Fenomena Post-Truth dan Al-Qur’an – Rentang tahun 2016 merupakan waktu yang menarik bagi banyak sarjana politik. Setidaknya terjadi dua even besar memprihatinkan yang berskala global kala itu, yakni keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat.
Masalahnya bahwa hasil akhir pada keduanya bukan digerakkan oleh keputusan yang objektif berdasar realitas, melainkan oleh persepsi kebenaran alternatif yang diyakini penduduk mayoritas di kedua negara.
Lebih menarik lagi bahwa meski berbeda negara, semuanya memiliki keyakinan fiktif yang sama. Mereka meyakini bahwa imigran gelap akan menguasai lapangan kerja dan menghempas ‘pribumi’. Jadilah timbul kecemasan publik yang tak terbendung.
Hal itu kemudian menjadi alasan utama rakyat memaksa negara agar seketika beralih menjadi eksklusif dan proteksionis. Akibatnya, bermacam hubungan bilateral yang ada ditahan dalam status peninjauan ulang. Sebagai resultan akhir, tentu ini menyebabkan ketegangan ekonomi-politik di tingkat global.
Demikian pula di Indonesia, hal yang hampir serupa terjadi saat pilpres. Entah mengapa sebuah kontestasi politik yang seharusnya penuh kearifan dan kebijaksanaan berisi dengan yel-yel perang kepada yang liyan, yang kehadirannya seakan seperti parasit bagi yang lain.
Narasi dua kubu itu berbeda, namun semangat permusuhannya sama belaka. Seolah satu pihak pendukung calon meyakini dirinya paling nasionalis, dan menuduh oposisi sebagai anti konstitusi. Sedangkan di pihak lain bersikukuh membawa misi ketuhanan dan menghujat rival sebagai pengingkar Tuhan.
Fenomena Post-Truth dalam Sinaran Al-Qur’an
Baik yang terjadi di Inggris, Amerika dan di negeri ini semuanya menuju kepada satu fenomena yang disebut post-truth. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kenyataan dikalahkan oleh keyakinan buta, irasional dan mengandung emosi berlebihan. Bahayanya adalah tidak ada ruang untuk dialog dan kompromi, melainkan hanya permusuhan di antara mereka yang mendaku dari kelompok berbeda.
Lebih jauh lagi bila ditelisik, fenomena post-truth ini mengungkapkan watak sebagian kelompok manusia atau politisi yang berpegang kepada keyakinan ketimbang kebenaran, nafsu kekuasaan ketimbang keimanan. Tanpa mereka sadari, ternyata mereka malah menyesatkan diri sendiri dan banyak orang.
Perihal ini manusia sudah mendapatkan peringatan dari Tuhan melalui firman-Nya;
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka…” (Q.S. Al-Baqarah [2]. 6-7).
Bahwa post-truth adalah kondisi hati manusia yang telah ‘terkunci’. Sehingga, kabar yang benar dari Rasul sekalipun menjadi mustahil untuk sampai ke mereka. Apalagi ajakan untuk berdialog dan membangun negara bersama-sama juga sia-sia saja.
Ketimbang membuka telinga dan mendengar untuk menemukan titik kompromi, mereka malah lebih dulu menolak sembari mengatakan dengan congkak bahwa merekalah yang ‘beriman kepada Allah dan hari akhir’, padahal sejatinya mereka hanya menipu orang lain dan diri mereka sendiri (Q.S. Al-Baqarah [2], 8).
***
Kontradiksi kembali terlihat, ketika dilakukan upaya demokratis untuk mengkritik mereka. Diperingatkan bahwa mereka telah merawat kebohongan dan menyebabkan permusuhan yang menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa. Pengungkapan fakta ini justru mereka balas dengan pembelaan,”Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan!” (Q.S. Al-Baqarah [2], 11).
Tentu tak henti manusia lain mengingatkan agar mereka menyadari kesalahan dan menanggalkan keyakinan fiktif itu. Namun, kembali lagi sia-sia karena dari mereka yang terucap hanyalah cemooh,”Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?” (Q.S. Al-Baqarah [2], 13).
Manusia-manusia post-truth ini mungkin memang abadi dalam kesesatan mereka. Sehingga, tidak akan pernah menemukan jalan kembali kepada kebenaran. Mereka bisa jadi tiba-tiba menerima dan mendukung kebenaran, namun kemudian berbicara di belakang dengan musuh demokrasi,”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok”. (Q.S. Al-Baqarah [2], 14).
Empat Upaya Menangkal Fenomena Post-Truth
Post-truth dalam politik merupakan bahaya besar yang harus dihadapi. Sebabnya jelas, bahwa ia melahirkan konflik sosial yang begitu besar yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa, negara dan kemanusiaan secara keseluruhan. Tidak mungkin membangun demokrasi yang berkeadaban kala dialog dihadiri oleh orang-orang yang berpijak kepada fiksi ketimbang fakta yang terjadi.
Alih-alih sebuah dialog, yang akan ada hanya retorika kosong nan berputar-putar untuk mengkhotbahkan kebenaran versi masing-masing. Dengan itu malah semakin subur fanatisme, tumpul daya kritis untuk melawan ketidakadilan sistem dan nihil pula tindakan konkrit yang jitu untuk mengubahnya.
Namun sejatinya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi post-truth. Tidak perlu jauh-jauh, caranya dapat ditarik dari Al-Quran, bahkan pada ayat yang telah dikutip di atas. Yaitu dengan menyadari dan melakukan yang diingkari oleh kaum post-truth. Hal-hal itu adalah membuka diri, memegang teguh prinsip kejujuran, melakukan perbaikan nyata dan mengasah pengetahuan juga nalar berpikir (Q.S. Al-Baqarah [2]. 6-14).
Lebih detailnya begini. Pertama, manusia harus senantiasa terbuka untuk mendengar dari setiap sisi, ketimbang bersikukuh mengunci posisi (Q.S. Al-Baqarah [2]. 6-7). Jika seseorang sudah bebas dari sikap kaku itu, maka mutiara kebijaksanaan dari orang lain mulai tampak terang di mata mereka, dan dialog pun dimungkinkan.
Kedua, setiap orang musti menyadari bahwa sesungguhnya tujuan mereka adalah sama, yakni untuk beribadah kepada Tuhan dan menabung bekal untuk hari di mana segala amal perbuatan mereka ditimbang oleh-Nya (Q.S. Al-Baqarah [2], 8). Visi akhirat ini penting untuk meneguhkan nilai moral-spiritual manusia.
Dengan begitu manusia akan selalu berhati-hati dalam bertutur kata dan senantiasa menyampaikan kebenaran meskipun pahit dan menyakitkan. Mereka tahu, bahwa kebohongan sekecil apapun pasti akan diganjar oleh Tuhan, begitu pula sebaliknya.
***
Ketiga, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan untuk menangkal post-truth adalah dengan melibatkan diri dalam pembangunan dan demokrasi (Q.S. Al-Baqarah [2], 11). Partisipasi aktif itu akan meminimalisir mitos-mitos karena perjumpaan langsung seseorang dengan realitas.
Pun yang terpenting bahwa partisipasi itu akan membangun kemampuan seseorang untuk berinteraksi dan berdialog dengan beragam individu yang sungguh berjuang di lapangan. Hal ini menjadikannya semakin dekat dengan kenyataan dan memperkuat kemampuan kolektif bersama manusia lain dalam menciptakan perubahan sosial.
Keempat, ini menjadi sesuatu yang sering terlupakan adalah membangun pengetahuan dan nalar berpikir agar dapat secara jeli mengidentifikasi manakah suatu kebenaran dan mana suatu keyakinan (Q.S. Al-Baqarah [2], 13). Melawan post-truth sangat mudah bila berbekal wawasan luas dan agilitas akal untuk menguji keabsahan informasi.
Dikatakan sering terlupakan, karena memang pada faktanya manusia jarang mau berkhidmat di jalan ilmu pengetahuan. Dampaknya, sering ditemukan sikap yang umumnya reaksioner dan membawa pada keyakinan alternatif tersendiri.
Demikian uraian di atas, semoga dapat menunjukkan bahwa bagi Al-Qur’an fenomena post-truth bukanlah sesuatu yang mustahil diatasi. Cukup dengan memiliki sikap terbuka, memegang teguh nilai kejujuran, melibatkan diri dalam pembangunan kehidupan dan mengasah kemampuan kritis maka post-truth akan dapat dilampaui.
Editor: Saleh