuan untuk meningkatkan mental dan daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan.
KOKAM adalah bentuk idealisasi dan institusionalisasi dari spirit bela negara dan bela Persyarakitan yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1965 atau 54 (lima puluh empat) tahun yang lalu. Jika meminjam istilah Zakiyuddin Baidhawy (2009:151), KOKAM adalah antitesa dari intellectual exercise. Saya katakan demikian karena berawal dari kursus kader, melembaga sampai memberikan dampak sosial yang luar biasa.
Membaca Peraturan dan Pedoman KOKAM, BPO KOKAM 2018 – 2022 dan termasuk tulisan Iwan Setiawan ̶ Sekretaris BPO KOKAM Nasional ̶ “Trilogi Pelayanan KOKAM “yang terbit pada tanggal 24 Februari 2020 di media online IBTimes, saya memahami bahwa tanpa melupakan pijakan awalnya, KOKAM menyusun paradigma baru. Paradigma baru tersebut merupakan Pijakan Aksi hari ini dan pada masa yang akan datang.
Selain berangkat dari pijakan awal, paradigma baru serta visi, misi dan landasan pengabdiannya (Pasal 6, 7, 8 pada Peraturan dan Pedoman KOKAM), saya menemukan bahwa KOKAM memiliki spirit perjuangan. Spirit perjuangan tersebut memiliki akar historis, ideologis, dan teologis yang kuat dari Muhammadiyah: Etos Welas Asih dan Teologi Al-Ma’un.
Bentuk bela negara dan bela Persyarikatan sebagai pijakan awal dan paradigma baru yang dalam istilah Iwan Setiawan (2020) disebut “Trilogi Pelayanan KOKAM” secara ontologis, eksistensinya tidak akan mampu bertahan dan termasuk secara aksiologis tidak akan mampu memberikan manfaat nyata dalam realitas kehidupan atau hanya sebagai bentuk intellectual exercise tanpa pancaran spirit dari Etos Welas Asih dan Teologi Al-Ma’un.
Dalam konstruksi basis teologis Zakiyuddin Baidhawy (2017: 28-46) sebenarnya Etos Welas Asih bagian daripada Etos Al-Ma’un. Namun saya menilai tidak berlebihan dan tidak fatal jika dalam tulisan ini seakan menarik garis pemisahan meskipun secara diametral saling mendukung dan menguatkan.
Etos Welas Asih mampu menggerakkan Trilogi Pelayanan KOKAM secara massif dan melampaui batas garis demarkasi perbedaan yang ada, bukan karena sebagaimana tesis Yasraf Amir Piliang dalam Dunia Yang Dilipat, hilangnya batas–batas sebagai efek globalisasi. Etos Welas Asih atau dalam pandangan dr Soetomo menyebutnya etika cinta kasih sejajar atau merupakan spritualitas ihsan Kiai Dahlan. Dan ihsan “cinta” ini wujud dari ihsan di era kosmopolitan sebagai bentuk lanjutan dan kontekstualisasi spritualitas ihsan masa kenabian yang hanya menekankan “ihsan individu” (Zakiyuddin Baidhawy & Azaki Khoiruddin, 2017: 19).
Masih dalam pandangan Zakiyuddin dan Azaki, Etos Welas Asih Kiai Dahlan adalah “pandangan bahwa kebenaran dan kebaikan Islam terletak pada kegunaan dan manfaat bagi semua orang melampaui batas batas agama dan bangsa, asas cinta kasih merupakan dasar bagi gerakan kemanusiaan universal dan pembangunan peradaban Muhammadiyah”. Dr Soetomo bahkan menilai bahwa Etos Welas Asih merupakan kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual.
Trilogi Pelayanan KOKAM: kemanusiaan, kebencanaan, dan ekologi merupakan bentuk peletakan nilai–nilai kebenaran dan kebaikan Islam pada asas kegunaan dan manfaat. Sebagai bentuk nyata bahwa kekuatan kolaborasi, rasa empati atau wujud kepedulian sebagai antitesa kekuatan individual sebagaimana spirit teori Darwinisme. Jika meminjam teori pengembangan diri Arvan Pradiansyah (2010:248) dalam hubungan interpersonal yang bisa dinilai sebagai instrumen sosial dan psikologi Trilogi Pelayanan KOKAM bukan spirit “Menang–Menang”/ Win–Win yang dikedepankan, tetapi pada tataran spiritual membutuhkan yang namanya “Cinta”. Baik cinta atau sebutan lain Etos Welas Asih mampu melahirkan kebahagiaan, kemenangan sejati dan bahkan sebagaimana dalam Mars KOKAM mampu melahirkan “kekuatan sejati” dalam hati sekaligus sebagai nurani.
KOKAM dengan aspek bela negara maupun bela Persyarikatan termasuk dengan trilogi pelayanannya yang meliputi tiga dimensi: kemanusiaan, kebencanaan, dan ekologi merupakan “DNA” pemahaman dan kesadaran KOKAM yang dalam perspektif memetika lahir dari Muhammadiyah dan Kia Dahlan sebagai peletak dasar logika Teologi Al-Ma’un. Dalam teologi dan logika Al-Ma’un mengidentikkan dimensi religius dan dimensi sosial ̶ yaitu, kesalehan agama tidak substansial jika tidak dibarengi dengan kepedulian sosial. Bagi Al-Ma’un kepedulian sosial merupakan kriteria bagi kesalehan agama (Zakiyuddin & Azaki, 2017: 61).
Ahmad Norma Permata, dalam Zakiyuddin & Azaki (2017), “teologi al-Ma’un mengajarkan bahwa kepedulian sosial merupakan komponen sekaligus kriteria dari kesalehan spiritual. “Dalam perspektif teologi al-Ma’un evaluasi moral terhadap ketimpangan sosial”.
Mengimplementasikan Trilogi Pelayanan KOKAM: kemanusiaan, kebencanaan, dan ekologi secara massif dengan mengedepan landasan pengabdiannya, jika meminjam perspektif Robby Karman (2020) itu adalah bentuk “Menjawab Keraguan Malaikat”. Malaikat sebagaimana bisa dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 30, menyampaikan keraguannya ketika Allah berfirman akan menciptakan manusia di muka bumi. Malaikat ragu karena baginya manusia hanya “…membuat kerusakan dan menumpahkan darah…”
Trilogi Pelayanan KOKAM sungguh adalah pilihan yang tepat dalam konteks kehidupan kontemporer sekarang ini. Bahkan ini bisa dinilai sebagai bentuk idealisasi dan institusionalisasi dari upaya “Menunda Kiamat, Kiamat Ekosistem” dalam perspektif David Efendi (2020).
KOKAM sebagaimana pijakan awalnya sebagai bentuk bela negara dan bela Persyarikatan, idealnya perlu melahirkan rumusan paradigma baru selain trilogi pelayanan. KOKAM bukan hanya menjawab keraguan Malaikat dan Menunda Kiamat, dalam dimensi kemanusiaan, kebencanaan, dan ekologi. KOKAM perlu memformulasi, melakukan transformasi perjuangan “bela negara” dalam konteks yang relevan dengan kondisi kehidupan sosial politik kebangsaan kita hari ini.
KOKAM harus memiliki rumusan paradigma baru bagaimana memperkuat nalar kebangsaan. Meskipun dalam pandangan Muhammadiyah, narasi dan relasi antara agama, negara dan pancasila sudah final, tetapi kita menemukan fenomena massif hari ini. Masih ada upaya untuk menggerogoti bangunan dan relasi tersebut.
Ada upaya membenturkan secara tajam. Ada klaim dalam perspektif hitam putih, Pancasilais dan tidak Pancasilais. Belum lagi sebagaimana beberapa kekhawatiran para pengamat yang terkesan ada upaya membangun otoritas pemilik tunggal tafsir Pancasila. Ini termasuk dinilai berbahaya dan juga merupakan bentuk ekstrimisme.
KOKAM meskipun hanya bagian dari Pemuda Muhammadiyah, namun tentunya penting memikirkan dan merumuskan paradigma baru tersebut. Sebelum lahir Trilogi Pelayanan KOKAM, pijakan awalnya setting historis yang mengiringinya pada aspek bela negara dan bela Persyarikatan.
Editor: Arif