Falsafah

Soren Kierkegaard: Eksistensi Juga Berhubungan dengan Cara Beragama

3 Mins read

Soren Kierkegaard – Era kejayaan ilmu pengetahuan telah dialami peradaban Eropa pada abad ke-19. Untuk memahami kenyataan, terjadi kecenderungan untuk meletakkan kemampuan pikiran sebagai alat atau instrumen yang paling tinggi pada masa itu. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa hasil pemikiran yang pasti dan positif adalah tolak ukur dari kebenaran. Dari sinilah, maka hasil pikiran yang berangkat dari fakta-fakta konkret, dijadikan sebagai dasar-dasar umum untuk suatu pemikiran dalam memahami realitas.

Paradigma kebenaran seperti ini dikenal sebagai istilah “kebenaran objektif” yang mana merupakan suatu kebenaran sesuai fakta dan dibuktikan oleh survei. Konsekuensi dari adanya kebenaran objektif inilah yang menjadikan manusia harus tunduk kepadanya. Manusia hanya berfokus pada kebenaran-kebenaran yang diakui secara objektif serta harus patuh kepadanya.

Paradigma objektif ini telah memasuki ranah keyakinan, dimana manusia harus menyadarkan keyakinannya pada sesuatu yang dapat diverifikasi dengan nalar pemikiran. Dengan didukung oleh bukti-bukti nyata yang tidak terlepas dari konsekuensi bahwa manusia harus patuh pada kebenaran-kebenaran objektif.

Fenomena yang terjadi pada abad modern inilah yang memunculkan suatu tanggapan dari salah seorang filsuf sebagai sesuatu yang berpotensi menghilangkan eksistensi manusia, khususnya dalam keberagamaan. Tokoh filsuf tersebut adalah Soren Kierkegaard, ia telah berhasil menorehkan gelar dirinya sebagai bapak eksistensialisme.

Profil Singkat Soren Kierkegaard

Soren Kierkegaard lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di Copenhagen, Denmark. Ayah Kierkegaard, Michael Pedersen Kierkegaard, sangat berperan besar dalam perkembangan dirinya. Ayahnya sering mengundang berbagai temannya untuk mendiskusikan filsafat sampai larut malam. Kierkegaard sering kali mendengarkan diskusi tersebut dan tidak jarang ia juga mengagumi bagaimana mereka saling bertukar pikiran.

Hal ini yang menjadikan ayahnya sebagai seseorang yang berperan penting dalam perkembangan pemikiran Kierkegaard secara tidak langsung. Artinya, ia menjadi seorang filsuf dengan berbagai macam ide-idenya merupakan pelajaran tersirat dari kebiasaan ayahnya.

Baca Juga  Al-Baqillani: Pengikut Asy’ariyah yang Berbeda Pandangan dengan Pendirinya

Dalam pendidikan agama, ia dididik secara keras. Atas didikan ini, pada  suatu waktu ia memiliki asumsi bahwa agama yang dianutnya merupakan agama tidak manusiawi. Dari sinilah ia mendapatkan pandangan filosofisnya dengan mempertanyakan eksistensi diri manusia, yaitu bagaimana manusia dapat dianggap memiliki eksistensi?

Kierkegaard mengasumsikan bahwa kebebasan manusia untuk membuat sebuah keputusan merupakan syarat dimana manusia dapat bereksistensi. Eksistensi manusia adalah ketika ia mampu menyatakan keberadaan dirinya di dunia ini dengan memutuskan menjadi apapun secara mandiri. Hal inilah yang merupakan hasil dari ketidaksetujuannya terhadap pendidikan keagamaan secara keras dan mengekang.

Asumsi Kierkegaard  mengenai hidup yang sejati adalah sebagaimana dihayati, bukan hanya dipikirkan. Hidup dalam penghayatan akan menjadikan manusia dapat memaknai kehidupan ini secara mandiri. Sebab secara tidak langsung, Kierkegaard sedang memberi tanggapan negatif terhadap corak rasional pada abad modern.

Ia menganggap bahwa rasionalitas modern hanya terpaut pada permasalahan ‘secara umum’, dan tidak dapat ‘secara khusus’ menyelesaikan permasalahan lebih kompleks. Selain itu, penghayatan inilah yang mengindikasikan bahwa manusia harus hidup sesuai kesadaran mandiri, yaitu “kesadaran subjektif”.

Keberagamaan Kaum Eksistensialisme

Filsafat Kierkegaard memiliki kecenderungan pada paradigma subjektif, bahwa kebenaran yang lebih penting untuk dicari. Kebenaran tersebut yang sesuai dengan pribadi individu itu sendiri secara subjektif. Ia menyatakan bahwa kebenaran yang terpenting adalah kebenaran untuk masing-masing individu “untuk dirinya” yang dimana dapat menyelesaikan permasalahan pribadi. Ide ini berasal dari asumsinya yang memandang singkatnya kehidupan yang dialami manusia, sehingga harus secepatnya membuat sebuah keputusan.

Analoginya seperti seseorang yang tertimpa musibah, ia tidak akan mempertanyakan penyebab mengapa ia tertimpa musibah?. Tetapi, yang terpenting itu bagaimana ia keluar dari musibah tersebut ‘sekarang juga’. Sehingga ia harus membuat sebuah keputusan. Hal ini  bertentangan terhadap kegiatan kaum filsuf yang suka membuang-buang waktunya untuk mendiskusikan hal-hal yang tidak penting dalam kehidupannya.

Baca Juga  Hypatia, Filsuf Perempuan yang Dibakar karena Penelitian Ilmiah

Melalui konsep ini, maka Kierkegaard mengemukakan persoalan keagamaan. Baginya, keberagamaan adalah sebagaimana yang dihayati diri pribadi seseorang. Keyakinan dalam beragama adalah permasalahan eksistensial yang dimana permasalahan ini hanya dapat didekati dengan kesadaran subjektif melalui penghayatan sebelumnya.

Oleh karena itu, ia memandang bahwa keyakinan dan ilmu pengetahuan layaknya api dan air. Keduanya, tidak bisa digabungkan karena berpotensi melenyapkan satu sama lain. Ia mengkritik berbagai tokoh-tokoh agama yang seringkali membawa agama pada ranah rasionalitas untuk membuktikan bahwa agamanya benar. Karena yang menjadi masalah bukanlah agama tersebut benar atau tidak, akan tetapi loyalitas keberagamaanlah yang akan luntur karena sikap mereka yang menuntut sebuah pembuktian.

Kierkegaard ingin menekankan sikap loyalitas beragama, yaitu beragama dengan kesadaran sendiri. Dengan didasari pada konsep eksistensialisme, bahwa manusia dapat menjadi sesuatu secara bebas. namun, jika manusia melakukan atau memutuskan beragama atas dasar iming-iming atau ancaman, berarti secara tidak langsung manusia melelang harga dirinya. Dalam artian manusia akan “me-‘Laku’-kan” jika didasari pada harga yang sesuai dengan keinginan.

Hal yang ingin ditekankan oleh Kierkegaard, manusia harus beragama dengan kesadaran sendiri bukan dengan didikte oleh siapapun dan apapun. Hal inilah menurut penulis merupakan keberagamaan kaum eksistensialisme.

Referensi

Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Edited by Yulianti Liputo and Andityas Prabantoro. Translated by Rahmani Astuti. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.

Armawi, Armaidy. “Eksistensi Manusia Dalam Filsafat Soren Kierkegaard.” Jurnal Filsafat 21, no. 1 (2011): 21–29.

Editor: Dae Alifia

Yoga Putra Perdana
1 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Peminat Kajian Keislaman dan Filsafat
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *