Falsafah

Rene Descartes: Tuhan Ada, Maka Aku Ada

4 Mins read

Masa Rene Descartes adalah suatu selang waktu dimana filsafat skolastik mengalami pengukuhan dan standarisasi berbagai prinsip-prinsip filosofisnya. Sayangnya standarisasi itu lebih bermakna formalisasi pengajaran filsafat di sekolah-sekolah sekaligus pembungkaman atas kesadaran mengenai keterbatasan dan kelemahan filsafat Aristotelian Kristen.

Filsuf-filsuf yang hebat di zaman Rene Descartes lantas mencoba menghadirkan pandangan baru sebagai koreksi atas filsafat skolastik. Hal ini celakanya tidak diterima dengan tangan terbuka oleh otoritas saat itu. Inkuisitor mengajukan tuntutan untuk memenjara para pemikir yang dianggap menentang pandangan filsafat skolastik yang dilembagakan gereja.

Galileo adalah salah satu yang menerima kemalangan. Ia ditangkap hingga akhirnya meninggal dalam dekaman. Pandangan-pandangan Galileo lantas diharamkan oleh Gereja dan kasusnya dijadikan contoh betapa Gereja tidak segan. Demikian bisa dimaklumi karena filsafat terintegrasi dengan doktrin gereja sehingga ia dianggap turut sakral dan pasti benar.

Dalam setting sosial itulah, Rene Descartes menghadirkan salah satu karya besarnya yang berjudul Diskursus dan Metode. Sebagaimana yang akan kita uraikan, karya itu merupakan upaya Descartes untuk melampaui keterbatasan pandangan filosofis lama di satu sisi sembari berhati-hati melangkah di bawah sorot mata institusi Gereja yang menghegemoni segala definisi mengenai pengetahuan (filsafat).

Metode Filosofis Cartesian: Keraguan Radikal

Rene Descartes menganggap bahwa dibutuhkan satu metode yang dapat membantu dirinya menemukan kebenaran. Langkah awalnya ialah dengan meragukan segala pengetahuan yang selama ini telah didapatkan.

Sebab menurut Descartes, banyak hal yang kita anggap bahkan yakin benar ternyata belakangan bisa ditemukan keliru. Pula, banyak hal lainnya yang kita terima begitu saja tanpa diperiksa benar-salahnya. Fakta kecenderungan mengetahui itu membuat pengetahuan kita tercampur-baur antara segala yang benar dengan yang mungkin salah.

Hal krusial lainnya yang dipandang sebagai masalah bagi Descartes adalah pembangunan pengetahuan yang dilakukan dengan melibatkan banyak individu. Baginya, proses itu membuat pengetahuan tidak dibangun secara sistematis dan harmonis dimana pengetahuan menjadi penuh dengan kontradiksi-kontradiksi.

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Islam Menyanggah Tesis Infinite Regression

Ia membandingkan suatu kota yang disusun oleh seorang arsitek, dengan kota lain yang dibangun oleh banyak arsitek. Jelas, susunan yang teratur akan ditemukan pada kota yang dibangun oleh arsitek tunggal. Sebab satu arsitek memiliki kelebihan dalam memastikan bangunan kotanya dalam satu visi.

Dua asumsi ini dapat dianalogikan seperti usaha menemukan apel yang busuk di dalam sekeranjang apel. Cara terbaik adalah dengan mengeluarkan terlebih dahulu semua apel dari keranjang. Baru kemudian memeriksa satu persatu apel itu. Mana apel yang masih masak, dapat kembali dimasukkan dalam keranjang. Mana yang busuk, dapat dibuang. Dengan cara ini, dapat dipastikan bahwa tidak ada apel busuk di dalam keranjang.

Aku Berpikir Maka Aku Ada

Berpijak pada dua asumsi itu, mula-mula Descartes mendakwa segala jenis pengetahuan sebagai mungkin keliru. Alat indrawi seperti mata misalnya menampilkan benda-benda langit sebagai benda kecil, padahal nyatanya mereka sangat luas. Pun, daya akal tidak juga dapat diandalkan setiap saat mengingat ia sering terkecoh ketika diri sedang bermimpi. Kesimpulannya, segala yang dipikirkannya, bisa keliru.

Tapi keraguan Descartes itu akhirnya menyerah ketika berhadapan dengan ‘Diri’. Menurutnya, ‘Diri’ atau ‘Jiwa’ adalah entitas yang mengada tatkala berpikir atau dengan kata lain berpikir adalah esensi dari jiwanya. Bahwa jiwa berbeda dengan badan, karena tanpa sebagian badan (dalam nyata) maupun tanpa keseluruhan badan (dalam imajinasi) jiwa sama sekali tidak berubah.

Namun, sebaliknya badan tanpa jiwa yang rasional, tidak lagi menjadikan dirinya manusia. Manusia itu akan turun kasta dan esensinya menjadi layaknya hewan maupun otomaton yang mampu bergerak namun daya pikirannya terbatas.

