Kehidupan beragama di Indonesia memiliki motif yang sangat menarik untuk diresapi bersama sebagai bahan evaluasi diri. Banyak di antara kita yang menjalani kehidupan beragama berdasarkan pada kebiasaan, petuah, dan budaya yang terkadang memang tidak sesuai dengan nilai-nilai semangat berislam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Hasilnya, berupa penerapan ilmu agama di masyarakat yang terkadang terlalu jauh dari substansi kita dalam menjalankan agama itu sendiri. Dalam hal ini, yaitu agama Islam. Pelajaran kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah kehidupan yang sederhana. Harta yang dimiliki oleh umat Islam sudah dicontohkan oleh nabi kita agar dapat digunakan untuk keperluan dakwah, tidak untuk kepentingan duniawi saja.
Pada masa sekarang, kehidupan orang-orang yang mengaku beragama justru terlihat sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama Islam itu sendiri. Agama hanya dijadikan stempel pada setiap kegiatan yang mereka adakan agar terkesan kegiatan tersebut merupakan kegiatan keagamaan. Walau sebenarnya dari sisi substansi, bila ditinjau lebih dekat, terkadang terasa hampa dari nilai-nilai agama itu sendiri.
Feodalisme dalam Tradisi Beragama Masyarakat
Bila kita membaca buku “Agama Jawa” karya Cliffort Gertz, maka kita bisa menemui fakta bahwa kehidupan beragama kita saat ini dengan masa sebelum kemerdekaan masih tidak jauh berbeda. Salah satu hal yang masih sering kita temui pada kehidupan beragama masyarakat di Indonesia, yaitu tumbuh suburnya feodalisme.
Sistem kehidupan masyarakat yang dinilai berdasarkan kasta. Mereka yang memiliki kasta lebih tinggi berhak untuk mengatur kehidupan kasta di bawahnya. Sedangkan kasta yang rendah hanya boleh tunduk dan patuh pada keinginan kasta di atasnya.
Feodalisme muncul dari dunia Barat yang menurut catatan Ibnu Rusyd mulai muncul pada masa tahun 900-an M. Seperti yang kita ketahui, dimana pada masa tersebut justru dunia Barat alias Eropa sebenarnya sedang dalam masa kegelapan alias dark age. Sangat tidak relevan bila budaya yang dilakukan oleh orang-orang terbelakang tersebut masih kita ikuti sampai detik ini di bumi Indonesia.
Feodalisme dalam praktik keagamaan di Indonesia masih sering kita temui di pondok dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Lebih dari itu, feodalisme masih kita temui dengan begitu kental di dalam beberapa komunitas masyarakat Islam di Indonesia. Bercermin dari sejarah bangsa lain, sudah banyak bukti feodalisme hanya menghancurkan golongan masyarakat lemah dan memperkuat masyarakat kuat.
Feodaslisme di lingkungan umat Islam Indonesia semakin sulit untuk dibasmi akibat adanya oknum yang memanfaatkan kedudukan mereka dalam komunitas masyarakat tersebut. Biasanya dimanfaatkan guna penggiringan massa untuk kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Bahkan sering kali feodalisme yang kuat ini mampu menghambat pembangunan sebuah wilayah karena dikalahkan oleh pengaruh tokoh dalam komunitas masyarakat tersebut yang dianggap lebih tinggi dari struktur pemerintahan yang ada.
Kehidupan Glamor dan Pesta Pora Agama
Keprihatinan terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia semakin menjadi-jadi ketika melihat kehidupan glamor para penganut agama Islam di Indonesia. Di tengah kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi dan kemampuan ekonomi yang dikalahkan oleh inflasi. Justru kehidupan glamor sering kali kita lihat dipertontonkan oleh pemimpin-pemimpin komunitas agama Islam di Indonesia.
Menjadi lebih sedih lagi ketika masyarakat justru terbuai dengan kehidupan glamor itu. Masih banyak acara atau upacara keagamaan di masyarakat yang bila kita lihat kegiatan itu kurang berdampak pada kehidupan masyarakat luas, tetapi menelan biaya yang begitu tinggi. Padahal tingginya biaya itu bila dialihkan ke kebutuhan umat yang lainnya bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Misal saja kita lihat upacara peringatan khitanan yang begitu mewah sampai puluhan juta, penyelenggaraan tabligh akbar yang menghabiskan dana sampai ratusan juta, kemudian sering kita saksikan juga kegiatan ziarah yang menghabiskan puluhan juta rupiah sekali jalan untuk satu rombongan. Inilah contoh kecil praktik-praktik glamor dalam kehidupan bergama kita yang harus dikurangi dan dialihkan pada kegiatan yang lebih produktif.
Perlu diingat, agama kita mengajarkan kehidupan yang sederhana. Tidak perlu mengadakan kegiatan pesta pora agama yang mana efektivitasnya dalam menghidupkan nilai-nilai Islam juga kurang. Sudah saat saatnya kita sadar. Sumber daya umat Islam yang diberi nikmat lebih oleh Allah jangan hanya dijadikan ajang pesta pora agama. Justru menjadi modal untuk memajukan kelompok masyarakat lain melalui berbagai program yang berkelanjutan.
Catatan
Praktik-praktik keagamaan yang begitu glamor tetapi kurang memberikan efek dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan lebih baik dikurangi. Seharusnya kita beragama itu berorientasi pada hidupnya nilai-nilai agama dalam setiap perilaku dan kehidupan kita sehari-hari. Bukan mempercantik etalase beragama kita dengan membuat acara dan upacara keagamaan mewah, tetapi lepas dari esensi diturunkanya agama Islam ke dunia.
Mari mengingat tujuan kita ada di dunia menjadi khalifah fil ard, maka kita harus bisa bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di dunia. Dengan sepenuh tenaga dan keyakinan, kita usahakan kehidupan yang layak bagi setiap makhluk hidup di muka bumi dengan nilai-nilai Islam.
Editor: Soleh
Tulisan yang menari, kunjungi juga web https://walisongo.ac.id/
Tulisan yang menarik, kunjungi juga web https://walisongo.ac.id/