Sosok Fatmawati, Ibu Negara yang lahir di Bengkulu, tumbuh besar dalam keluarga pasangan pendiri Muhammadiyah-‘Aisyiyah setempat. Bagaimanakah seharusnya Muhammadiyah-Aisyiyah memandang sosok Ibu Agung yang telah berjasa besar dalam proses perjuangan menuju kemerdakaan dan pembangunan bangsa ini? Tentu dengan membaca sejarah, terutama lewat peran aktor-aktor perintis Muhammadiyah Bengkulu, kita bisa menemukan perspektif bagaimana Muhammadiyah-Aisyiyah memandang sosok Fatmawati.
Muhammadiyah Bengkulu
Sejarah berdirinya Muhammadiyah Bengkulu memang tidak bisa lepas dari pengaruh gerakan ‘Kaum Muda’ di Minangkabau. Sumber Hardiansyah (2015) menyebutkan bahwa para tokoh pembaru dari Minangkabau yang aktif menjalankan tabligh dan pengajaran di Bengkulu dikenal dengan sebutan “Guru Padang.” Secara geografis, Bengkulu memang berbatasan dengan Kawasan Minangkabau.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dalam bukunya, Ayahku (1982: 119), menyebutkan bahwa Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) pernah diundang oleh para alumni Sumatra Thawalib untuk bertabligh di Krue (Afdeling Krue). Dalam tablighnya, Haji Rasul menyarankan supaya membentuk perguruan Sumatra Thawalib dengan nama yang berbeda di tempat tersebut. Maka pada tahun 1927 berdirilah Perguruan Muhibbul Ihsan—cikal bakal Muhammadiyah Bengkulu. Berdasarkan sumber buku Menapak Masa, Melintasi Zaman: Catatan Singkat Sejarah Ranting Muhammadiyah Bengkulu (2016: 41), Perguruan Muhibbul Ihsan inilah cikal bakal Muhammadiyah Bengkulu yang didirikan pada 1928.
Berdasarkan penelusuran dokumentasi Muhammadiyah ditemukan sumber album foto koleksi HM Yunus Anis yang menyebutkan prosesi pelantikan Pengurus Muhammadiyah Cabang Bengkulu pada tahun 1928.
Dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah Cabang Bengkulu (dulu masih menggunakan istilah Konsul), Yunus Jamaluddin menjabat sebagai ketua dan Hasan Din sebagai sekretaris. Baik Yunus Jamaluddin maupun Hasan Din, keduanya berdarah Minang. Berdasarkan catatan riwayat hidup AR Sutan Mansur, sosok Yunus Jamaluddin ini diketahui menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu yang menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 pada tahun 1929 di Solo (Aisyah Rasyid, 2009: 47).
Sedangkan menurut Alfian (2010: 327), sosok Yunus Jamaluddin dikenal sebagai seorang yang tegas dalam menjalankan agama dan penentang penjajahan. Pengaruh gerakan keagamaan Minangkabau sangat kuat dalam pribadi Haji Yunus Jamaluddin. Sedangkan tokoh bernama Hasan Din inilah yang dikenal sebagai ayah kandung Fatmawati. Ia seorang pegawai pada sebuah perusahaan milik kolonial Belanda di Bengkulu (Borneo-Sumatera Maatschappij) yang kemudian melepas jabatan tersebut demi berjuang bersama Muhammadiyah. Hasan Din menikah dengan Siti Chadijah dan dikaruniai putri semata wayang bernama Fatmawati (bunga lotus).
Baik Hasan Din maupun Siti Chadijah, kedua-duanya terlibat aktif di Muhammadiyah. Sang istri aktif di ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu. Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (1930) menjadi catatan yang terrekam dalam memori Fatmawati ketika sang ayah dan ibunya berangkat ke Minangkabau sebagai utusan Konsul Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Bengkulu (Fatmawati, 2016: 9).
Perbedaan Pemikiran
Duet Yunus Jamaluddin dan Hasan Din telah memajukan gerakan Muhammadiyah di Bengkulu. Sumber resmi Berita Tahoenan Moehammadijah Hindia Timoer 1932 menyebutkan bahwa Cabang Muhammadiyah Bengkulu (no. besluit 150) telah membawahi 11 gerombolan (ranting) meliputi: Pasar Bengkulu, Tanjung Agung, Palik, Tais, Kroe, Kepahiang, Pekan Sabtu, Talo, Palak Siring, Tabah Santing, Talang Leak, dan Manna. Jumlah anggota Muhammadiyah Cabang Bengkulu pada tahun 1932 sudah cukup banyak, bahkan nyaris sebanding antara anggota laki-laki dan perempuan (‘Aisyiyah). Sedangkan di level ranting (gerombolan), selain di Cabang Bengkulu, kepengurusan ‘Aisyiyah sudah berdiri di Pasar Bengkulu, Kepahiang, Tabah Santing, dan Talang Leak.
Meskipun organisasi berkembang pesat, tetapi paham keagamaan yang tumbuh di kalangan Muhammadiyah Bengkulu tidak tunggal. Dalam beberapa kasus, pemikiran keagamaan Muhammadiyah Bengkulu tampak progresif. Namun untuk beberapa kasus, pemikiran keagamaan Muhammadiyah Bengkulu tampak konservatif. Seperti pada perdebatan “Fikih Perempuan” hasil Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau.
Perdebatan dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau menjadi diskusi yang terus berlanjut sampai ke cabang-cabang Muhammadiyah. Fikih Perempuan berkaitan dengan peran dan partisipasi perempuan di ranah publik—khususnya pengurus ‘Aisyiyah—menjadi perdebatan sengit antara kelompok tua dan kaum muda. Pandangan dan sikap Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah dari Yogyakarta tampaknya berbeda dengan para ulama Minangkabau yang cenderung menghendaki pemisahan forum antara laki-laki dan perempuan menggunakan tabir (Bahtiar, 2016).
Perdebatan seputar tabir inilah yang kemudian direspon secara intelektual oleh Sukarno (Bung Karno), aktivis pergerakan nasional yang sedang dalam pengasingan di Bengkulu sejak 1938—sekitar delapan tahun pasca Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau. Ketika diasingkan di Bengkulu, Bung Karno memilih aktif di Muhammadiyah. Ia dipercaya memimpin Departemen Pengajaran Muhammadiyah Cabang Bengkulu.
Ketika Bung Karno bergabung dalam Kepengurusan Muhammadiyah Bengkulu, Ketua Konsul Muhammadiyah setempat dipegang Oei Tjien Hien (Abdul Karim Oei), seorang China Muslim yang telah lama aktif di Muhammadiyah. Sekretaris Konsul Muhammadiyah Bengkulu dipegang oleh Yahya Pasar Baru (Tim Penulis PWM Bengkulu, 2016: 35-36). Sedangkan Hasan Din yang pada waktu itu baru saja kembali dari merantau ke Palembang telah aktif kembali di struktur Muhammadiyah Bengkulu (anggota).
Bung Karno mengritik soal perdebatan tabir di kalangan Muhammadiyah generasi tua di Bengkulu lewat artikel yang dimuat di majalah Adil edisi 21 Januari 1939. Ia menganggap penggunaan tabir dalam forum-forum resmi Muhammadiyah yang memisahkan antara kaum laki-laki dan perempuan sebagai bentuk pemikiran Muhammadiyah yang tidak sejalan dengan pikirannya. Sebab, menurut Bung Karno, tabir adalah ‘lambang perbudakan’.
Merespon kritik Bung Karno soal tabir, Haji Syujak mewakili HB Muhammadiyah berkunjung ke Bengkulu menemui Bung Karno. Haji Syujak mengklarifikasi bahwa pandangan Muhammadiyah seputar tabir tidak seperti pandangan kaum tua di Bengkulu maupun di Minangkabau. Ia yang mengutip pandangan modernis KH Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa penggunaan tabir dalam forum-forum resmi di Muhammadiyah tidak perlu. Kisah perdebatan Bung Karno menyoal kasus tabir di Muhammadiyah terrekam dalam karya monumentalnya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I (1964: 350-351).
Selama aktif di Departemen Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu, Bung Karno telah berkolaborasi dengan Hasan Din, Oei Tjien Hien, dan HAMKA memajukan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kolaborasi ketiga tokoh muda ini tampaknya telah memisahkan diri dari kelompok tua di Muhammadiyah Bengkulu yang dimotori oleh Yunus Jamaluddin. Pandangan keagamaan ketiga tokoh inilah yang merepresentasikan pandangan Islam modernis-progresif. Mengantarkan Muhammadiyah Bengkulu mencapai kemajuan yang cukup signifikan pada masanya.
Fatmawati
Dalam acara “Syukuran dan Doa Bersama Mengenang Ulang Tahun Ibu Agung Fatmawati Sukarno yang ke-96 Tahun” pada 5 Februari di Jakarta, Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah memberikan penghargaan yang setinggi-tinggihnya kepada sosok Fatmawati yang telah berkiprah dan berjasa besar dalam proses kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Bahkan, PP ‘Aisyiyah menginisiasi dan memrakarsai penyusunan buku Muslimah Berkemajuan: Sepenggal Riwayat Fatmawati dan Sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah (2019) sebagai pernyataan kesyukuran dan sekaligus memberikan apresiasi kepada sosok Ibu Agung yang telah berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Sosok dan kepribadian Fatmawati dapat dikatakan sebagai representasi dari “Muslimah Berkemajuan”—berasal dari idiom “Islam Berkemajuan” yang menjadi identitas gerakan Muhammadiyah.
Lahir pada hari Senin tanggal 5 Februari 1923 pukul 12.00 di sebuah rumah yang terletak di Pasar Marlo kota Bengkulu, Fatmawati adalah putri semata wayang dari Hasan Din dan Siti Chadijah (Fatmawati, 2016: 1-4). Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga dan lingkungan aktivis Muhammadiyah Bengkulu. Sang ayah sebagai Konsul Muhammadiyah, sedangkan sang ibu aktivis Aisyiyah.
Muslimah Berkemajuan
Proses habituasi di lingkungan keluarga dan masyarakat membentuk watak dan karakter Fatmawati sejak kecil hingga memasuki usia remaja. Masa pendidikannya sebelum di Holland Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Kebon Ros, ia sempat mengenyam pendidikan di HIS Peramuan. Meskipun berkali-kali pindah tempat, Fatmawati selalu melibatkan diri dalam organisasi Muhammadiyah, terutama lewat Nasyi’atul Aisyiyah (Kebon Ros, Curup, dan Kota Bengkulu).
Fatmawati senantiasa berpartisipasi dalam berbagai pertemuan dan konferensi yang digelar Muhammadiyah setempat, terutama untuk mewakili NA. Ia terinspirasi dari semangat dan perjuangan para aktivis ‘Aisyiyah, sehingga ia memutuskan untuk terjun dalam kepengurusan NA. Dalam catatan hariannya ia menulis: “…berkat kemajuan yang dibawa oleh Muhammadiyah, aku ikut dalam kegiatan masyarakat, seperti yang dirindukan oleh RA Kartini bagi kaumnya,” tulisnya (lihat Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016, hlm. 18).
Ia juga mengenal tokoh-tokoh pimpinan Aisyiyah yang telah menginspirasinya dalam memajukan gerakan perempuan. Ketika Konferensi Daerah Muhammadiyah digelar di Palembang pada 1936, ia memberi kesaksian dalam catatan hariannya, “…aku memperhatikan para peserta berdiskusi, dan mendengarkan pidato-pidato dari para pimpinan. Aku mengenal utusan dari Yogyakarta seperti Ibu Siti Munjiyah, Ibu Siti Hayinah, dan Siti Badilah Zuber. Meskipun kita baru saling bertemu dan berkenalan, namun aku merasa akrab dengan ibu-ibu peserta kongres seperti sudah bertahun-tahun berkenalan…” (hlm. 16). Internalisasi nilai-nilai Islam berkemajuan dalam diri Fatmawati telah telah membentuk karakter dan kepribadiannya hingga memasuki usia dewasa.
Bahkan, ketika ia menikah dengan Bung Karno, karakter dan kepribadian Muslimah berkemajuan tetap melekat dalam dirinya. Maka sudah sepentasnya ketika Pimpinan Pusat Aisyiyah mempersembahkan buku Muslimah Berkemajuan: Sepenggal Riwayat Fatmawati dan Sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah. Merepresentasikan sosok putri Hasan Din sebagai Muslimah yang telah ditempa dalam habitus Muhammadiyah-Aisyiyah. Yaitu habitus yang dibentuk oleh nilai-nilai dan visi Islam berkemajuan dalam praktik keagamaan yang mencerahkan.
Editor: Nabhan