Fikih

Fikih Haji Lansia: 3 Argumen Rukhshah Salat di Hotel

1 Mins read

Satu hal yang mendorong jamaah haji berburu pahala di dua masjid suci adalah hadits tentang keutamaan shalat di Masjidil Haram yang mempunyai kelipatan 100.000 kali dan shalat di Masjid Nabawi yang 1000 kali lipat pahalanya dibanding shalat di masjid lainnya.

Bagaimana dengan jemaah haji lansia, yang sulit berjalan, sulit bergerak terlalu jauh, dan kelalahan? Apakah boleh mendapat rukhshah (keringanan) salat di hotel?

Prof. Madya. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc. M.Ag, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memberikan tiga argumen rukhshah untuk jemaah haji lansia untuk shalat di hotel.
 
Pertama, al-Maqsyaqqatu tajlib at-taysir (kondisi sulit bisa mendatangkan kemudahan). Ini bermakna ketika salat itu dalam kondisi normal, dilaksanakan di masjid. Maka dalam situasi tidak normal, tidak masalah untuk ditunaikan di hotel.

Kedua, al-amr idzaa dlaaqattasa’a (manakala sesuatu dirasakan sulit ditunaikan, maka terbuka untuknya fasilitas kemudahan). Karena melaksanakan salat di masjid itu diarasakan sulit bagi lansia resiko tinggi, khawatiran berdesakan, jarak jauh dan cuaca panas, maka kelonggaran dengan cara shalat di hotel adalah diperkenankan.

Ketiga, adl-dlararu yuzaalu (setiap potensi kerugian berupa apapun harus ditiadakan). Kaidah ini mengamanatkan untuk dilakukan ihtiar maksimal untuk meniadakan berbagai kerugian atau potensi yang merugikan apapun bentuknya. Dalam konteks banyaknya jemaah haji lansia saat ini, potensi kerugian itu berupa kelelahan atau sakit akibat suhu panas, jarak dan berdesakan harus ditiadakan.

Kiai Wawan yang juga Dosen Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga tersebut menjelaskan bahwa sejak periode mazhab, sahnya berjamaah itu tidak hanya ditentukan oleh kesatuan tempat tapi oleh suara yang masih terdengar oleh makmum.

“Itu justru disampaikan dalam salah satu pandangan Mazhab Syafi’i. Imam Ibnu Hazm al Andalusia meskipun seorang tekstualis mendukung pandangan ini. Ia ilustrasikan seberapa jauhnya jarak imam dan makmum bahkan dipisahkan oleh sungai yang sangat lebar. Jika suara imam masih terdengar maka berjamaah itu sah adanya,” ujar Ustadz Wawan.

Baca Juga  33 Ribu Jemaah Haji Pulang Tanah Air, 21 Ribu Jemaah ke Madinah

Perspektif maqashid asy-syariah mengajarkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah yang diperintahkan agama tetap harus memperhatikan aspek menjaga keselamatan jiwa dan raga (hifz an-nafs).

Jika itu tidak dilakukan sama dengan bagian dari tindakan bunuh diri yang dilarang agama.

“Memperhatikan pahala itu penting tapi agama ajarkan perhatikan jiwa juga sama pentingnya,” tegas Alumni Angkatan 1 Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut Jawa Barat ini.

Pewarta: Azaki Kh
Editor: Yusuf

Avatar
1343 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *