Dalam khazanah pemikiran dan aktivisme Islam di Indonesia, dikenal istilah Tiga Pendekar dari Chicago. Mereka adalah Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafii Maarif. Disebut Tiga Pendekar dari Chicago karena mereka bertiga bersama-sama kuliah di Universitas Chicago.
Sepulangnya ke Indonesia, mereka langsung berkiprah dengan jalan masing-masing. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid menarik gerbong pembaruan Islam ke Indonesia. Ia beberapa kali membuat ‘geger’ umat Islam di Indonesia. Gagasan-gagasannya yang ‘tidak biasa’ itu ia suarakan. Resikonya, ia menjadi bulan-bulanan tokoh Islam yang lain. Namun, itulah Cak Nur. Tidak hanya cerdas, namun juga berani.
Lain halnya dengan Amien Rais. Awalnya, ia dikenal banyak melakukan gerakan ‘cara hidup Islami’ di berbagai kampus. Namun, pada era 90an, ia adalah orang yang paling kencang menyuarakan isu suksesi kepemimpinan nasional.
Gerbong Muhammadiyah yang ia pimpin ia tarik untuk menjadi lokomotif yang meruntuhkan orde baru. Urat takutnya, menurut banyak orang, telah putus. Ia pun dijuluki oleh masyarakat degan julukan non-formal yang bergengsi, ‘Bapak Reformasi’.
Lain lagi dengan Buya Syafii. Ia sejak awal mendampingi Amien Rais di PP Muhammadiyah. Namun, habitat Buya tidak di politik. Ia, seperti halnya Cak Nur, mengembangkan aspek kultural Islam. Buya dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap konservatisme Islam sekaligus terhadap rusaknya sistem kenegaraan.
Seiring dengan kesamaan almamater, ketiga tokoh tersebut juga memiliki kesamaan guru, yaitu seorang intelektual kelahiran Pakistan, Fazlur Rahman. Rahman adalah tokoh kelahiran Pakistan yang terusir dari tanahnya sendiri karena pikiran-pikirannya. Pikiran-pikirannya yang progresif membuatnya harus meninggalkan Pakistan.
Biografi Fazlur Rahman
Ia kemudian memilih Amerika sebagai tempat berlabuh hingga akhir hayat. Ia menjadi guru besar di Universitas Chicago. Rahman lahir pada 21 September 1919 di Pakistan. Wilayah anak benua Indo-Pakistan dikenal telah melahirkan beberapa intelektual besar selain Rahman. Antara lain Sir Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan, dan Syah Waliullah.
Fazlur Rahman lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Maulana Shihab al-Din adalah ulama terhormat di Pakistan. Tak heran, di bawah didikan ayahnya, Rahman telah menghafalkan Alquran ketika berusia 10 tahun. Rahman mengawali pendidikan tinggi di Universitas Punjab, Lahore.
Setelah mengantongi gelar dari Punjab, ia melanjutkan kuliah di Oxford dan menulis disertasi tentang Ibnu Sina di bawah bimbingan S Van Den Bergh dan H.A.R. Gibb. Setelah lulus, Rahman melanjutkan karir di Amerika.
Satu dekade kemudian, ia dipanggil oleh Perdana Menteri Ayyub Khan ke Pakistan. Ia diminta untuk memimpin lembaga penelitian Institute of Islamic Research. Sebuah lembaga riset yang prestisius. Sebagai anak bangsa yang cinta terhadap negerinya, ia ambil kesempatan tersebut dengan niat memajukan Pakistan.
Di Pakistan, ia banyak menulis buku dan jurnal. Sayang, pemikiran-pemikirannya tak sesuai dengan masyarakat Pakistan secara umum. Ia diusir dan kembali ke Amerika.
Karya
Dalam Bahasa Inggris, karya Rahman yang berbentuk buku setidaknya ada sembilan buah. Antara lain Avicenna Psycholog; Propesy in Islam, Philosophy and Ortodoxcy; Avicenna De Anima, Being the Psysicological Part of Kitab al Syifa’; Islamic Metodology in History; Islam; Phylosophy of Mulla Sadra Syirazi; Major Themes of the Quran; Islam and Modernity; dan Healt and Medicine in Islamic Tradition.
Adapun buku yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia antara lain Islam, Tema-Tema Pokok Alquran, Membuka Pintu Ijtihad, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, dan Filsafat Shadra.
Pemikiran dan Gagasan
Rahman merupakan salah satu pemikir Islam terkemuka di era modern. IBTimes telah beberapa kali mengulas pemikiran Rahman. Antara lain tentang metode menafsirkan Alquran dengan metode double movement, gugatan terhadap konsep ijma’, konsep kenabian dan wahyu, konsep syafaat, dan lain-lain.
Selain itu, salah satu konsentrasi utama Rahman adalah tentang pendidikan. Sebagai intelektual neo modernis, ia menyebut bahwa umat Islam harus menghapuskan pendidikan yang dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Kedua hal tersebut, menurutnya, harus diintegrasikan dengan baik.
Ia juga mengkritik konsep pendidikan Islam yang bertumpu pada hafalan. Padahal, menurut Rahman, pendidikan yang ideal bertumpu pada kemampuan untuk melakukan analisa.
Rahman ingin menghilangkan sistem pendidikan dikotomis yang, di beberapa tempat, masih berlaku. Pendidikan Islam adalah proses menjadi manusia integratif, yang memiliki sifat kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, dan jujur.