Perspektif

Fatwa yang Tak Dirindukan

4 Mins read

Dunia sedang berduka, namun para elite kita senang bercanda. Mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana tingkah laku elite di Indonesia saat menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Berbagai pernyataan kontroversial dan tidak tersinkron antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah hampir selalu menghiasi pemberitaan di beberapa media akhir-akhir ini. Belum lagi ditambah oleh tidak sinkronnya antar pejabat di Istana dalam memberikan statement-statementnya pada publik. Hal-hal tersebut semakin membuat warga bingung dan resah oleh perilaku para pejabat tersebut.

Statement yang Absurd

Nampaknya dalam kondisi krisis seperti ini, sistem politik dan tata kelola pemerintahan di Indonesia sedang mempertontonkan kondisi sebenarnya. Sehingga apa yang tampak saat ini adalah, kondisi riil negara kita sekarang. Negara yang penuh paradoks dan panggung sandiwara.

Di tengah banyaknya paradoks tersebut, saya ingin menunjukkan betapa absurdnya kebijakan dan statement yang diambil oleh K.H. Ma’ruf Amin terkait dorongan kepada MUI untuk segera mengeluarkan fatwa bahwa mudik untuk lebaran tahun ini adalah “haram”.

Sepintas pernyataan ini akan terdengar sangat efektif untuk mengurangi persebaran covid 19, karena dengan mudik maka tingkat perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain akan meningkat. Namun jika kita mencoba menggunakan perspektif ekonomi politik dalam melihat pernyataan ini, maka akan muncul banyak pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul.

Mengapa seolah-olah MUI sangat gampang dalam mengeluarkan fatwa untuk manyarakat kelas bawah, daripada mengeluarkan fatwa untuk para pengusaha? Karena jika kita lihat dalam kondisi krisis ini, maka masyarakat kelas bawahlah yang sangat dirugikan. Dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menentu ini maka masyarakat rentanlah yang butuh bantuan dan uluran tangan dari adanya peran negara.

Namun tidak heran jika kita menilik catatan bagaimana fatwa MUI cenderung berpihak kepada para pengusaha daripada berpihak kepada masyarakat rentan. Seperti saat MUI Kota Bandung mengeluarkan fatwa untuk menyeterilkan Masjid Al-Islam yang jadi tempat pengungsian warga korban penggusuran Tamansari.

Fatwa tersebut menganjurkan dan mengharapkan kepada seluruh Ketua Dewan Keluarga Masjid/DKM se-Kecamatan Bandung Wetan untuk memfungsikan masjid-masjidnya sebagaimana lazimnya sesuai penjelasan/fatwa MUI Kota Bandung.

Baca Juga  Kewajiban Asasi untuk Menyudahi Oligarki

Alih-alih memfatwa Pemerintah Kota Bandung untuk memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap warganya yang rentan, justru memberikan fatwa terhadap masyarakat tergusur untuk tidak menginap di Masjid.

Maka daripada K.H. Ma’ruf Amin memberikan dorongan kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa larangan mudik, akan lebih baik jika K.H. Ma’ruf Amin mendorong MUI mengeluarkan fatwa-fatwa ini.

Fatwa Kepada Grab dan Gojek

Go-Jek dan Grab merupakan dua penyedia jasa transportasi online terbesar di Indonesia. Go-Jek begitu mendominasi pasar Indonesia sehingga valuasinya kini telah mendekati Grab yang telah beroperasi di delapan Negara (Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja). Grab juga telah mengakuisisi Uber di Asia Tenggara.

Grab menjadi startup pertama di Asia Tenggara yang berhasil menjadi decacorn dengan nilai valuasi mencapai USD 10 Milyar (Rp 141 Triliun). Setelah Grab, Go-Jek juga telah dinobatkan sebagai Decacorn dengan tingkat valuasi yang sama yakni USD 10 Milyar (Rp 141 Triliun).

Namun kita tahu bahwa saat ini kelompok yang berada dalam posisi rentan dan paling beresiko terpapar Covid 19 adalah para driver dari Go-Jek dan Grab. Karena tetap bekerja guna membuat dapurnya mengepul. Nampaknya fatwa MUI kepada perusahaan Grab dan Go-Jek untuk membantu dan menolong para drivernya yang rentan tersebut akan lebih dirindukan daripada fatwa larangan mudik.

Fatwa Kepada Luhut dan Yasonna

Sebagaimana ditulis dalam Tweet @Dandhy_Laksono terkait Jadwal Luhut Binsar Panjaitan; Pagi Seorang Luhut menjadi Purnawirawan Jenderal, sedangkan menjelang siang ia menjadi seorang diplomat sawit. Di siang hari Luhut menjadi Seorang Menteri pejabat negara bidang investasi, dan sorenya ia menjadi seorang pengusaha batubara dan PLTU.

Kemudian di saat petang ia menjadi seorang investor pada perusahaan milik Presiden Jokowi dan dimalam harinya ia berubah menjadi seorang Menteri pejabat negara bidang maritim. Dan yang paling aneh bin ajaib adalah pada saat malam hari ia menjadi seorang virologist.

Satire dari Dhandi Laksono tersebut nampaknya memang ada benarnya. Karena sebagaimana kita lihat dalam pemberitaan media-media saat ini bahwa Menteri yang paling sibuk adalah Luhut Binsar Panjaitan.

Baca Juga  Menjadi True Islamic Man di Era New Normal

Kesibukan dan kesaktian seorang Luhut adalah saat ia melakukan koreksi terhadap pernyataan Menteri Sekretais Negara dan Juru Bicara Istana terkait larangan mudik. Serta soal rencana penghentian atau pembatasan bus antar kota antar provinsi yang sudah digodok dan tinggal difinalkan, tetapi semuanya batal dilakukan. Dan Luhut adalah orang di balik pembatalan kebijakan tersebut.

Lain cerita dengan Luhut, Yasonna mengeluarkan usulan kebijakan terkait wacana pembebasan sebagian narapidana kasus korupsi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Dan untuk mewujudkan wacana itu, ia berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sebab, napi koruptor yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP, tidak bisa ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lainnya.

Sebelum rencama ini, Yasonna juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Dalam Kepmen ini dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara. Hal itu membuat lapas dan rutan rentan terhadap penyebaran virus Corona.

Nampaknya perlu dorongan yang kuat dari seluruh pejabat negara kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa kepada Pak Luhut Binsar Panjaitan dan Pak Yasonna Laoly agar bisa memberikan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada masyarakat rentan. Hal ini lebih penting daripada hanya berorientasi kepada para pengusaha dan para koruptor.

Fatwa kepada DPR dan Presiden Jokowi

Kabar menyakitkan datang dari Sekretariat Jenderal DPR yang menjadwalkan tes Covid-19 bagi para anggota dewan serta keluarganya mulai Kamis (25/3/2020). Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan saat ini pembagian jadwal masih dalam penyusunan karena jumlah peserta yang ikut diperkirakan mencapai 2.000 orang. Asumsi ini berdasarkan jumlah anggota dewan sebanyak 575 orang dengan masing-masing empat anggota keluarga (Kompas : 2020).

Baca Juga  Mungkinkah Teoantroposentris jadi Solusi Dehumanisasi?

Kabar menyakitkan tersebut mendapatkan bumbu dari aktris dan Anggota DPR RI, Krisdayanti bersama suami, Raul Lemos dan kedua anak yang plesiran ke Swiss di tengah pandemi COVID-19. Berliburnya KD ke luar negeri terlihat dari akun Instagram pribadi KD, @krisdayantilemos. KD tampak membagikan momen liburan bersama suami dan kedua anaknya. Dari Instagram itu, KD diketahui sedang berlibur ke Swiss.

Tidak selesai di situ, keberpihakan negara kepada para konglomerat ditandai dengan ditandatangainiya surat presiden terkait draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh Presiden Joko Widodo. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, maka pembahasan draf rancangan undang-undang (RUU) tersebut segera dibahas di DPR.

Draf RUU Cipta Lapangan Kerja yang berisi 1028 halaman adalah RUU kontroversial yang mengatur hari dan jam kerja, upah, bonus, hingga pesangon. Beberapa pasal dalam draf RUU ini potensial menimbulkan kontroversi. Berikut poin-poinnya: 1. Masuk enam hari kerja 2. Ketentuan lembur 3. Upah minimum ditetapkan gubernur, 4. Ketentuan pesangon, 5. Bonus tahunan (Katadata : 2020).

***

Nampaknya, dari berbagai kejanggalan diatas kurang lengkap jika seorang K.H Ma’ruf Amin hanya mendorong MUI untuk mengeluarkan larangan mudik saja. Seharusnya ditambah lagi dengan fatwa-fatwa kepada Grab dan Go-Jek, kepada Luhut Binsar Panjaitan dan Yasonna Laoly dan juga fatwa kepada Seluruh Anggota DPR dan Presiden Jokowi.

Saya rasa fatwa tersebut akan lebih dirindukan oleh seluruh masyarakat Indonesia dari pada fatwa larangan mudik yang tidak dirindukan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa dan Pengajar Ilmu Politik dan Pemerintahan, serta Aktivis Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read
Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam…
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds