Tarikh

Jejak-jejak Khulafaurrasyidin (5): Kepemimpinan dan Pemikiran Ali bin Abi Thalib

5 Mins read

Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muthalib bin Hisyam adalah saudara sepupu Nabi Muhammad SAW. Ayah Nabi SAW (Abdullah) adalah saudara Abu Thalib, ayah Ali. Muhammad SAW dan Ali pernah dalam satu asuhan oleh Abu Thalib. Ali adalah salah satu di antara anak-anak Abu Thalib, sedangkan Muhammad SAW adalah keponakannya. Semasa Nabi SAW masih kecil, pasca wafat sang kakek (Abdul Muthalib), Abu Thalib yang berperan sebagai pengasuhnya. Dengan demikian, hubungan kekerabatan antara Ali dan Nabi SAW sangat dekat.

Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki pertama yang menerima seruan masuk Islam. Dalam usia sekitar 10 tahun, Ali telah menyatakan keislamannya. Sejarawan Ibnu Hisyam mengutip perkataan Ibnu Ishaq: “Orang laki-laki pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW shalat bersama beliau, dan membenarkan apa yang beliau bawa ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muthalib bin Hisyam. Pada saat ia masuk Islam, ia berusia 10 tahun. Di antara nikmat yang diberikan Allah SWT kepada Ali bin Abi Thalib bahwa ia hidup di bawah asuhan Rasulullah saw sebelum Islam” (Sirah Ibnu Hisyam, Jilid I, h. 209).

Keponakan Nabi SAW ini memerintah selama kurang lebih enam tahun, yakni sejak tahun 655-661 M. Masa kepemimpinan Ali menjadi estafet terakhir dalam sistem pemerintahan Khulafaurrasyidin.            

Kepemimpinan

Pasca kemangkatan Usman bin Affan, umat Islam mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai Amir al-Mu’minin. Namun, dari sinilah kemudian “fitnah besar” (al-fitnah al-Qubra) muncul dan sekaligus menjadi pemicu perpecahan umat Islam. Setelah Usman terbunuh, kota Madinah didukung oleh tiga kekuatan perang yang datang dari Mesir, Basrah dan Kuffah. Mereka mendukung pengangkatan Ali sebagai Amir al-Mu’minin. Mereka kemudian berbaiat sebagai bukti kepatuhan kepada Ali. Baiat dilakukan di Masjid Nabawi (Sou’yb, h. 462).

Ali mewarisi kepemimpinan umat Islam yang telah di ambang perpecahan. Dia bermaksud menghapus sumber kebencian umat Islam warisan pemerintahan Usman bin Affan. Pejabat-pejabat Umayyah yang mendapat fasilitas dan kemudahan pada masa kepemimpinan Usman segera diberhentikan oleh Ali. Sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut, Ali sempat berkonsultasi dengan para sahabat. Mughirah bin Syu’bah, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdullah bin Umar menyarankan agar Ali mengurungkan niatnya.

Baca Juga  Khalifah Ali bin Abi Thalib (8): Permasalahan Berikutnya

Ketika Ali bersikukuh untuk menjalankan kebijakannya, para sahabat tidak dapat berbuat banyak. Akan tetapi Abdullah ibnu Abbas sempat menyarankan agar Mu’awiyah tidak termasuk dari orang-orang Umayyah yang harus diberhentikan. Sebab, menurut Abdullah bin Abbas, Mu’awiyah tidak diangkat oleh Usman bin Affan, tetapi dia diangkat oleh Umar bin Khattab.

Dalam rencana Ali, Mu’awiyah termasuk orang yang bakal diberhentikan. Ibnu Abbas sempat kecewa dengan mengatakan, “Anda seorang panglima, bukan seorang negarawan!” Lalu Ibnu Abbas menasehati, “Ikutilah nasehatku itu! Tinggalkanlah rencana itu buat sementara. Orang Arab menunggu kebijaksanaan anda, tiada berpaling harapan bagi mereka itu, kecuali anda. Jika anda mengerahkan mereka itu, maka jatuh tanggung jawab darah Usman atas bahu anda di dalam pandangan orang banyak” (Sirah Ibnu Hisyam, h. 466).

Namun, Ali justru bersikukuh pada pendiriannya. Bahkan, dia memilih Ibnu Abbas untuk menggantikan posisi Mu’awiyah sebagai gubernur di Syam. Kebijakan Ali ini disusul dengan pemberhentian semua orang-orang Umayyah dari jabatan tinggi dan digantikan dengan orang-orang baru pilihannya. Kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari para sahabat. Reaksi paling keras datang dari orang-orang Umayyah yang secara mendadak tanpa alasan yang kuat tetapi diberhentikan sebagai pejabat tinggi. 

Pada saat itulah, Mu’awiyah menuntut pertanggung jawaban atas pembunuhan Usman bin Affan. Alasan ini cukup argumentatif, karena antara Usman dan Mu’awiyah masih dalam satu nasab keturunan Umayyah. Dalam praktek pemerintahannya, Ali memang cenderung membersihkan keturunan Umayyah dalam sistem pemerintahan, sebab menurutnya, mereka dinilai sebagai sumber kerusuhan.

Tuntutan dari pihak Mu’awiyah sebetulnya merupakan siasat politiknya, sebab di balik itu, ia sendiri sangat berambisi untuk menduduki kekuasaan umat. Pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah semakin meruncing ketika masing-masing bertahan pada prinsip yang berbeda. Waktu itu, Aisyah, janda  Rasulullah saw bersama pasukannya sedang menuju ke Makkah. Rombongan ini kemudian disusul oleh Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.

Baca Juga  Al-Muhakkimah, Generasi Pertama Aliran Khawarij

Kawanan umat Islam yang langsung dipimpin oleh Aisyah ini sudah tidak punya harapan lagi kepada khalifah. Kegagalan atas pengusutan pembunuhan Usman bin Affan sudah jelas. Tanggung jawab kasus tersebut kini berada di tangan Ali. Kelompok ini kemudian mempengaruhi beberapa kabilah Arab untuk bergabung melawan Amir al-Mu’minin. Perlu dicatat bahwa perlawanan ini sama sekali tidak memiliki tendensi politik apapun. Apalagi untuk berkoalisi dengan kelompok Mu’awiyah yang memang berambisi atas kursi kekuasaan.

Perseteruan pihak Ali dengan pihak Aisyah ini melahirkan perang yang dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan “Perang Onta” (Battle of Camel). Meskipun jumlah tentara lebih banyak di pihak Aisyah, namun strategi perang lebih dikuasai oleh pihak Ali. Tentu bisa dibaca bahwa “Perang Onta” itu akan dimenangkan olah pihak Ali. Setelah Perang Onta berakhir, Aisyah menarik diri dari kuasa politik umat dan kembali keMadinah al-Munawwarah.

Perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah mencapai puncaknya ketika pecah perang Shiffin pada tahun 37 H/658 M (Ibnu Hisyam, h. 493). Korban dari pihak Ali mencapai 35.000 orang sedangkan dari pihak Mu’awiyah mencapai 45.000 orang. Kekalahan Mu’awiyah sudah di depan mata, tetapi berkat kecerdikan Amru bin Ash, kedua belah pihak bertahkim. Ali yang tahu siasat licik tersebut memerintahkan pasukannya untuk terus menyerang musuh. Akan tetapi, sebagian pasukan Ali justru menjadi bimbang dan menerima ajakan bertahkim. Pihak Mu’awiyah yang sudah di ambang kekalahan berhasil menang secara politik karena sebagian pasukan Ali menerima tahkim.  

Puncak dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ketika ia terbunuh oleh seseorang yang bernama Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang termasuk kecewa dengan kebijakan sang khalifah. Ali wafat pada tanggal 12 Ramadhan tahun 40 H (661 M). Ia merupakan seorang dari keempat sahabat yang memimpin pemerintahan Khulaufaurrasyidin.

Pemikiran

Dari tregedi tahkim menjadi tonggak sejarah perpecahan umat setelah sebelumnya berhasil dibina oleh Rasulullah saw. Pembunuhan menjadi halal meski terhadap saudara mereka sendiri, setidak-tidaknya saudara sekeyakinan. Khawarij adalah sekelompok dari umat yang tadinya pengikut setia Ali dan telah membelot setelah tahkim. Sementara dalam pembelotan itu mereka telah mempermasalahkan “dosa besar” yang dilakukan oleh seorang mukmin.

Baca Juga  Hijrah Rasulullah (1): Makna dan Pahala

Bagi kelompok Khawarij, mereka lebih sepakat menghakimi posisi seorang pendosa besar dengan  status “kafir” sehingga halal darahnya. Kelompok ini kemudian berbalik arah menjadi memusuhi Ali, bahkan berrencana untuk membunuhnya. Bukan cuma Ali saja yang menjadi sasaran agenda pembunuhan itu, namun Mu’awiyah pun tidak lepas dari incaran. Dalam pelaksanaannya, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Sementara Muawiyah berhasil lolos dari usaha pembunuhan.

Sehubungan dengan masalah dosa besar, kelompok ini makin mengembangkan pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam lainnya. Persoalan manusia sebagai subyek tindakan menjadi perdebatan sengit sehingga memunculkan ide “kebebasan” bagi manusia. Manusia dalam perbuatannya berkuasa  penuh untuk diri sendiri. Tetapi, meskipun berkuasa penuh atas nasibnya, di hadapan Allah SWT menjadi tidak kuasa sedikitpun.

Proses dialektika di atas melahirkan dua paham dalam perbuatan manusia. Ide pertama yang berasaskan pada prinsip kebebasan menjadi pioner bagi paham qadariyah. Adapun ide kedua yang berasaskan atas keterpaksaan menjadi bibit paham jabbariyah.

Reaksi umat Islam dalam menanggapi polarisasi pemikiran teologi ini lebih bersimpati pada ide kedua, yakni paham jabbariyah. Bagi umat Islam, ide ini dipandang lebih sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana didapati dalam sejarah. Sementara ide qadariyah hanya dianut oleh beberapa orang saja. Namun, polarisasi pemikiran teologis ini telah mewarnai nuansa peradaban Islam yang tadinya hanya mengenal paham jabbariyah saja.  

Bagi kelompok moderat, mereka menanggapi persoalan “dosa besar” di atas cenderung mengambil sikap diam. Mereka berpandangan bahwa yang berhak menghakimi pertikaian antara dua kelompok di atas hanyalah Allah SWT di akhirat nanti. Pandangan yang cenderung “menangguhkan” (irja’) ini menjadi asas dari gerakan yang kemudian lebih dikenal dengan nama gerakan Murji’ah. Sementara sikap mereka dalam memahami tindakan manusia  cenderung ke arah “fatalisme” (jabbariyah).

Editor: Yahya FR

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *