Inspiring

Hypatia, Filsuf Perempuan yang Dibakar karena Penelitian Ilmiah

2 Mins read

Mempelajari filsafat, tentu saja tidak bisa terlepas dari hal-hal yang menjadi substansi, misalnya tokoh-tokohnya, atau yang biasa dikenal dengan filsuf. Bagaimanapun yang diajarkan di dalamnya, merupakan produk pemikiran dari para filsuf. Sumbangsihnya sangat dibutuhkan demi kemajuan keilmuan di bidang ini.

Bagi pembaca yang mendalami filsafat, pasti mengenal Aristoteles, Plato, Socrates, dan banyak filsuf lain dari masa Klasik hingga Kontemporer. Namun, dari sekian tokoh yang familiar, apakah ada tokoh yang luput dari pandangan? Jawabannya, ada! Salah satu tokoh yang terlupakan tersebut adalah Hypatia, seorang filsuf perempuan bermadzhab Neoplatonisme.

Oleh sebab itu, tulisan ini akan mengupas tentang filsuf yang terlupakan tersebut, supaya pembaca yang sedang mempelajari filsafat tidak melewatkan pembelajaran tentang tokoh yang satu ini. Bagaimanapun, belajar secara terstruktur tentunya akan memberikan wawasan yang lebih baik juga.

Mengenal Hypatia dari Alexandria

Dia merupakan salah satu filsuf perempuan dari Yunani Kuno yang pertama dikenal di dunia. Dia biasa dikenal dengan Hypatia dari Alexandria, sebuah kota yang menjadi tempat kelahirannya di tahun 370 Masehi, sekaligus sentral (baca: ibu kota) Keuskupan Romawi di Mesir. Selain filsuf, Hypatia juga seorang Ilmuwan, terutama bidang matematika dan astronomi, sama seperti ayahnya, Theon.

Museum of Alexandria menjadi tempat Theon untuk mendedikasikan dirinya sebagai pengajar. Dia sangat ingin putrinya, Hypatia mendapatkan kehidupan sebagai manusia yang sempurna. Sebab itu, Theon memastikan Hypatia mendapatkan pendidikan Sains yang maksimal. Terkait ibunya, tidak diketahui secara bagaimana kisahnya selain sebagai seorang ibu yang melahirkan putri seorang filsuf dan matematikawan.

Hypatia mengenyam pendidikan di Athena. Setelahnya, dia kembali ke kota kelahirannya. Dia kemudian diangkat menjadi seorang profesor di perguruan tinggi yang sama dengan ayahnya. Seluruh rangkaian dalam hidupnya, hampir mirip dengan jalan hidup ayahnya, bahkan hingga pengabdiannya.

Baca Juga  Ruh, Modal Utama Seorang Guru

Dia mengabdikan dirinya menjadi pengajar di Museum of Alexandria selama 20 tahun lamanya. Di sana, Hypatia membuka kelas filsafat Plato. Oleh sebab itu, dia juga banyak dikenal sebagai filsuf neoplatonik. Setiap kelas yang diampunya, pasti dipenuhi dengan murid yang tertarik oleh cara mengajarnya. Bahkan, banyak murid dari luar Alexandria yang berlomba-lomba masuk perguruan tinggi supaya bisa diajar olehnya.

Semasa hidupnya, dia menulis buku tentang astronomi, geometri, aljabar, dan menyempurnakan astrolabe, sebuah perangkat pencari bintang untuk meningkatkan pencarian konstelasi di langit yang masih primitif.

Pokok Pemikiran

Sebenarnya, pemikiran-pemikiran inti dari Hypatia tidak banyak yang bisa dikutip, karena sebagian besar karyanya terbakar habis saat Museum of Alexandria terbakar oleh orang-orang yang iri dengan kecermelangannya. Informasi mengenai Hypatia banyak diperoleh dari filsuf dan sejarawan yang sezaman dengannya.

Namun, beberapa yang bisa ditarik dari informasi-informasi mengenai Hypatia tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, Seorang Neoplatonik. Diketahui, Hypatia adalah seorang filsuf dengan aliran neoplatonisme, aliran filsafat yang dipengaruhi pemikiran Plato.

Kedua, Matematika dan Astronomi. Semasa hidupnya, Hypatia banyak berdedikasi dalam dua bidang ini. Terbukti dalam keberadaannya sebagai pengajar yang masyhur dalam bidang matematika dan astronomi.

Kehidupan yang Berakhir Tragis

“Hypatia adalah perempuan pertama yang dibunuh karena penelitian ilmiah.” (Baez, 1970). Seumur hidupnya, Hypatia memang mengabdikan dirinya dalam dunia keilmuan, hingga sampai akhir hayatnya pun dalam urusan keilmuan, yakni dalam proyek penelitian ilmiahnya.

Sebenarnya, yang terjadi ini bukanlah konflik agama dan ilmu pengetahuan langsung, namun merupakan sebuah pertarungan perebutan jabatan. Saat meninggal, Hypatia hendak berusia 60 tahun, namun tetap kharismatik. Di usia tuanya, dia tetap saja dianggap sebagai ancaman bagi Uskup Cyril, seorang Pengkhotbah radikal Kristen saat itu. Cyril sangat marah saat Hypatia sedang berbicara di depan kerumunan orang.

Baca Juga  Dari Wajibkan Materialisme hingga Halalkan Lotre: Polemik Tiga Cendekiawan dari Bengkulu

Saat itu, hegemoni Gereja memang sangat dominan. Hypatia merupakan seorang penganut paganisme (baca: kaum pagan), yang saat itu dianggap sebagai penyembah berhala. Dia juga dianggap telah menentang ajaran dan doktrin Gereja dengan ilmu pengetahuannya.

Di hari kematiannya, tepatnya tahun 415 Masehi, yang terjadi saat itu Hypatia sedang beranjak dari  perguruan tinggi tempatnya mengajar dan hendak pulang menuju rumahnya. Namun, dia justru disergap oleh orang-orang bepakaian hitam yang berjumlah sekitar lima ratus orang. Hingga akhirnya dia diseret dengan kereta kuda yang ditungganginya menuju Gereja.

Tindakan-tindakan keji secara bertubi-tubi dilontarkan orang-orang berpakaian hitam itu kepada Hypatia. Bahkan, sepanjang jalan menuju Gereja, Hypatia dihujani pukulan, ditelanjangi, dikuliti dengan cangkang kerang, hingga puncaknya tubuh Hypatia dicabik kemudian dibakar.

Editor: Soleh

Fachrul Dedy Firmansyah
6 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *