Memasuki fase sepuluh hari terakhir bulan Ramadan di tengah pandemi COVID-19 ini kita disuguhkan dengan berbagai polemik dan “keributan” di media sosial, ada beberapa topik yang jadi perbincangan hangat dan tentu saja menarik diangkat, di antaranya itikaf di rumah. Pernyataan presiden tentang berdamai dengan corona dan fatwa salat Ied di rumah. Namun dari ketiga topik ini, menarik saya mengangkat topik fatwa MUI.
Fatwa MUI nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri saat pandemi COVID-19, memutuskan dengan jelas bahwa Salat Idul Fitri boleh dilaksanakan secara berjamaah di tanah lapang, masjid, musala, atau tempat lain. Jika berada dalam keadaan yang sudah terkendali, atau menunjukkan kecenderungan penurunan angka penularan berdasarkan ahli yang kredibel dan amanah, atau berada di kawasan terkendali atau bebas COVID-19 dan diyakini tidak terdapat penularan.
Fatwa MUI ini telah beredar luas. Di jagad maya pun berseliweran di grup Whatsapp dan jadi konsumsi publik dengan berbagai perspektif dan ragam pemahaman. Dan menurut saya pribadi, ada ruang yang berpotensi memberikan multitafsir bahkan ambigu, terutama untuk poin yang membolehkan Salat Ied berjamaah untuk daerah tertentu.
Masalahnya adalah, lembaga mana yang akan menerbitkan status zonasi penularan tinggi, sedang, terkendali, zona merah, hijau, atau kuning seperti yang dimaksudkan MUI.
Perbedaan pemahaman zonasi ini yang kemudian diejawantahkan oleh beberapa tokoh agama dan Badan Takmirul Masjid untuk mengambil kebijakan salat Ied berjamaah, seperti yang telah dilakukan ketika mengambil kebijakan salat fardu dan tarawih berjamaah selama ini. Walaupun harus bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H Di Tengah Pandemi yang dijabarkan oleh pemerintah di daerah.
Alhasil, karena multitafsir, memungkinkan beberapa daerah akan melaksanakan salat Ied berjamaah. Padahal penetapan sebuah daerah aman dan tidak terkendali itu kewenangan pemerintah, dalam hal ini, Dinas Kesehatan selaku pihak yang berkompeten.
***
Di sejumlah daerah yang terjadi adalah, penetapan ini justru dilakukan oleh BTM dan tokoh organisasi atau tokoh agama setempat yang sama sekali tidak memiliki keilmuan dalam bidang Kesehatan sekalipun.
Penetapan Zonasi ini menjadi lebih ambigu karena sejatinya Kementrian Kesehatan tidak pernah mengeluarkan edaran tentang ini, yang ada adalah penetapan daerah yang jadi transmisi lokal.
Penetapan Zonasi ini saya dapatkan sesuai kutipan New England Complex Systems Institute, dengan definisi, Zona Hijau adalah negara atau wilayah tanpa kasus yang dikonfirmasi, atau tanpa ada pelancong yang terinfeksi yang datang dari negara/wilayah lain. Selanjutnya, definisi Zona Kuning dan Zona Merah ditentukan berdasarkan jumlah pasien terpapar COVID-19. Ini berbeda dengan penetapan dari Kementerian Kesehatan yang hanya menetapkan sebuah daerah transmisi lokal.
Di sini saya melihat bahwa, fatwa MUI yang membolehkan Salat Ied berjamaah untuk daerah yang belum terpapar sangat mungkin untuk tidak bisa dilakukan, karena semua daerah telah dilintasi oleh orang dari dan ke transmisi lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia ini. Kalaupun ini tetap dilakukan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan harus menetapkan daerah itu terjamin bebas dari COVID-19 saat pelaksanaan salat Ied nanti. Pertanyaan selanjutnya, apakah ada pemerintah yang mau menjamin?
Sebagai komparasi, selain Fatwa MUI, ada juga fatwa dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah menerbitkan Surat Edaran bernomor 02/EDR/I.0/E/2020 tanggal 21 Maret 2020, Sementara PBNU mengeluarkan Surat Edaran bernomor 3953/C.I.03.04.2020 tanggal 3 April 2020.
Dua organisasi itu sepakat mengeluarkan fatwa pembatasan aktivitas keagamaan di masjid dan musala begitu juga dengan peniadaan salat Ied dengan alternatif menggantinya di rumah. Ini merupakan sikap tegas kedua organisasi tersebut guna melakukan pencegahan dini penyebaran virus itu.
***
Fatwa ini berlaku menyeluruh di semua daerah tak terkecuali. Perbedaan fatwa ini tentu saja melahirkan dilema publik, saya tentu menjamin bagi daerah yang telah terpapar dalam jumlah yang banyak akan patuh dengan ketiga fatwa itu, namun hal tersebut akan berbeda ketika akan diterapkan di daerah yang belum sama sekali terpapar.
Saya meyakini Sebagian besar akan memilih Fatwa MUI, meskipun mereka sejatinya adalah warga Muhammadiyah atau NU. Karena kerinduan akan salat Ied yang telah menjadi budaya negeri ini dengan embel-embel pawai takbiran malam sebelumnya. Silaturahmi dengan keluarga besar, makan-makan, dan lain sebagainya. Tentu saja karena Fatwa MUI membolehkan dan itu merupakan celah bagus.
Fatwa MUI ini berupaya bijak, dan kita bisa memaklumi karena di dalam MUI juga banyak organisasi yang memberikan masukan dan keilmuan mereka juga diakui. Akan tetapi, poin yang ingin saya sampaikan adalah, harus ada instansi yang mengeluarkan rekomendasi terkait boleh atau tidaknya sebuah daerah melaksanakan salat Ied berjamaah.
Jangan biarkan keputusan itu dilakukan secara sepihak dan spontan tanpa dasar keilmuan terutama di daerah-daerah pelosok. 1 Syawal tinggal menghitung hari, dan polemik ini terus saja bergulir. Daerah tempat saya tinggal yaitu di Bolaang Mongondow Selatan belum memiliki kasus penularan, akan tetapi kami diapit oleh dua daerah transmisi lokal. Sebagian dari kami akan menjalankan Fatwa MUI dan Sebagian menjalankan fatma Muhammadiyah dan NU.
Bagi saya pribadi, mengambil sebuah kaidah ushul fikih sebagai pencegahan yaitu mencegah kemudaratan lebih diutamakan ketimbang berbuat maslahat.
Tapi bagi yang lain? Mereka masih diliputi dilema, karena stigma zonasi yang ambigu.
Wallahu alam bishawab.