‘Aku berpikir maka aku ada’ diterima Descartes sebagai prinsip pertama filsafatnya karena alasan lain. Baginya, mustahil untuk menegasikan eksistensi diri itu, mengingat tindakan menegasikan itu sendiri memerlukan sang subjek, yaitu ‘Diri’ atau ‘Aku’.

Baca Juga  Tasawuf Nusantara: Relevansi dalam Dinamika Islam Indonesia

Semakin meragukan ‘Diri’ maka saat itu juga ‘Diri’ semakin tampil sebagai Ada. Itulah yang kemudian menjadi adagium terkenal: ‘Aku berpikir maka aku ada’. Pun menurut Descartes, ‘Diri’ harus ‘Ada’ terlebih dahulu sebelum bertindak (berpikir).

Sampai disini kemudian pemikiran Descartes dipotong. Akibatnya, Descartes dituduh ateis karena meragukan segalanya, termasuk adanya Tuhan. Pada saat yang bersamaan Descartes juga dipandang penganjur humanisme karena meletakkan prinsip dasar filsafatnya pada ‘Aku’ atau ‘Diri’ yang tidak lain adalah jiwa manusia. Yang ironis, bahwa kesalahpahaman atas pemikiran Descates telah ia wanti-wanti sendiri.

Tuhan Ada, Maka Aku Ada

Selepas membuktikan ‘Diri’ atau jiwanya sebagai suatu eksistensi yang mustahil ditolak adanya, Rene Descartes melangkah menuju pembuktian Tuhan. Menurutnya, jiwa dengan kemampuan dan keterbatasan padanya tidak mungkin tercipta dengan sendirinya.

Atau dalam cara lain, mustahil ‘ketiadaan’ yang menciptaan jiwa sekalipun jiwa tidak sempurna. Ketiadaan tidak memiliki apapun untuk menciptakan; tidak sifat, kemampuan bahkan eksistensi. Maka, pastilah ada sesuatu yang menciptakan jiwa.

Lanjut pengamatannya, segala yang ada di dunia memiliki kesempurnaan atau kelebihan dengan ketentuan bahwa yang lebih sempurna menciptakan lainnya yang tingkat kesempurnaannya lebih rendah. Misal, manusia memiliki kesempurnaan yang jauh dibandingkan alat-alat dan mesin yang mereka rancang. Namun, alat-alat itu tidak akan melebihi kesempurnaan manusia.

Seturut itu, kata Descartes, ada sesuatu yang lain, yang menciptakan jiwa. Sesuatu itu adalah yang memiliki berbagai kesempurnaan pada berbagai sifat manakala sifat-sifat itu dayanya terbatas kala melekat pada jiwa. Sesuatu itu juga ia yakini memiliki kesempurnaan lain yang tidak dikenali oleh jiwa, karena sesuatu itu juga menciptakan hal-hal lain di semesta. Itulah, kata Descartes, dzat yang maha sempurna: Tuhan!

Baca Juga  Apa Epistemologi dari Kajian Islam di Kampus?

Penerimaan dan Penolakan

Kritik yang lebih tepat diajukan kepada Descartes bukanlah bahwa ia menolak Tuhan atau menjadikan manusia sebagai ukuran bagi kebenaran. Sebagaimana yang kita temukan dalam Diskursus dan Metode, secara eksplisit Descartes berusaha membuktikan bahwa adanya manusia karena adanya Tuhan yang memiliki kesempurnaan-kesempurnaan melebihi makhluknya.

Meski begitu nampaknya kekuatan argumentasi Descartes pada dalil ‘Aku berpikir maka aku ada’ lebih kuat ketimbang ‘Tuhan ada maka aku ada’. Pada dalil atau prinsip filsafat pertama itu banyak orang yang akan menemukan kebenaran yang sama. Eksistensi ‘aku’ adalah sesuatu yang aksiomatik yaitu nyata-disadari langsung kebenarannya oleh setiap orang.

Dalil kedua sayangnya tidak sekokoh dalil pertama. Fakta adanya variasi kemampuan diantara berbagai hal di dalam realitas, tidak kemudian menjadi pijakan yang kuat mengenai adanya dzat pencipta. Toh di realitas ada kelemahan-kelemahan dan apakah dzat Tuhan turut menanggung kelemahan sebagai suatu sifat ke-maha-an? Dalil kedua jelas mengandung lompatan logika yang seperti mengatakan satu-dua hal lain.

Jika Descartes sungguh disiplin dengan metode keraguannya, maka kelemahan argumen pada dalil eksistensi Tuhan menunjukkan kegagalan Descartes menjamin tidak ada ‘apel busuk dalam keranjangnya’. Atau jangan-jangan, Descartes juga menyadari kelemahan dalil yang ia gunakan dan sengaja membiarkan kepada pembaca untuk menemukan kesimpulan yang sama.

Editor: Soleh

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *