Satu hal yang mendorong jamaah haji berburu pahala di dua masjid suci adalah hadits tentang keutamaan shalat di Masjidil Haram yang mempunyai kelipatan 100.000 kali dan shalat di Masjid Nabawi yang 1000 kali lipat pahalanya dibanding shalat di masjid lainnya.
Bagaimana dengan jemaah haji lansia, yang sulit berjalan, sulit bergerak terlalu jauh, dan kelalahan? Apakah boleh mendapat rukhshah (keringanan) salat di hotel?
Prof. Madya. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc. M.Ag, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memberikan tiga argumen rukhshah untuk jemaah haji lansia untuk shalat di hotel.
Pertama, al-Maqsyaqqatu tajlib at-taysir (kondisi sulit bisa mendatangkan kemudahan). Ini bermakna ketika salat itu dalam kondisi normal, dilaksanakan di masjid. Maka dalam situasi tidak normal, tidak masalah untuk ditunaikan di hotel.
Kedua, al-amr idzaa dlaaqattasa’a (manakala sesuatu dirasakan sulit ditunaikan, maka terbuka untuknya fasilitas kemudahan). Karena melaksanakan salat di masjid itu diarasakan sulit bagi lansia resiko tinggi, khawatiran berdesakan, jarak jauh dan cuaca panas, maka kelonggaran dengan cara shalat di hotel adalah diperkenankan.
Ketiga, adl-dlararu yuzaalu (setiap potensi kerugian berupa apapun harus ditiadakan). Kaidah ini mengamanatkan untuk dilakukan ihtiar maksimal untuk meniadakan berbagai kerugian atau potensi yang merugikan apapun bentuknya. Dalam konteks banyaknya jemaah haji lansia saat ini, potensi kerugian itu berupa kelelahan atau sakit akibat suhu panas, jarak dan berdesakan harus ditiadakan.
Kiai Wawan yang juga Dosen Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga tersebut menjelaskan bahwa sejak periode mazhab, sahnya berjamaah itu tidak hanya ditentukan oleh kesatuan tempat tapi oleh suara yang masih terdengar oleh makmum.
“Itu justru disampaikan dalam salah satu pandangan Mazhab Syafi’i. Imam Ibnu Hazm al Andalusia meskipun seorang tekstualis mendukung pandangan ini. Ia ilustrasikan seberapa jauhnya jarak imam dan makmum bahkan dipisahkan oleh sungai yang sangat lebar. Jika suara imam masih terdengar maka berjamaah itu sah adanya,” ujar Ustadz Wawan.
Perspektif maqashid asy-syariah mengajarkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah yang diperintahkan agama tetap harus memperhatikan aspek menjaga keselamatan jiwa dan raga (hifz an-nafs).
Jika itu tidak dilakukan sama dengan bagian dari tindakan bunuh diri yang dilarang agama.
“Memperhatikan pahala itu penting tapi agama ajarkan perhatikan jiwa juga sama pentingnya,” tegas Alumni Angkatan 1 Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut Jawa Barat ini.
Pewarta: Azaki Kh
Editor: Yusuf