Akhlak

Fastabiqul Khairat untuk Menyikapi Sertifikasi Penceramah

3 Mins read

Otoritas keilmuan merupakan dasar dari permasalan sertifikasi penceramah. Kaum yang merasa memiliki otoritas keilmuan dengan pengalaman pesantren secara lama melalui penyerapan materi dasar dari pengenalan huruf hijaiah dan tajwid hingga علم العروض (‘Ilm al-‘Arūḍ), رجال الحديث (Rijālu al-Ḥadīth), قواعد التفسير (Qawāid al-Tafsīr), dan مقاصد شريعة (Maqāshid al-Sharī’ah) merasa berkepentingan untuk tampil di gelanggang pasar dengan bantuan pemerintah.

Hal ini tentu ditunjang dengan fenomena beberapa tahun terkini yang mulai menyisihkan keberadaan mereka.

Sertifikasi Penceramah

Kepercayaan diri berdasarkan modal intelektual dan spiritual memang dibenarkan untuk tampil dalam berbagai public service. Bagi yang tidak memiliki modal tersebut pun juga tidak dilarang dalam mengemukakan pendapat di khalayak ramai. Penguasa juga berhak mengatur jalannya distribusi keadilan sebagai inti politik kebangsaan. Kerisauan yang muncul adalah persaingan kesalehan sosial di mata publik yang berujung pada narasi hitam-putih, yaitu menang atau kalah di pasar.

Popularitas dan elektabilitas dalam persaingan kesalehan sosial menjadi pertaruhan berarti karena kemungkinan dorongan untuk berprilaku “bermasyarakat yang baik” atau kebebasan beragama secara egaliter. Tentu, tindakan berbaur dengan umat dan berani tampil di berbagai forum keumatan secara kultural seperti di pengajian, di masjid, di langgar, di musholla, di instansi-instansi pemerintah, hingga di berbagai media cetak, elektronik, dan sosial merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual umat Islam.

Kenyataannya, millenials dan generasi tua yang back to nature-fiṭrah (mulai bersemangat mempelajari ilmu agama) memiliki otoritas apresiasi (penilaian) terhadap kehendak dan kesadaran penyerapan ajaran dan ilmu agama bagi mereka secara batin maupun rasional. Masyarakat yang mengkonsumsi dan candu pada ajaran Islam adalah publik yang berhak memilih penceramah berdasarkan kecenderungan alam bawah sadar mereka. Masyarakat seperti ini adalah pasar bagi komodifikasi atau tabligh keislaman.

Baca Juga  Ramadhan, Momentum Gembleng Kesalehan Sosial

Kekalahan kaum yang merasa memiliki otoritas keilmuan (agama), terlebih otoritas kepakaran dalam gelanggang perlu disikapi secara bijak. Mereka yang tidak laku, tidak mendapat panggung, dan menurunnya angka pengikut perlu memahami bahwa rezeki Allah SWT tidak dapat diukur dari sekadar berceramah di pengajian maupun masjid.

Sikap Fastabiqul Khairat

Kontestasi kesalehan sosial yang dimenangkan oleh kubu “new comers” dapat dipahami sebagai upaya dalam konsolidasi sila ke-3 dan ke-4 Pancasila. Media transfer hikmah dan ilmu juga tidak perlu ditindak lanjuti secara konservatif pada pengajian, instansi-instansi pemerintah, masjid, musholla, dan undangan pertelevisian semata. Interaksi dapat diterapkan dalam media yang adaptif dan akomodatif bagi generasi milenial seperti Instagram, YouTube, Facebook, hingga status Whatsapp.

Kepicikan dalam menarget pasar yang berdampak pada kuantitas rejeki, kejumawaan intelektual, kompetisi kesalehan sosial, dan gelombang perpindahan pengikut bukan alasan untuk merasa lapar dan bertindak brutal. Karena pada dasarnya rejeki seluruh makhluk hidup telah dikalkulasikan secara adil dalam keagungan title-Nya seperti الرزّاق, الغنيّ, المغنيّ, dan الفتّاح.

Pengakuan terhadap ethics of care nya para new comers oleh kaum yang merasa memiliki otoritas keilmuan (Begawan Asli) dalam hal distribusi nilai Islam dan pendidikan Islami secara kultural di berbagai pasar offline dan pasar online mestinya menjadi dasar untuk kompetisi kesalehan sosial (Fastabiqul Khairat).

Sehingga, seleksi alam dan apresiasi publik akan berpihak pada para Begawan Asli berdasarkan kesabaran proses berkompetisi pada akhirnya. Pengabaian hal ini dengan “jalan tikus” (shortcut) seperti manuver politik, have lunch dengan penguasa, dan provokasi kerendahan kapasitas rival hanya hanya akan melunturkan akhlak kepesantrenan mereka yang adiluhung.

Kaum yang merasa memiliki otoritas keilmuan tidak perlu bersikap cengeng dengan memprovokasi program struktural (sertifikasi) dan mencari dukungan penguasa. Karena sebenarnya, hal ini hanya akan menambah dampak negatif turunan. Tidak hanya perpecahan yang siap tampil sebagai konsekuensi sertifikasi penceramah di tengah umat, tetapi juga penajaman polarisasi sosial.

Baca Juga  Teladan Pandanarang dalam Babad Demak

Bhinneka Tunggal Ika Tanpa Politisasi

Sudah semestinya pihak yang kalah mengakui bahwa rejeki hanya milik Allah dengan tidak perlu iri pada larisnya “panggilan” pada new comers. Seperti berkurangnya jadwal di masjid-langgar-instansi pemerintah dan beralihnya keberpihakan pengikut. Jumawa pada otoritas keilmuannya dengan bersikap semuci, patriarkis, dan feodal melalui “jual mahal” dan “over rendah hati” hanya akan memperburuk peradaban. Masyarakat muslim tidak dapat menunggu keegaliteran para Begawan agama untuk turun gunung membimbing keawaman mereka terlalu lama.

Sementara, kesiapan dan semangat pelestarian kebudayaan ketimuran, penerapan nilai-nilai Islam, dan perilaku profetik oleh new comers melalui pendampingan masyarakat yang memenangkan apresiasi publik adalah kebalikan dari ke-jumawa-an kaum yang mengedepankan patriarki dan feodalisme. Kita tidak ingin program sertifikasi penceramah menghasilkan polarisasi signifikan di tengah kehidupan (masyarakat) sosial yang horizontal.

Tentu, kesadaran manusia Indonesia terhadap bhinneka tunggal ika harus dipupuk dan tidak dipolitisasi dengan kemenangan kelompok tertentu saja. Tidak menjadikan pemenang politis yang dilegalkan oleh penguasa dalam mendistribusikan keilmuan, pandangan, dan kepakaran mereka. Karena pada dasarnya negeri ini terdiri dari banyak warna (bukan satu warna semata).

Ketidaksadaran para Begawan Asli terhadap konsekuensi kecendekiaan mereka (QS. 58:11) dan fanatisme pada warna-golongan mereka semata hanya akan menumpulkan dan mematikan hati yang bersih dan welas asih. Sebagaimana nilai yang terkandung pada Sila Ke-2 Pancasila.

Ketakutan pada kelaparan dan ketidakpopuleran individu maupun golongan-warna sesama (Bagawan Asli) yang mengabaikan QS. 28:77 hanya akan memenuhi eskalasi Ḥusnu al-Ḍan dan mengaburkan budaya gotong-royong masyarakat Indonesia sebagai karakteristik perolehan capaian visioner (wabtghī fīmā atākallahu ala-Dāra al-Ākhirata).

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Alumnus Sekolah Pascasarjana di bidang Pengkajian Islam. Penulis sedang konsentrasi pada pembelajaran dan pengayaan kepakaran di bidang Modern Arabic Novels, Tourism, and Films
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *